(tayang pertama kali di Qureta pada 11 Februari 2018)
Dalam Cantik Itu Luka (Eka Kurniawan, 2002), seorang pelacur bernama Dewi Ayu bangkit dari kuburnya hanya untuk mendapati kisah tragis keluarganya di sebuah kota fiktif bernama Halimunda. Seperti sang ibu, ketiga anak Dewi Ayu—Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi—mewarisi kecantikan dan perilaku ibunya.
Mereka memiliki bakat memikat laki-laki dan terpaksa bernasib tragis. Ketiganya dinikahi oleh para laki-laki yang membuat mereka tersiksa. Karena muak oleh itu semua, Dewi Ayu pun kembali hamil dan ia berbahagia ketika melahirkan anak perempuan yang bahkan ketika baru lahir memiliki bentuk fisik teramat buruk. Dengan penuh ironi, bayi itu ia namakan Cantik.
Saya tidak akan berbicara banyak mengenai novel ini. Kenyataan bahwa karya ini membuat nama Indonesia diperhitungkan di peta sastra global adalah soal lain. Tetapi yang perlu kita telaah adalah bagaimana kecantikan dipandang dan ditulis dari sudut pandang lelaki, sehingga “menjatuhkan” mereka ke kubangan patriarki.
Apa itu kecantikan? Apa yang tergambar di benak Anda ketika mendengar frasa “perempuan cantik”?
Yang terbayang adalah postur semampai, kulit putih nan mulus bak pualam, payudara besar dan bokong yang mengkal, hidung bangir setajam pensil, serta beralis tebal. Di Indonesia, perempuan berdarah bule akan memiliki kemudahan ketika terjun ke dunia hiburan. Saya yakin kita semua—laki-laki dan perempuan—bersepakat dengan gambaran sederhana tersebut.
Kecantikan menerbitkan decak kagum. Kecantikan menimbulkan iri hati. Dan kecantikan, menyepakati Eka Kurniawan, kerap melahirkan luka. Kecantikan menjadi anugerah sekaligus kutukan.
‘Male Gaze’ (Tatapan Pria) dan Objektifikasi Perempuan
Siapa yang menetapkan standar kecantikan? Mengapa di negeri tropis seperti Indonesia, di mana manusianya berkulit cokelat, kecantikan perempuan dinilai dari warna kulit yang putih? Dan, saya harus mengemukakan pertanyaan yang lebih penting: bagaimana kita memahami kecantikan secara sosiologis?
Kecantikan adalah ihwal sosiologis karena hal ini meliputi relasi antarmanusia. Kita butuh penilaian (juga konsensus) mengenai kecantikan. Ia tidak datang secara serta-merta dari langit atau bisikan iblis dan membutuhkan hubungan dialogis-dialektis.
Ketika kita membicarakan kecantikan, maka meliputi kondisi fisik (tubuh) seseorang serta kelompok. Menurut C.N. Le (2014), “male gaze” adalah suatu konsep ketika seorang pria heteroseksual mengobjektifikasi perempuan dan menghakimi mereka semata-mata lewat penampilan fisiknya (physical characteristics).
Mari kita elaborasi definisi di atas. Tahukah Anda bahwa di Cina pra-Republik, perempuan dianggap cantik bila memiliki kaki yang kecil, sehingga menyerupai bunga teratai? Sejak kecil, kaki anak-anak perempuan dibebat sehingga keempat jarinya tertekuk ke bawah. Sepatu perempuan-perempuan itu juga berukuran setengah dari ukuran sepatu perempuan pada umumnya. Praktik ini bahkan berlangsung selama tiga abad. Perempuan yang menjalani praktik pembebatan kaki (foot binding) juga mewakili status sosial tertentu. Perempuan dari kelas bawah tidak membebat kaki mereka.
Praktik demikian tidak berhenti sampai di sana. Anda tentu familier dengan sepatu berhak tinggi (high-heel). Pemakaian sepatu ini akan membuat pemakainya tampak lebih tinggi, dengan bokong yang lebih membusung. Padahal, sejarah mencatat bahwa sepatu berhak kali pertama dipakai oleh pria di abad ke-15. Pria berhak tinggi dianggap memiliki status budaya yang lebih tinggi.
Seiring waktu yang bergulir, kaum pria tak lagi mengenakan high-heel, dan sepatu ini identik dengan kecantikan perempuan. Namun, sama halnya dengan praktik foot-binding, pemakaian high-heel turut membawa implikasi serius bagi pemakainya. Menurut survei yang dilansir CBS News (08/06/2015), di Amerika Serikat, sepanjang 2002-2012 tercatat sebanyak 123,355 cedera yang diakibatkan penggunaan high-heel.
Sekarang mari kita menengok pada contoh ketiga. Tentu kita semua senang menonton film, dan Hollywood merupakan kiblat industri perfilman dunia. Lelaki dan perempuan seolah-olah menempati posisi egaliter sebagai aktor. Namun, tahukah Anda bahwa secara ekonomi para aktor Hollywood menempati posisi yang timpang (setidaknya dari perbedaan upah yang diterima)?
