Tantangan bagi Pemuda Indonesia di Era Kapitalisme-Lanjut

Merekabayangkan keindonesiaan ternyata menjadi sesuatu yang tak kunjung purna. Sejak Peristiwa Sumpah Pemuda 87 tahun silam, ia menjadi sesuatu yang rentan berubah (dan diubah). Memang di atas kertas Pancasila dan UUD 1945 adalah dasar negara, namun di ranah praktik, butir-butir yang termaktub tak mewujud dan meyelaras dalam kehidupan berbangsa di Indonesia.Menurut penulis keindonesiaan kita semakin terancam setidaknya oleh dua hal, yakni:

  1. Gempuran dan terpaan globalisasi, serta
  2. Ancaman disintegrasi bangsa yang tumbuh di berbagai daerah oleh isu SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan).

Kedua hal tadi juga didorong oleh perkembangan yang terjadi dalam konteks global di mana dalam perspektif ilmu komunikasi, McLuhan mengeluarkan konsepnya yang masyhur, yaitu Desa Global (Global Village): bahwa dunia telah menjadi semakin sempit seiring percepatan laju teknologi informasi, serta kelompok ilmuwan sosial Mazhab Frankfurt: bahwa era kini adalah kelanjutan dari kapitalisme – yang Marx sendiri tak pernah mengalaminya, yaitu era kapitalisme-lanjut (Late Capitalism atau Spätkapitalismus dalam bahasa Jerman). Penulis condong mendasari esai ini dengan konsep yang kedua karena keterkaitan Indonesia dengan bangsa-bangsa lain, serta implikasi-implikasi dari padanya, adalah suatu keniscayaan.

Dua Masalah Penting

Pernah di suatu masa, berhubungan dengan orang lain yang terpaut jarak dan waktu atau mengakses informasi dari luar negeri adalah sesuatu yang mahal. Mereka yang pernah mengalami kungkungan rezim otoriter Orde Baru tentu memahami hal demikian. Sebabnya, di era itu harga yang harus dibayar untuk mengakses dan menikmati informasi adalah hal kesekian. Pemerintah menyensor dan menyortir segala akses informasi dan jika sudah terlampau bandel seperti majalah Tempo, dibredel. Sebelum Soeharto jatuh pun internet adalah suatu hal yang langka. Sebagai ilustrasi, subkultur punk bisa tumbuh di era tersebut karena para pelakunya memiliki kedekatan dengan mereka yang sering jalan-jalan ke luar negeri. Para pemuda Indonesia pengadopsi subkultur asing tersebut meraih informasi dan referensi dari rekaman-rekaman fisik dan majalah yang mereka titipkan kepada teman-temannya tersebut. Buku-buku berbau kiri mutlak dilarang. Di lingkup makro, menurut tulisan Hilmar Farid dalam Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, rezim Soeharto menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diajarkan di Perguruan Tinggi Indonesia. Oleh sebab demikian, paradigma positivisme berkembang dan menggejala di Indonesia karena positivisme terbukti sejalan dengan jargon pemerintahan Soeharto, yakni Pembangunanisme (“Pembangunan adalah panglima”). Apa yang dikerjakan para akademisi dan peneliti ilmu sosial adalah apa yang relevan dengan jargon tersebut.

Siapa yang menyangka jika rezim Soeharto yang selama tiga dekade begitu kokoh dan mengakar bisa tumbang juga? Hal tersebut ternyata berjalan beriringan dengan perkembangan teknologi informasi dan percepatan laju informasi – kedua hal yang sejatinya memiliki potensi dahsyat untuk memberdayakan individu maupun kelompok. Ia mampu memangkas apa yang tadinya lambat, mahal, dan inefisien menjadi cepat, murah, dan efisien. Keduanya merombak konfigurasi struktur sosial, ekonomi, politik dan budaya di Indonesia. Para ahli demografi dan kajian konsumsi pun menetapkan suatu kelompok baru yang tumbuh di era ini sebagai generasi millenial. Namun ternyata, kedua hal tersebut relatif belum dimanfaatkan dengan baik oleh pemuda-pemudi Indonesia. Dalam Media Indonesia(11/8) terdapat sebuah artikel yang berjudul “Menebar Pengaruh Lewat Soft Power”, dijelaskan bahwa yang menggejala di ranah kebudayaan adalah pemuda kita masih saja mengagumi budaya-budaya asing (di artikel tersebut menyoroti khusus pada pengidolaan pemuda Indonesia terhadap kebudayaan Korea dan Jepang). Ini yang membuat penulis beranggapan bahwa globalisasi masih dinilai sebagai ancaman. Padahal jika kita mencermati, tren K-Pop dan J-Pop yang digilai tersebut umumnya merupakan kebudayaan hibrida. Dalam manga, anime, tarian grup K-Pop, atau drama Korea, kita bisa dengan mudah menilai mana yang merupakan unsur comotan dari kebudayaan Barat, mana yang menjadi unsur asli di dua kebudayaan hibrida tersebut. Maka, narasi yang dibangun di ranah kebudayaan adalah rasa minder dan inferior terhadap yang asing. Kita bisa menemukannya dengan mudah, mulai dari istilah “Aku Cinta Rupiah” di era 90-an dulu, ataupun kalimat “Cintailah produk-produk Indonesia!” dalam sebuah iklan.

