Mixtape #1: Memeluk Gelap

Prolog

Malam Lebaran

Bulan di atas kuburan.

Empat kata di atas adalah puisi yang luar biasa pendek dari pujangga kafyr Indonesia, Sitor Situmorang. Saya mengetahui puisi dahsyat ini, kalau tidak salah ingat, dari salah satu esai Zen R.S.

Sewoles itu Sitor memaparkan buah pikirnya. Padahal, jika kita pikir lagi, di tiap malam Lebaran bulan tidak akan berwujud sempurna di langit sana. Bulan tengah mengalami fase bulan mati. Lebaran mengikuti kalender Hijriyah yang berpatokan pada sistem kalender lunar.

Dan ada kuburan dalam larik puisi itu. Keganjilan semakin menjadi-jadi. Tidak ada takbir menggema, tidak ada suka cita, tidak ada kata-kata yang menguarkan kemenangan. Saut mengajak kita untuk merenungi kematian.

Persis seperti itulah apa yang saya rasakan terkait Lebaran dalam tiga tahun terakhir. Remah-remah kue nastar, gelas-gelas Aqua yang hanya diminum separuh, tawa dan kelakar tanpa makna, perut yang kekenyangan, tingkah laku saudara atau kerabat yang semenjemukan template Microsoft Powerpoint, adalah hal-hal yang justru membuat saya menjalani Lebaran dengan begitu murung.

Bukan bermaksud mengurangi nilai Lebaran. Tapi bukannya momen ini seharusnya dikhidmati, sehingga bukan sekadar selebrasi nirmakna nirfaedah. Baju baru yang kau beli enam bulan kemudian akan butut juga. Kata maaf yang cuma membasahi bibir akan menguap dan menjadi mubazir.

13 lagu di mixtape ini akan mengajak kau mengalami sensasi tersebut. Bisa didengarkan di mana saja (selama ada kuota internet, ya). Mungkin bisa menjadi pembunuh bosan saat dirundung kemacetan mahahebat. Mungkin bisa membuatmu terenyuh. Tidak menutup kemungkinan juga akan membuat kau jemu.

Dengarkan dan resapi saja. Insyaalloh berfaedah.

Tracklist:

1. “Room 29” — Jarvis Cocker & Chilly Gonzalez

Jarvis Cocker balik lagi dan kali ini ia menggamit seorang kibordis di mana ia mengeksplorasi lirik-lirik keterasingan yang lirih dalam suatu keutuhan tematik. Lanskapnya adalah sebuah hotel legendaris di California, Chateu Mormont, yang menjadi tempat para selebriti ugal-ugalan begitu total.

Tuan Jarvis menegaskan bahwa dalam berkarya, ia tak membutuhkan kawan-kawannya di Pulp, band yang di era ‘90an pernah mengguncang jagat musik Inggris (dan sebagian kecil dunia lainnya).

2. “Merah” — Monkey to Millionaire

Di dalam kamar ini, aku bersembunyi lagi

Mereka yang kita sayangi yang paling mampu melukai.

Lirik tersakit (sekaligus terkeren) dari unit indierock lokal. Mendengarkan Monkey to Millionaire mengingatkan saya pada The Cribs tapi trio Jakarta ini tidak sekadar menjadi epigon. Sayang setelah momentum Lantai Merah (2009), mereka bongkar pasang personil, lalu vakum.

Seandainya tidak begitu, bisa saja mereka menjadi nama terdepan dan blantika musik independen tidak didominasi nama yang itu-itu saja (ehem, Jimmy Multazham).

3. “Dagger” — Slowdive

Berkat dokumenter yang diproduksi Pitchfork, khalayak jadi tahu bahwa dalam proses pembuatan Souvlaki (1993)  yang setaraf prasasti untuk genre shoegaze — Neill (gitaris-vokal) sempat kabur karena hubungannya dengan Rachwell (gitaris-backing vocal) kandas.

Tapi kontrak sudah ditandatangani dan pembuatan album harus selesai.

Sepulangnya dari pelarian, materi lagu inilah yang ia tunjukkan pada teman-temannya (minus Rachwell). Perempuan berstatus indie darling pada masanya itu juga tidak membantu backing vocal di lagu ini. Padahal paduan suara Neill-Rachell adalah salah satu ramuan mujarab yang membuat Slowdive dipuja begitu khusyuk.

Jauhkan benda-benda tajam, plis.

4. “Goodbye Horses” — Q Lazarus

Lagu ini mengiringi Buffallo Bill sebelum ia membunuh korbannya di film Silence of the Lambs (1991).

