Bulan maduku tidak baik-baik saja dan sepertinya pernikahanku dengan Reia tidak akan berjalan bahagia. Aku berpikir demikian setelah kemuraman ini tak kunjung berlalu, kupendam dan berkarat di palung jiwaku sendiri. Di hadapan terhampar dua jalan bercabang dengan papan penunjuk arah yang berbunyi, ‘CERAIKAN REIA’. Kemuraman ini bahkan seperti tak menyediakan […]
fiksi
Musim semi, musim panas, serta musim gugur, aku memasak terus, seolah-olah memasak spageti adalah sebuah laku balas dendam. Seperti seorang gadis kesepian yang cintanya ditolak yang membuang surat-surat cinta lama ke dalam perapian, aku melemparkan bergenggam spageti ke dalam kuali.
“Apa kamu gila?” gadis itu berbisik padaku setelahnya. “Datang ke tempat seperti ini dan menjelek-jelekkan Sharpie? Gagak-gagak Sharpie akan menangkapmu. Kamu takkan bisa pulang ke rumah hidup-hidup.”
“Kau benar. Ayah menginginkan sepasang celana lederhosen untuk hadiah kenang-kenangan. Memang, Ayah cukup jangkung untuk orang-orang di generasinya. Ia mungkin tampak bagus dengan celana itu, yang bisa menjadi sebab mengapa ia menghendakinya. Tapi bisakah kau membayangkan orang Jepang memakai lederhosen? Setiap orang kan berbeda-beda."
Sejujurnya, dia tak cantik-cantik amat. Dia tak tampak menonjol biar bagaimana pun. Busana yang ia kenakan tidaklah istimewa. Rambut bagian belakangnya acak-acakan bekas ia tidur. Dia pun tidak muda—mungkin menuju tiga puluhan, tak tepat bila disebut sebagai “gadis,” sebenarnya. Namun tetap saja, kusadari dari jarak lima puluh yar: Dialah sang gadis yang 100% persen sempurna untukku. Saat kulihat dirinya, terdapat gemuruh di dada, dan mulutku terasa sekering gurun pasir.
Suatu pergerakan yang hangat dan menjijikkan di sekujur tubuh menyingkap sesuatu yang tak dikehendaki dan teramat menyebalkan, kasatmata namun tajam, dari seekor tikus, yang nyatanya telah menyelinap waktu ia berkecimpung dengan kuda poni.