Sudah sejak lama masyarakat Jogja mengeluhkan kehadiran reklame yang super besar dan super banyak di ruas-ruas jalan utama. Kehadiran mereka, papan-papan perayu itu, justru menghalangi papan penunjuk arah dan lampu merah, yang sejatinya lebih penting.
Selain meruah dan berbadan bongsor, kehadirannya juga merusak keindahan. Orang-orang menyebutnya sebagai polusi reklame. Dari sudut tertentu di Jl. Kaliurang atau Gejayan, kau bahkan takkan lagi bisa menikmati keanggunan Merapi.
Kami juga bayar pajak dan jalan raya ini dibangun dari perasan keringat kami yang ditagih negara, keluh mereka.
Di lingkup yang lebih luas dan lebih banal lagi, masyarakat kita juga diintai hantu reklame.
Hantu-hantu itu tidak memerlukan surat izin dan regulasi. Mereka tidak perlu kau tanam di suatu sudut tertentu agar orang-orang bisa melihatnya. Hantu-hantu itu berkeliaran melintasi tempat, waktu, keadaan, bahkan perasaan. Mereka memiliki tentakel yang tak hanya gaib, melainkan juga berdaya dahsyat.
Wujud hantu-hantu reklame tidak terbatas dalam bentuk meter kali meter. Hantu-hantu itu juga tidak memerlukan kekuatan listrik untuk membuatnya terus berpijar. Hantu-hantu itu justru kau akrabi. Mereka kau rawat dengan segenap cinta dan cita.
Mulanya kupikir mereka hanya menghantui generasi kita. Amboi, ia jangkiti pula generasi tua.
Hantu-hantu reklame telah membuatmu tak tahan membaca yang panjang-panjang. Mereka memiliki kuasa untuk menentukan apa yang kau kunyah, tempat mana yang kau kunjungi, orang macam apa yang bisa kau pacari. Hantu-hantu itu menggodamu untuk terus, terus dan terus merogoh saku. Mereka kerap berbisik bahwa kau tidak rupawan. Maka para hantu membimbingmu untuk terus membeli. Dengan terus mengonsumsi, kau bisa menutupi kebobrokanmu. Itulah muslihat terlicik kaum hantu.
Mereka berkongsi dengan algoritma, gelombang sinyal, dan kecanggihan teknologi informasi. Ah, ya! Paling-paling syarat terberat cuma stok pulsa. Mereka ada di dalam kotak berpendar cahaya yang kau sikapi dengan begitu intim.
Bagaimana kita berkawan dengan sang hantu, atau bagaimana kita menyikapi hantu-hantu orang lain, masyarakat seperti telah menetapkan suatu konvensi tersendiri. Bila mana ada segelintir pihak yang keberatan dengan keberadaan kaum hantu, maka dianggap kuno, pandir, tak mampu beradaptasi dengan zaman gemerlapan.
Hantu reklame telah mengatur kehidupanmu sebagaimana pawang sirkus mendikte kera dan singa. Mereka merayumu untuk membeli sesuatu (bisa benda, jasa, juga perasaan) yang tak kau butuhkan. Mereka membuatmu menghamba kepada kuantitas like, follower, atau komentar.
Sekarang sudah paham hantu macam apa yang kumaksud? Jika kau tak membaca ocehanku hingga tuntas, itu bukan karena kau tak mau. Kau digoda hantu untuk mengecek lagi seberapa banyak orang yang telah melihat video yang baru saja kau unggah. Kau digoda hantu untuk menatap kembali perilaku ‘teman-teman’, yang tidak bisa kau ingat kapan terakhir kali berbicara dengan mereka secara langsung.
Berkat muslihat para hantu, hubungan pertemanan tidak harus diawali dengan perbicangan serta jabat tangan. Kau kini bisa berteman dengan satu-dua kali pencet di atas kotak berpendar cahaya.
Warung-warung, kedai-kedai, atau penyedia jasa wajib kiranya memiliki reklame. Jika tidak sanggup mengeluarkan biaya untuk memasang reklame berbentuk neon box, kain putih dengan tinta seadanya pun tak apa. Terkadang reklame hanya berfungsi sebagai penanda. Penanda bahwa usaha mereka ada dan bisa dikunjungi.
Hantu-hantu reklame yang mengintaimu ini lain sifatnya. Mereka merengek untuk tidak sekadar dijadikan penanda. Mereka bukan hantu ortodoks yang eksistensinya kau ketahui dari cerita-cerita seram yang dibawakan ibumu sebagai pengantar tidur. Kau tidak bisa melawan mereka dengan untaian doa atau jampi-jampi. Percayalah. Selain kuat, mereka juga omnipresent.