Penyanyi lagu ini begitu misterius. Tetapi lagunya luar biasa membius. Cek di YouTube, ada seorang user yang mengunggah lagu ini yang telah dimodifikasi sehingga terus berulang selama 10 jam. Cocok menjadi pengiring bunuh diri bila racun yang kau tenggak tak kunjung ampuh. Atau bila kau ingin orang-orang mendengarkan lagu ini ketika mereka menemukan mayatmu.

Bercanda.

5. “Hurt” — Johnny Cash

Ketika seorang legenda seperti Johnny Cash meng-cover lagu yang kau punya, lalu mengubahnya sedemikian berbeda, reaksi apa selain merelakan lagu tersebut ‘direnggut’ Oom Johnny?

Itu yang dirasakan Trent Reznor, pentolan Nine Inch Nails, pencipta asli lagu ini.

“I’d been friends with Rick Rubin [produser Johnny Cash] for several years. He called me to ask how I’d feel if Johnny Cash covered Hurt. I said I’d be very flattered but was given no indication it would actually be recorded.

“Two weeks went by. Then I got a CD in the post. I listened to it and it was very strange. It was this other person inhabiting my most personal song.

“I’d known where I was when I wrote it. I know what I was thinking about. I know how I felt. Hearing it was like someone kissing your girlfriend. It felt invasive,” kata Reznor seperti saya kutip dari Music Radar.

Dengarkan lagu ini sambil meratapi berbagai penyesalan dalam hidupmu.

6. “Yer Blues” — The Beatles

Walau banyak yang mencebik, cinta John pada Yoko tidak kepalang tanggung. Dalam lagu ini bisa kau simak bagaimana hasrat John kepada perempuan Jepang itu ia tuangkan secara membabibuta. Dengarkan teriakan paraunya.

Yes I’m lonely/wanna die

If I ain’t dead already/yeah you know the reason why

7. “Half Asleep” — School of Seven Bells

Para jurnalis dan kritikus musik pernah membuat genre bernama dreampop. Tidak ada konsensus yang benar-benar mutlak, tapi konon dreampop adalah garis pemisah dengan shoegaze — yang lebih pekat dan didominasi gitar.

Lagu ini terdengar seperti mantra. Sayang gitarisnya, Benjamin Curtis, meninggal karena leukemia empat tahun lalu.

8. “What’s That Perfume That You Wear?” — Jens Lekman

Pria pencandu rasa sakit asal Swedia ini kembali berkarya di tahun 2017 lewat album Life Will See You Now. Lagu ini bernada ceria, mengajak pinggul bergoyang. Tapi jangan harap rasa itu terulang jika kau simak liriknya. Ini adalah lagu pesimis dengan irama mayor yang begitu ironis. Mirip “In Between Days” dari The Cure atau “Jalan Pulang”-nya Bangkutaman.

And I guess I still love her
But she’s gone forever
And however hard that might feel
At least it was real
If it could hurt like that

Si bangsat emang.

9. “100,000 Fireflies” — The Magnetic Fields

Lagu dengan dentuman drum machine repetitif tidak pernah terdengar sesendu sekaligus semenyenangkan ini. Apalagi jika dibuka dengan:

I have a mandolin
I play it all night long
It makes me want to kill myself

‘Nuff said.

10. “Deru-Debu” — Nike Ardilla

Semuanya fana, lurd. Fana.

11. “Here Comes A Regular” — The Replacements

Kalian semua suci aku penuh dosa.

12. “Loneliness Remembers What Happiness Forgets” — Dionne Warwick

Dari judulnya saja sudah tidak perlu penjelasan, kan?

13. “Sakit Sendiri” – Rumahsakit

Dengan vokalis seikonik Andri Lemes, band ini takkan pernah sama lagi sejak ia berhijrah menekuni agama dan meninggalkan musik sekitar tiga tahun lalu. Secara personal, Rumahsakit adalah salah satu grup musik yang kerap menyelamatkan hidup saya. Lirik-liriknya bajingan, meski terkadang terdengar begitu ambigu.

Damainya kebencian nikmatnya kepedihan

Di rumah ini kunikmati sakit sendiri.

Apa? Belum punya akun Spotify??! Ck ck ck.

Oke, tenang, saya kompilasikan juga di YouTube:

Selamat Lebaran 2017. Ingat, Alloh tidak suka pada hamba yang bermegah-megahan. Embrace the sorrovv. ♦

sampul album: Ai Hashimoto

Bagikan:
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
said agung pangestu

MantaB pake b besar..

1
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x