Saya khawatir jika slogan Revolusi Mental yang didengungkan pasangan Jokowi-JK saat kampanye dahulu hanya menjadi lipstik pendulang suara belaka. Kebudayaan, dalam konteks ia sebagai cara seseorang memaknai dan menjalankan hidup, adalah sesuatu yang penting dan signifikan. Kita bisa melihat hal tersebut pada mental guanxi yang dimiliki para perantau Cina di negara-negara Asia Tenggara. Cina perantau yang bermigrasi tersebut membawa serta menerapkan guanxi di berbagai negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Guanxi, terlepas dari pro dan kontra terkait hal ini,menjadikan mereka pebisnis yang tangguh dan sanggup menjalankan keberlangsungan usahanya sekian dekade. Pun Jepang dengan semangat ­bushido-nya. Sebuah – meminjam terminologi Weberian – labenswelt yang mampu menjadikan Jepang bangsa unggul dan dominan di berbagai bidang. Khusus di bidang teknologi otomotif, perusahaan Toyota bahkan sampai membuat Ford yang lebih dulu berjaya bertekuk lutut. Di kasus-kasus lebih lampau kita bisa melihat bagaimana semangat renaisans dan aufklarung mampu mendorong bangsa Eropa ke abad kegemilangan. Implementasi Revolusi Mental hingga detik ini belum jelas arah dan tujuannya. Bagaimana tidak? Baru beberapa jam situs Revolusi Mental tayang di internet, situs yang dalam pengerjaannya dibawahi oleh Kementerian Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) tersebut tak bisa diakses. Jangan juga kita lupakan sebuah fakta, bahwa dalam pengimplementasian seluruh gerakan Revolusi Mental pemerintah menganggarkan dana APBN 2015 sebesar Rp. 149 milyar.

Globalisasi juga merupakan suatu keniscayaan. Apalagi Indonesia turut berkecimpung di berbagai pergaulan diplomatik internasional. Indonesia juga telah melewati fase kediktatoran suatu rezim seperti yang sampai saat ini masih dirasakan rakyat Korea Utara sehingga warga Indonesia mampu menikmati sajian informasi global dan (seharusnya) bersaing, minimal di lingkup regional Asia Tenggara. Disparitas sosial yang begitu timpang, seharusnya tidak boleh dibiarkan berlanjut. Apa daya, prinsip sentralisasi kekuasaan dan pembangunan yang terjadi di era Soeharto masih terjadi hingga kini. Desentralisasi yang seharusnya menciptakan pemerataan pembangunan justru menghasilkan hadirnya raja-raja kecil baru di sejumlah daerah. Pemerintahan lokal berbasis oligarki-plutokrasi yang terjadi ratusan tahun silam ternyata sanggup mewujud di era 2.0. Saat negara-negara lain telah mengembangkan suatu model demokrasi yang cair dan mengadopsi nilai-nilai kekinian, sistem patron-klien masih saja menjadi modal bagi seseorang dalam mengarungi karir politiknya. Ini tentu saja menyuburkan kesejahteraan kaum elit karena “kue pembangunan” hanya dinikmati oleh mereka dan kerabat-kerabatnya. Sementara rakyatyang oleh Rousseau dinyatakan memiliki kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi hanya kebagian remah-remah kue tersebut. Jadi pertanyaan besar yang berkembang setelah 17 tahun reformasi: demokrasi macam apa yang kita lakukan? Jika dalam demokrasi tersebut yang makmur hanyalah kelompok elit, apa bedanya dengan demokrasi pembangunan jaman Soeharto? Demokrasi semu? Demokrasi omong kosong? Demokrasi prosedural nan tak substantif?