Mulanya kau disuruhnya membuat reklame. Reklame itu bisa kau isi dengan foto-fotomu saat berlibur ke luar kota atau luar negara. Jika tak berduit banyak, reklame bisa kau isi dengan pendapatmu tentang hal-hal; entah politik, atau sebatas perkara cinta. Lalu ternyata virus reklame menyebar ke banyak orang. Sepertimu, mereka juga memiliki reklame. Kau dipaksa untuk menatap reklame milik orang-orang. Di banyak kasus, jika seseorang meninggalkan jejaknya di reklame kepunyaanmu, derajatmu bisa menjulang sedemikian rupa. Semakin banyak jejak, semakin menjulang pula reklame yang kau punya. Dan anehnya engkau menjadi bahagia ataupun muram karena itu.
Mereka yang kerasukan hantu reklame lalu menetapkan sejumlah protokol. Untuk menyebut salah satu contoh, dalam ihwal percintaan.
Saat kau telah berhasil memiliki kekasih, protokol sosial dunia hantu mewajibkanmu untuk menyisipkan kekasihmu di reklame yang kau punya. Begitu pula sebaliknya. Saat kau dan kekasihmu mencoba memberontak, kau harus siap diberondong sejumlah pertanyaan dari sesama pemilik reklame.
- Mengapa tak ada namamu di reklame pria itu?
- Mengapa kau tak memberi pemberitahuan di reklame, bahwa semalam kalian kencan ke bioskop?
- Ini resepsi pernikahan, kau berdua sedang memakai busana terbaik, mengapa tak berfoto bersama lalu memajangnya di reklame kalian masing-masing??
- Dan seterusnya, dan sebagainya.
Pada awalnya mereka juga menawari kita kebebasan. Utopia tak hanya hadir di manuskrip-manuskrip kaum pemberontak.
Kau tidak bisa sekadar menjadi pemajang reklame. Kau lantas melihat ratusan, atau bahkan ribuan reklame orang-orang. Lalu kau pun kecanduan. Kau takluk dan menjadi gandrung. Kau menjadi pemuja kebudayaan reklame nomor wahid. Kau dan sesama pencandu merasa bahwa inilah cara hidup masa kini. Kau tidak ingin sembuh karena kau merasa tidak ada yang perlu disembuhkan.
Bila di masa yang telah lampau kau dipaksa hanya menjadi penonton, kini kau bisa menjadi penampil. Berkat reklame, kau bisa menjadi pemeran utama yang nantinya disoroti lampu panggung dan taburan konfeti. Kau tidak perlu memiliki prestasi. Boleh-boleh saja sebenarnya, tetapi hukumnya tidaklah mutlak.
Dengan membeli sesuatu atau mengunjungi tempat tertentu, podium perhatian dapat kau pijak. Kau tidak perlu menunjukkan sifat aslimu di reklame. Itu sama saja dengan bunuh diri.
Reklame, dan perkongsiannya dengan algoritma serta user interface, sanggup membuat teman-temanmu bertempik sorak, memuja-mujamu dengan like atau komentar. Kau tidak peduli bahwa pemujaan itu berlangsung sekejap. Jumlah reklame terlalu banyak dan kau sudah cukup senang merasakannya walau dalam hitungan detik.
Sekonyong-konyong kau mulai meninggalkan hakikat kedirianmu. Kau mendapat predikat baru: anak hits, si tukang pelesir, si eksis, dan berbagai sebutan lain yang membuatku mual. Masak kau tidak mual?
Kau tak hanya bisa memoles citra. Kau kini bisa dengan cepat membongkar citra, membangunnya-ulang, lalu menghadirkannya dalam bentuk yang sama sekali baru. Dengan secuil saja upaya, kau bisa dianggap pandai, bijak, atau merana.
(Sebagai informasi, menjadi merana di dunia hantu reklame ternyata bisa mendulang perhatian, dan juga.. uang.)
Mana benar mana salah, mana baik mana yang tidak, kini semakin kabur. Kau pun mulai membenci seseorang atau kelompok hanya dari penilaianmu atas reklame yang mereka punya. Kau menjadi pencemburu. Saat kau seharusnya mencumbu kekasihmu dengan khusyuk, kalian berdua justru memunggungi tubuh masing-masing dan sibuk menata reklame. Fisik kalian memang tak berjarak, tetapi tidak dengan kondisi mental.
Kau tak bisa lagi berhenti sejenak untuk bertapa, karena pertapaan juga sudah dijadikan ornamen penghias reklame.
Aku sudah meninggalkan reklame-reklame itu. Aku ingin membacai buku-buku yang tak kunjung tuntas kubacai. Aku ingin menyayangi orang-orang yang sudah lama tak kusayangi.
Aku hanya ingin hidup, bebas dari hantu-hantu reklame. ♦
(diilhami dari perbincangan dengan Jevandy, Hania, dan guruku Jarot Triyogo)