
catatan: esai ini pertama kali terbit di zine sosbudpol SPÄTKAPITALISMUS edisi ketiga (Maret 2016).
Saat saya memberi judul bahwa kita semua ingin menelanjangi Nikita Mirzani, itu juga berlaku buat para perempuan. Jika kemudian Anda menobatkan saya sebagai polisi moral nan cerewet, saya cuma bisa bilang: bukan urusan saya (sudah seperti Jokowi belum?).
Nikita Mirzani (selanjutnya ditulis ‘Nikita’ saja) ramai diperbincangkan karena kasus prostitusi yang menjeratnya. Nikita digerebek polisi sedang berduaan dengan seorang lelaki di sebuah hotel pada 11 Desember 2015. Publik sebelumnya disuguhi oleh fenomena ditangkapnya mucikari Robby Abbas yang menyediakan jasa esek-esek kelas eksekutif di mana pelayannya adalah para artis.
Satu bulan belum juga berselang, Nikita kembali jadi perhatian saat terdakwa Yulianus Paonganan dengan dungu mengunggah foto Jokowi bersama Nikita dengan tulisan ‘papa doyan lonte,’ dan ditangkap polisi pada 19 Desember 2015. Paonganan kemudian dipidanakan oleh tuduhan pencemaran nama baik.
Nikita, sama seperti kita semua, tentu berkeinginan untuk berpose bersama presiden dan apa mungkin seorang tokoh menolak saat diajak berfoto? Atas nafsu ingin mencebik presiden, Paonganan mengerdilkan kemanusiaan Nikita dengan menyebutnya sebagai lonte (pelacur). Spesies laki-laki berlagak suci macam ini jumlahnya jutaan dan bisa seenak jidat merendahkan perempuan.
Terkait Nikita kita semua tahu, ia artis wanprestasi. Ia berada dalam gerbong artis-artis pencari sensasi yang berisi Saipul Jamil, Julia Perez, dan Dewi Persik yang rajin memanfaatkan polemik khas gempita selebrita supaya popularitas – walau tidak naik – tetap terjaga. Biarpun tidak membaca Jean Baudrillard, mereka paham hukum alam di dunia hiperrealitas penuh gemerlap ini: ciptakan dulu sensasi, nanti popularitas akan mendongkrak pendapatan (entah melalui produksi film/lagu kacangan, undangan talkshow, atau membintangi iklan).
Meski demikian, kita perlu memahami artis-artis di atas berlaku demikian – membikin sensasi sebagai karya – karena tuntutan pasar. Kita juga gegabah bila merendahkan seseorang atas nama moral. Belum lagi dua kejadian ini disinyalir sebagai pengalihan isu yang lebih besar, yaitu kasus bagi-bagi komisi dari rencana kontrak baru Freeport yang dikomandani Setya Novanto.
Media sosial (medsos) membuat semua orang merasa bebas mengeluarkan pendapat. Sifatnya yang longgar filter ini mengakomodasi masyarakat kita sehingga merasa perlu menumpahkan unek-unek sebebas mungkin. Coba anda lihat isi kolom komentar di artikel pemberitaan Nikita di Detik.com,[i] buas dan liar. Sifat media sosial seperti Facebook dan Twitter yang awalnya menghindari anonimitas identitas penggunanya – agar terciptanya komunikasi internet yang sehat – tak berjalan mulus. Ditambah, tanpa menjadi anonim/pseudonim pun masyarakat medsos berani berkomentar tanpa basis data dan logika argumentasi yang kuat.
***
Menyikapi persoalan reaksi masyarakat terhadap Nikita, susah untuk tidak menetapkan sistem patriarki sebagai biang keladi. Di bagian ini saya akan mengajak Anda melihat beberapa contoh represi dan marjinalisasi terhadap perempuan sebelum nantinya kembali membicarakan Nikita.