Padahal, jauh sebelum dunia mengenal istilah globalisasi (tepatnya di abad ke-17), seorang putera Indonesia asal Makassar bernama Karaeng Patinggaloang telah masyhur dikenal sebagai seorang cendekia dan priagung oleh bangsa-bangsa Barat. Dalam catatan sejarawan Denys Lombard, sosok Patinggaloang sampai-sampai dibuatkan puisi oleh Joost van den Vondel – seseorang yang dianggap sebagai penyair dan penulis naskah drama terpenting Belanda abad ke-17. Sebabnya, Patinggaloang yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri dan penasihat utama Sultan Muhammad Said (1639-1653) adalah sosok yang haus akan teknologi dan ilmu-ilmu pengetahuan yang sedang marak di jamannya. Ia dengan luwes berdialog dengan orang-orang asing tersebut karena memiliki kemampuan berbahasa Latin, Spanyol dan Portugis. Tak ayal bangsa-bangsa Eropa yang mengenalnya dibuat berdecak kagum serta terheran-heran. Menapaktilasi kiprah Patinggaloang tadi, rasa-rasanya bersikap minder dan inferior terhadap sesuatu yang asing adalah alasan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Menyoal masalah terpenting kedua sebagai ancaman Keindonesiaan kita, yakni ancaman disintegrasi bangsa oleh isu-isu SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan). Menciptakan generasi ahistoris adalah kegagalan besar negara dalam menjalankan pemerintahannya. Tak heran jika slogan “Jasmerah” milik Soekarno terus didengungkan hingga kini. Namun apa daya, terkait isu perpecahan antar saudara ini bangsa kita seolah-olah mengidap amnesia kolektif. Jangankan dengan tragedi kemanusiaan yang terjadi pada 1965, resolusi konflik peristiwa kerusuhan 1998 yang menelan banyak korban dari etnis Tionghoa (perampokan/penjarahan, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap wanita) tak menemukan jalan terang hingga kini. Tanpa mengesampingkan para korban yang terlibat konflik langsung dengan pemerintah saat itu (para aktivis yang meninggal maupun hilang keberadaannya), penulis menitikberatkan pada kelompok korban yang pertama karena peristiwa naas tersebut terjadi akibat sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa – sesuatu yang kerap terjadi sejak era kolonial. Tidak bisa dipungkiri jika etnis tersebut menjadi kelompok yang dominan dalam percaturan ekonomi bangsa. Namun menjustifikasi hal tersebut sebagai biang bobroknya kehidupan menjadi pertanda bahwa sentimen bernada SARA terus berpeluang menciptakan konflik-konflik horizontal baru. Tengok saja konflik yang baru terjadi di Paniai, Papua Barat dan di Sampang, Madura. Adagium yang mengatakan ‘perbedaan adalah rahmat’ menjadi simbolisasi belaka. Serupa dengan ‘revolusi mental’: tong kosong nyaring bunyinya.

Indonesia menjadi negara keempat dengan jumlah penduduk terbesar di dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam beberapa tahun terakhir mengeluarkan sebuah ungkapan menyangkut hal ini: bahwa laju pertumbuhan penduduk dianggap sebagai bonus demografi. Laju pertumbuhan penduduk, menurut penulis, bukan menjadi ancaman jika desentralisasi pembangunan bisa diterapkan dengan optimal. Pasalnya, wilayah Indonesia yang luas ini menjadi sebuah kesia-siaan karena semua hal tertuju ke dan bersumber dari pusat: pulau Jawa dan khususnya Jakarta. Disparitas sosial sejauh itu berada dalam kadar wajar merupakan sesuatu yang lazim, yang jadi masalah adalah ekstrimnya jurang ketimpangan yang merupakan anak kandung sentralisasi kekuasaan. Segala permasalahan di daerah-daerah akhirnya diteropong dari ‘menara gading’ Jakarta. Ibaratnya seperti seorang penjelajah dunia yang memasuki kawasan yang baru ia temukan, namun menyimpulkan keadaan di kawasan tersebut dari geladak kapal. Solusi dan kebijakan pemerintah tak ubahnya seperti obat generik yang dianggap mampu mengatasi berbagai jenis penyakit. Padahal belum tentu dua orang pengidap satu penyakit yang sama, bisa disembuhkan dengan dosis dan jenis obat serupa.