Melalui riset yang dilakukan De Pater, Judge dan Scott (2014), rata-rata aktris ternyata mencapai pucuk tertinggi dalam hal penerimaan upah di umur 34 tahun. Sementara para aktor dapat terus memperoleh penghasilan tinggi di umur 51, bahkan setelah melewati rata-rata usia tersebut.
Ini menandakan bahwa praktik male gaze melahirkan ketimpangan: perempuan akan “dipakai” selama mereka muda dan cantik. Praktik ini (male gaze sebagai objektifikasi terhadap perempuan) juga memiliki dampak yang disebut seksisme (sexism). Anda tentu bisa menelaah praktik serupa di berbagai sektor dalam kehidupan sehari-hari.
Laki-laki cenderung tidak dipusingkan oleh bagaimana mereka merawat tubuh. Lain halnya dengan perempuan. Dari ujung kuku hingga ujung rambut, mereka memiliki banyak produk dan cara untuk memelihara kecantikan.
Tubuh Sosial
Sosiologi, sebagai ilmu, telah membedakan antara kelamin (sex) dengan gender. Oleh karena urgensinya, ilmu yang lahir di abad 19 ini merasa perlu untuk melahirkan subkajian seperti analisis gender dan studi feminisme.
Kelamin adalah kondisi biologis, sementara gender adalah kondisi sosial dan kultural. Pemahaman soal gender berubah-ubah sesuai zaman dan konteks ideologi dominan yang berkuasa di suatu tempat. Gender, menurut para sosiolog, dikonstruksi secara sosial dan kultural.
Keduanya masuk dalam spektrum teori kritis (critical theory). Michel Foucault menganggap paradigma kritis sebagai usaha untuk memberi suara bagi mereka yang dibungkam, ‘to give voice to the voiceless’. Teori kritis juga merupakan kritik atas semangat reduksionisme dan antipluralisme dari keseluruhan analisis di bawah pengaruh modernisme (Fakih, 1996).
Dari kacamata ini, kita secara kritis dipaparkan bahwa kaum perempuan mengalami marginalisasi, dipinggirkan dan terpinggirkan. Bahkan, ahli poskolonial Gayatri Spivak mengatakan bahwa kaum perempuan di negara-negara bekas jajahan (seperti Indonesia) mengalami kolonisasi ganda: oleh kaum penjajah dan kaum lelaki bangsanya. Ia pula yang melahirkan konsep “subaltern”.
Menganalisisnya dari konteks sejarah dan sastra, Spivak menilai bahwa kaum perempuan di negara terjajah menjadi kelompok marginal yang selalu menjadi objek kelas yang dominan dan berkuasa. Itu terjadi karena ‘kelas-kelas subaltern tidak memiliki akses yang cukup kepada sejarah, kepada representasi mereka sendiri, dan kepada institusi sosial dan kultural’ (Martono, 2011).
Relasi kuasa yang berlangsung sampai hari ini adalah kuasa patriarkal. Perempuan mungkin bisa mengakses berbagai kesempatan yang tidak dirasakan mereka yang hidup di era Kartini. Namun, jika kita mau membuka mata lebih lebar, seperti tiga contoh yang penulis jabarkan di atas, ketimpangan antara laki-laki dengan perempuan masih terus berlangsung.
Daftar Pustaka
Buku:
Allan, Kenneth. (2006). Contemporary Social and Sociological Theory: Visualizing Social Worlds. California: Pine Forge Press.
De Pater, Irene, Timothy A. Judge, Brent A. Scott. (2014). Age, Gender, and Compensation: A Study of Hollywood Movie Stars. California: Journal of Management Inquiry. Vol: 23, issue 4.
Fakih, Mansour. (1996). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Martono, Anang. (2011). Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial. Jakarta: Rajawali Pers.
Internet:
Dallas, Mary Elizabeth. “Injuries from High Hells on the Rise”. Cbnnews.com. 8 Juni 2015. 11 Desember 2017. <https://www.cbsnews.com/news/injuries-from-high-heels-on-the-rise>.
Le, C.N.. “The Homogenization of Asian Beauty”. Thesocietypages.org. 4 Juni 2014. 11 Desember 2017. < https://thesocietypages.org/papers/homoegenization-of-asian-beauty>.
Wade, Lisa. “Female Movie Stars Peak at Age 34, but Men See Success Till the End”. Thesocietypages.org. 5 Februari 2014. 11 Desember 2017. <https://thesocietypages.org/socimages/2014/02/05/female-movie-stars-peak-at-age-34-but-men-see-success-till-the-end>.
Wade, Lisa. “From Manly to Sexy: The History of the High Heel”. Thesocietypages.org. 5 Februari 2013. 11 Desember 2017. <https://thesocietypages.org/socimages/2013/02/05/from-manly-to-sexy-the-history-of-the-high-heel>.