Rezim Soeharto dengan kuda militernya menjalani betul falsafah Jawa dari kata “wanita”, yakni wani ditata (siap diatur/ditata). Sebagai contoh, moda pemerintahannya menempatkan wanita pada urusan 3-ur: kasur, dapur, sumur. Lihat saja pada pelembagaan fungsi wanita dengan dibentuknya Dharma Wanita – yang pada praktiknya hanya kumpulan ibu-ibu yang ber-haha-hihi seliweran dari satu arisan ke arisan lain, dari satu kunjungan ke kunjungan lain.
Perjuangan Kartini pun, dengan pemikiran feminis-emansipatifnya, dikerdilkan di mana hari kelahirannya sebatas menjadi ajang pamer konde, kebaya, atau baju adat lain. Pengerdilan Soeharto ini sama seperti yang dulu ia lakukan terhadap Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Gerwani yang pada hakikatnya merupakan organisasi pemberdayaan perempuan, dibingkai Soeharto – lewat corong propaganda harian militer Berita Yudha – sebagai kelompok perempuan haus seks anti Pancasila yang menari-nari telanjang saat enam jenderal dan satu perwira dibunuh di Lubang Buaya.
Pada 1982, rezim Babe yang kita cintai itu pernah mengeluarkan larangan berjilbab bagi siswi sekolah negeri. Kebijakan ini adalah satu dari banyaknya kebijakan politik Soeharto yang meminggirkan Islam karena Islam dianggap mengancam stabilitas politik dan pembangunan. Namun seperti halnya Mao Zedong yang merapat ke barisan pemuda jelang akhir pemerintahannya, Soeharto pada 1990 merapat ke Islam (yang ditandai dengan pendirian ICMI, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia)[ii] dan tak lama sesudahnya larangan berjilbab itu dicabut.
Meski bulan madu ini tidak berlangsung lama, hingga kini efeknya masih merona. Dari sini saja jelas terlihat bagaimana kuasa lelaki (Soeharto sebagai aktor maupun simbol) terhadap perempuan. Sikapnya terhadap jilbab berubah-ubah tergantung kepentingan politiknya, yaitu dalam rangka memenangi Pemilu 1993.
Rezim boleh berganti, tapi hegemoni patriarki tetap mencengkeram. Rupa-rupanya ia hanya serigala yang berganti bulu domba.
Saat terjadi maraknya pemerkosaan di angkutan umum pada 2011, banyak yang mengutuk cara berpakaian korban. Gubernur Jakarta saat itu, Fauzi Bowo menganjurkan perempuan untuk tidak menggunakan rok mini. Si kumis buat apa jauh-jauh kuliah tata kota ke Jerman jika menyikapi kasus pemerkosaan masih menyalahkan pihak korban? Padahal jika transportasi publik diurus serius dengan sistem dan manajemen yang rapi, tindakan kriminal tersebut tidak akan terjadi. Lagipula, tanpa berpakaian seksi, buruh migran perempuan kita di Arab Saudi banyak yang diperkosa majikan. Gaya berpakaian tidak memiliki kaitan dengan pemerkosaan.[iii]
Dalam penayangan berita-berita terkait prostitusi, media seringkali bias gender. Kenapa yang disasar adalah kaum wanita sementara mereka adalah korban? Anda sering melihat, ‘kan, tayangan di mana para pelacur digiring polisi sambil menutup muka? Kenapa yang ditampilkan bukan para mucikari atau para pelanggannya? Padahal banyak dari para pelacur yang menjalani kehidupan tersebut karena terpaksa. Ada yang dikarenakan problem psikologis, masalah keluarga, korban perdagangan manusia, dan himpitan ekonomi.