Kesimpulan: Menghayati Kembali Sumpah Pemuda

Dalam Imagined Communities (salah satu buku yang dilarang terbit di era Orde Baru), Benedict Anderson menyatakan bahwa faktor pertama yang membuat identitas yang terbayang menjadi suatu konsep kebangsaan adalah faktor bahasa. Kasus yang ia jadikan contoh adalah kebangsaan rakyat Jerman yang menjadi tersulut karena versi injil berbahasa Jerman yang diterjemahkan Martin Luther. Dibumbui oleh sikap perlawanan Luther terhadap Gereja Katolik Roma, injil versi Luther mendorong semangat kejermanan bangsanya, bahkan pula menjadi tolak ukur dalam dunia literasi Jerman. Perih rasanya saat kita menjumpai deretan buku-buku terlaris karya anak bangsa di toko-toko buku. Yang tersaji adalah novel-novel populer dengan kebahasaan ngepop dan pengindahan terhadap kaidah berbahasa Indonesia yang benar. Padahal bangsa kita pernah memiliki sosok-sosok seperti Pramoedya Ananta Toer, Romo Mangun, Umar Kayam, Koentowijoyo, Sutan Takdir Alisjahbana, dan seterusnya yang menorehkan karya-karya jempolan, pula diakui kalangan terpelajar di luar negeri.

Kapitalisme-lanjut adalah sebuah keniscayaan, namun ia bukan ancaman, melainkan sebuah tantangan. Konsep ini juga sejalan dengan tesis sistem dunia milik Imanuel Wallerstein. Jika sejenak kita mau membuka mata dan telusuri fakta yang ada, negara-negara dominan terus berusaha melanggengkan dominasinya terhadap negara-negara subordinat akibat merajanya kaum pemodal. Hal tersebut terjadi lewat cara halus seperti peminjaman hutang, pemaksaan kebijakan, hingga cara-cara kejam seperti demonisasi terhadap mereka yang tak mau menurut seperti yang kini tengah terjadi di negara-negara Arab. Investasi asing penulis rasa diperlukan, namun membuka lebar-lebar keran investasi bukanlah langkah ideal untuk dilakukan karena implikasi-implikasi negatif yang dihasilkannya. Contohnya: mematikan pengusaha-pengusaha nasional, merendahkan martabat bangsa, melanjutkan ketergantungan, dan seterusnya.

Niat pemerintahan Jokowi-JK untuk membangun akses transportasi dan infrastruktur kelautan belum pantas diacungi jempol jika hal tersebut hanya merupakan janji pemanis kampanye belaka. Karena seperti yang penulis sebutkan sebelumnya, sentralisasi pembangunan warisan Soeharto menimbulkan dampak negatif yang tidak sedikit dan sampai saat ini, pemerintahan-pemerintahan pasca reformasi belum mampu mengatasi ‘dosa warisan’ tersebut. Pemerintahan-pemerintahan tersebut, jubahnya saja yang pasca reformasi. Karena dalam praktiknya, elit penguasa dan aparatur pemerintahan masih diisi oleh mereka yang berasal dari dan diasuh oleh rezim pemerintahan Soeharto. Ironisnya, para pemuda yang terlibat di era baru pasca reformasi pun seakan tunduk pada gaya kepemimpinan kaum tua. Kita bisa melihat hal tersebut di sejumlah tokoh reformasi bertingkah nyeleneh yang kini menjabat sebagai anggota legislatif.

Reformasi 1998 seolah-olah menjadi kejadian yang dirasai sambil lalu selewat dengar oleh bangsa ini. Padahal Reformasi 1998, sebagaimana kejadian historis Sumpah Pemuda 1928 yang juga diinisiasi oleh para pemuda yang gelisah, bisa menjadi preseden bagi para pemuda untuk menciptakan cetakbiru konsep keindonesiaan. Apa memang bangsa ini terus dikutuk untuk menjadi ahistoris? Apakah para pemuda Indonesia menghayati betul kata-kata terkenal Tan Malaka (“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”) karena seiring menuanya usia, kerakusan dan ketamakan mereka mengikuti generasi sebelumnya? Jawabannya ada di tangan para pemuda:

Mau di bawa ke mana keindonesiaan kita?

Bagikan:
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
mengigautengahmalamgg

bagus artikelnya

1
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x