Betapa nasib dirundung malang
O, tuhan!
Katedral-katedral, masjid-masjid, dan kuil-kuilmu
Begitu megah, begitu indah.
Orang-orang sibuk mengejar waktu
Orang-orang itu
Apa bedanya dengan perancap?
Bercepat-cepat bak camar dikejar ombak
Tanpa pernah tahu nikmat mengaso.
Dan hiu, sang filsuf samudra
Tetaplah hiu: bertajuk hidup sebagai tukang mangsa
Ah, hiu
Ia kesepian,
Walau hiu memangsa dalam khusyuk
Tak pernah ‘ku lihat mereka berkeriap
Yakinku kau pun seia, bukan?
Ikan-ikan berenang tenang, keriaan!
Lalu
Pada kesekianratus kalinya
Seperti noktah di atas padang
‘Ku kembali terpana
Melihat wajah itu
Wajah yang terlalu
Kukenali serta kuresapi.
Aku terbiasa memandang wajah itu lekat-dekat
Hingga waktu tak lagi menjarak
Juga ruang tak jadi perentang
Sampai kemudian kurasai diriku
terserimpung duhai pahitnya
Betapa nasib dirundung malang.
O, wahai engkau sang pemilik wajah:
Akulah hiu.