Pasca Reformasi, kita bisa mengaitkan hubungan asimetris lelaki-perempuan ini dengan kebangkitan pesat Islam politik (sebuah ideologi politik yang benihnya sudah ditabur pada pra-Reformasi), di mana lagi-lagi perempuan dikendalikan oleh lelaki. Mata lelakilah yang berkuasa dalam menentukan apa yang seharusnya dipakai perempuan. Maraknya penggunaan hijab belakangan ini tidak sesederhana komentar ‘ya mungkin sekarang masyarakat mulai bisa menerima nilai-nilai Islam, tidak seperti dulu.’
Kebangkitan Islam politik bisa memopulerkan penggunaan hijab karena elit politik banyak diisi tokoh-tokoh Islam yang menstimulasi penggunaan hijab lewat kebijakan (Perda syariah di Aceh bisa menjadi contoh). Kembali saya takrifkan argumentasi saya di paragraf sebelumnya, saat Islam direpresi – zaman Soeharto yang dikenal sebagai Islam abangan – yang masyarakat kenal dan gunakan adalah kerudung. Berbeda dengan hijab, kerudung hanya menutupi kepala dan masih memperlihatkan rambut. Kerudung hanya dikenakan di acara-acara keagamaan.
Kebangkitan Islam politik ini juga bisa dilihat di arena budaya. Lihat saja produk-produk budaya populer – utamanya di ranah sastra dan film – yang beredar pasca Reformasi. Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Ketika Cinta Bertasbih, Ketika Mas Gagah Pergi, dan ratusan judul lain. Ini menandakan adanya hubungan antara politik dengan kebudayaan.[iv] Yang pertama seringkali menjadi dalang sengkarut perbenturan kebudayaan, meski di beberapa kasus yang kedua pun bisa berperan signifikan dalam mempengaruhi politik. Kebudayaan tidak pernah sekonyong-konyong hadir di ruang kosong dan ia berdinamika di berbagai masa.
Lagipula, apanya yang Islami kala penggunaan hijab tidak diiringi dengan nilai-nilai kesalehan? Mengapa nilai hijab menjadi sekadar komoditas yang kita bisa temukan mulai pada maraknya penjualan hijab (dengan warna dan modelnya yang beraneka rupa), banyaknya hijab stylist, atau kontes miss pageant macam Hijab Hunt (yang tentunya fokus menyorot fisik perempuan dalam balutan busana ‘Islami’)?
Penggunaan hijab memang begitu semarak kini, tapi tidak serta-merta menghentikan laju perilaku hubungan bebas yang dilakoni perempuan berhijab dari berbagai golongan usia. Saya sedang tidak menghakimi karena pemakai hijab yang taat dengan tuntunan Islam pun jumlahnya banyak. Penekanan saya adalah pada kenyataan bahwa kapitalisme tidak berbentuk tunggal (baca: bentuk kapitalisme ala Barat) dan piawai mengooptasi apa yang mulanya sakral menjadi banal. Ini membuat saya semakin yakin bahwa kesalehan sosial (altruisme) lebih berguna ketimbang kesalehan personal.
***
Sebagai produk budaya, hijab adalah sesuatu yang dikonstruksi secara sosial. Kontruksi sosial sangat dipengaruhi oleh relasi kuasa dan konteks sejarah. Di satu waktu, sifat hijab bisa begitu anakronistis. Di waktu lain, memakai hijab dikhidmati sebagai implementasi keimanan yang menyelaras di berbagai zaman. Mengapa masyarakat Barat memberi stigma pada hijab, namun persepsi positif pada veil yang dikenakan biarawati? Relasi kuasa jawabannya. Mengapa di Indonesia – yang kira-kira sejak tiga abad lalu mayoritas penduduknya muslim – penggunaan hijab baru marak tiga dekade terakhir? Konteks sejarah yang perlu Anda lihat.
Nilai-nilai patriarki ini mengendap dalam pikiran orang-orang yang sekian tahun disumpal ideologi negara. Pierre Bourdieu pernah mengingatkan,
The most successful ideological effects are those which have no need for words, and ask no more than complicitous silence.
Meski di mata feminis analisisnya bernada skeptikal,[v] Bourdieu menerangkan ketidakadilan gender sebagai akibat dari struktur kekuasaan yang merepresi salah satu kaum subordinat: perempuan. Bentuk represi tersebut adalah kekerasan simbolis yang dialami kaum hawa.
Buka mata Anda, kekerasan simbolis ada di mana-mana. Pernah tidak mendengar perkataan seperti ini: ‘aduh, dik, kamu itu sebenarnya cantik banget, lho. Sayang kalau pakai jilbab. ‘Kan bisa ikut modelling atau iseng-iseng casting,’ atau, ‘sudahlah, nak, urusan kuliah, kamu ‘kan perempuan. Pilih saja jurusan yang mudah seperti sekretaris atau humas. Kuliahnya gampang, dapet kerjanya juga gampang.’
Walah! Jangan gegabah menyikapinya sebagai kewajaran karena itu adalah praktik nyata kekerasan simbolis. Perempuan berhak berbusana dengan gaya apapun. Perempuan berhak memilih pekerjaan dan minat studi sesuai kehendaknya sendiri. Kalau bukan Anda yang merebut, siapa lagi? (Meski alinea ini ditujukan untuk pembaca perempuan, pembaca pria pun perlu memahaminya agar kekerasan-kekerasan simbolis macam ini bisa diminimalisir).
Kekerasan simbolis lambat laun sifatnya menjadi struktural sehingga menyebabkan ruang-ruang sosial menjadi tergenderkan (gendered spaces). Sesuatu yang menjadi praktik struktural, tindakan sosial yang hakikatnya adalah pengekangan dijustifikasi sebagai sesuatu yang normal.
Tanpa bermaksud merendahkan kawan-kawan yang berprofesi sebagai SPG (sales promotion girl) dan AE (account executive), dua profesi ini adalah contoh jenis pekerjaan-pekerjaan yang tergenderkan.
Tidak ada SPG yang tidak berbusana seksi dan kebanyakan produk-produk memakai perempuan sebagai sales promotion. Berdasarkan informasi yang saya dapat dari kawan-kawan yang berprofesi sebagai SPG, mereka yang tidak dituntut berbusana seksi biasanya SPG kelas C yang menempati upah terendah (di kisaran 300 ribu rupiah per hari). Ingatlah salah satu prinsip dunia periklanan: “sex always sells”, dan kapitalisme membuat perempuan mewajarkan eksploitasi terhadap dirinya.
Informasi mengenai profesi AE saya peroleh dari kawan-kawan yang bekerja di agensi periklanan. Mereka sebenarnya divisi kreatif, tapi dari cerita-cerita yang dibagi kepada saya, kebanyakan agensi menempatkan perempuan cantik sebagai AE karena AE-lah yang bertugas melobi klien. Anda tentu bisa menerka bahwa klien yang dimaksud adalah suatu perusahaan yang ingin membuat iklan dan diwakili oleh lelaki, bukan?
Kapitalisme tidak hanya merenggut waktu, pikiran dan tenaga, tetapi juga tubuh Anda.
Kembali pada Nikita, ia lantas dikeroyok dan dihakimi dari berbagai penjuru. Bukan saja oleh kaum moralis, tapi juga oleh syahwat maskulin yang memandang rendah perempuan. Bacalah beberapa komentar di artikel berjudul “Bareskrim Polri Tangkap Artis Berinisial NM Terkait Prostitusi”:
Pembaca bernama Zulham Kurniawan menulis, “Wah, selamat gua, kan malam sebelumnya gua yang pake ha ha ha ha ha.” Pia Maro menulis, “Yg jd korban harusnya laki2nya dong!! Sd keluar duit banyak, keluar tenaga, dapat barang bekas lgi.” Sugeng Prasetyo menulis, “Gopek mau ga ya ???.” Menjijikkan dan saya hanya bisa merutuk. Lebih 500 komentar terdapat di artikel ini dan kebanyakan isi pesannya seperti komentar-komentar di atas.
Atau simak judul artikel dari situs-situs lain: “Alasan Nikita Mirzani Telanjang Saat Ditangkap” (Bintang.com), “Pemicu Nikita Mirzani dan Puty Revita Mau ‘Ditiduri’ Ternyata Bukan Uang” (Banjarmasin Post); judul-judul yang tentunya memiliki magnet kuat untuk dibaca. Media dengan senang hati ‘melayani’ kehausan masyarakat sehingga menyajikan berita yang menyudutkan, seksis, kering analisis, bias gender; sebab cara-cara itulah yang mudah mendongkrak web traffic. Ingat, semakin banyak suatu web dibuka, semakin besar daya tawar suatu media kepada para pengiklan.
Nikita dalam tulisan ini sebenarnya adalah alegori untuk praktik penindasan yang berlangsung di masyarakat. Selama suara, gerak, dan hak perempuan masih dikekang ideologi dominan, saya jamin akan muncul ‘Nikita-Nikita’ lain. Kasusnya bukan sebatas seksisme di ranah online, jenis dan artikulasinya pun bisa berjuta ragam. Kekerasan simbolis sebagai praktik sosial ada di sekitar kita dan seperti kata Bourdieu, kita dibuat tidak sadar kalau kita sendiri ternyata mempraktikkannya (baik sebagai pelaku maupun korban).
Nikita mungkin merasa berbagai pemberitaan mengenai dirinya sebagai publikasi gratis karena sampai saat ini tidak ada bentuk perlawanan berarti darinya. Tapi jika Anda tidak sekaya dan sesantai Nikita, apa iya bisa cuek bebek mengindahkan penghakiman tersebut? Mengutip lirik band politikal Manic Street Preachers, “If you tolerate this, then your children will be next.” Saudara, teman, atau Anda sendiri bisa menjadi ‘Nikita’ selanjutnya: dihakimi dan dihujat oleh sudut pandang bebal bin dangkal.
Pada akhirnya, secara literal maupun kiasan, dengan atau tanpa tanda kutip: kita semua ingin menelanjangi Nikita Mirzani.
[i] Khalid, Idam. “Bareskrim Polri Tangkap Artis Berinisial NM Terkait Prostitusi”. Detiknews. 11 Desember 2015. 15 Februari 2016. <https://news.detik.com/berita/3092979/bareskrim-polri-tangkap-artis-berinisial-nm-terkait-prostitusi>.
[ii] Banyak literatur yang bisa ditilik mengenai kebangkitan Islam politik di Indonesia sebelum dan sesudah Reformasi. Beberapa di antaranya studi-studi yang dilakukan Adam Schwarz, Robert Hefner, Richard Robison, dan Vedi Hadiz. Pembentukan ICMI, secara struktural dan simbolis, menjadi penanda perubahan sikap politik Soeharto terhadap Islam.
[iii] Gaya berpakaian perempuan sebagai penyebab pemerkosaan adalah salah satu mitos yang masih diyakini banyak orang. Saat perempuan memakai baju seksi, pelacur sekalipun, tidak berarti dirinya mengundang untuk diperkosa. Selengkapnya di sini: https://www.domesticviolenceservices.com/rapemythsandfacts.html.
[iv] Kebangkitan Islam di ranah sastra bisa Anda baca di Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme melalui Sastra dan Film (Jakarta: Marjin Kiri, 2013) karangan Wijaya Herlambang. Saya juga menganjurkan Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar di Indonesia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2015) karya Ariel Heryanto untuk melihat hubungan keislaman dengan gaya hidup, budaya populer, dan komodifikasi agama.
[v] Sifat skeptikal analisis gender Bourdieu ini saya simpulkan dari “Masculine Domination, Radical Feminism and Change” dalam jurnal Feminist Theory (London: SAGE Publications, 2005) karangan Clare Chambers.