Lederhosen

Oleh: Haruki Murakami

“IBU MENCAMPAKKAN AYAHKU,” seorang teman istriku berkata pada suatu hari, “semua gara-gara sepasang celana.”

Aku mesti bertanya. “Sepasang celana?”

“Aku tahu itu terdengar aneh,” katanya, “karena ini cerita yang aneh.”

SEORANG WANITA BERTUBUH BESAR, dengan tinggi dan tubuh yang hampir menyamaiku. Dia mengajar organ elektronik, tapi sebagian besar waktunya terbagi antara berenang dan bermain ski dan tenis, maka tubuhnya ramping dan selalu terbakar kecoklatan. Kau bisa menyebutnya penggila olahraga. Di hari libur, dia berlari pagi sebelum menuju kolam renang lokal untuk berenang banyak putaran; lantas pada jam dua atau tiga sore saatnya tenis, diikuti senam aerobik. Dengar, aku menyukai olahraga, tapi aku bukanlah bandingannya.

Aku tidak mengesankan dirinya sebagai orang yang agresif atau obsesif mengenai banyak hal. Lebih terkesan sebaliknya, dia sesungguhnya agak penyegan; dia takkan pernah berangan-angan untuk menaruh tekanan emosional pada seseorang. Dia hanya penuh dorongan; tubuhnya—dan tampaknya suatu roh yang melekat di tubuh itu—begitu membutuhkan aktivitas bertenaga, tak kenal lelah bagaikan komet.

Barangkali itulah yang menjelaskan mengapa ia melajang. Oh, dia menjalin berbagai hubungan—perempuan ini mungkin agak besar, tetapi dia cantik; dia pernah dilamar, bahkan sepakat untuk mengambil risikonya. Tapi mau tak mau, kapan pun hal tersebut beranjak ke jenjang pernikahan, suatu masalah pun muncul dan segalanya berantakan.

Seperti yang dikatakan istriku, “Dia hanya kurang beruntung.”

“Ya, kukira demikian,” kataku bersimpati.

Aku tak sepenuhnya sepakat dengan istriku mengenai hal ini. Benar, keberuntungan mungkin menguasai hidup seseorang dan ia bisa menjadi bayang-bayang bagi hidup yang kita jejak, tapi di mana ada kemauan—apalagi untuk seorang berkemauan keras yang mau berenang tiga puluh putaran atau berlari sejauh dua puluh kilometer—selalu ada jalan untuk mengatasi sebagian besar masalah dengan anak tangga apa pun yang bisa kau temukan. Tidak, hatinya tidak pernah benar-benar berminat menikah, itulah pendapatku. Pernikahan hanya tidak sejalan dengan gerakan kometnya, paling tidak setengahnya.

Maka ia terus saja mengajar organ elektronik, menyisihkan waktu luang sepenuhnya untuk berolahraga, merasakan jatuh dan putus cinta yang kurang mujur.

INI ADALAH SUATU SORE YANG hujan dan ia telah tiba dua jam sebelum waktu yang ditentukan, ketika istriku sedang keluar untuk berbelanja.

“Maafkan aku,” katanya meminta maaf. “Aku menunda bermain tenis hari ini, jadi punya dua jam senggang. Sedari tadi aku begitu suntuk sendirian di rumah, maka kupikir … Apa aku mengganggu sesuatu?”

Tidak sama sekali, kataku. Aku hanya sedang tidak berhasrat untuk melakukan apa pun dan cuma duduk-duduk, kucing di pangkuan, sambil menonton video. Kupersilakan ia masuk, menuju dapur dan menyeduh kopi. Dua cangkir, untuk menonton dua puluh menit terakhir film Jaws. Tentu saja, kami sama-sama pernah menonton film ini sebelumnya—mungkin lebih dari sekali—maka tak satu pun dari kami yang benar-benar tersedot ke layar TV. Walau bagaimana, kami menontonnya karena benda itu ada di hadapan kami.

Kini The End. Kredit film terpapar. Tak ada tanda-tanda keberadaan istriku. Maka kami berbincang sejenak. Hiu, pantai, berenang … masih tak ada tanda-tanda kehadiran istriku. Kami lanjut bercakap-cakap. Kini, kukira aku cukup menyukai perempuan ini, namun setelah satu jam, ketidaksesuaian kami berdua menjadi jelas. Singkatnya, dia teman istriku, bukan temanku.

Kekurangan hal untuk dilakukan, aku telah berpikir untuk memasukkan video selanjutkan ketika dia tiba-tiba menceritakan soal perceraian orang tuanya. Aku tak sanggup memaknai hubungannya—setidaknya di benakku, tak ada hubungan antara berenang dengan orang tuanya bercerai—namun kurasa alasan baru ditemukan setelah kau cari.

“BARANG-BARANG ITU BAHKAN BUKAN CELANA PENDEK,” dia berkata. “Itu lederhosen.”

“Maksudmu celana jalan-jalan yang dipakai orang Jerman? Dengan tali pengikat bahu?”

“Kau benar. Ayah menginginkan sepasang celana lederhosen untuk hadiah kenang-kenangan. Memang, Ayah cukup jangkung untuk orang-orang di generasinya. Ia mungkin tampak bagus dengan celana itu, yang bisa menjadi sebab mengapa ia menghendakinya. Tapi bisakah kau membayangkan orang Jepang memakai lederhosen? Setiap orang kan berbeda-beda.”

Aku masih tak dapat mencerna ceritanya. Aku harus bertanya, apa sebab-sebab di balik permintaan ayahnya—dan dari siapa?—soal celana lederhosen tersebut?

“Oh, aku minta maaf. Aku selalu bercerita secara tak berurut. Hentikan aku jika ceritanya tak masuk akal,” ujarnya.

Oke, kataku.

Saudari Ibu tinggal di Jerman waktu itu dan dia mengundang Ibu untuk berkunjung. Itu hal yang selalu ia kehendaki. Tentu, Ibu tak bisa berbahasa Jerman, dia tidak pernah keluar negeri, tapi menjadi seorang guru bahasa Inggris sekian lama membuatnya mengoceh tentang hal itu. Telah lama ia tak menjumpai bibiku. Maka Ibu berbicara dengan Ayah, Bagaimana jika mengambil libur sepuluh hari untuk pergi ke Jerman, kita berdua? Pekerjaan Ayah tak memungkinkan itu, dan Ibu pun pergi sendiri.”

“Saat itulah ayahmu meminta lederhosen, kukira?”

“Benar,” katanya. “Ibu bertanya apa yang ia ingini saat kembali, dan Ayah bilang lederhosen.”

“Oke sejauh ini.”

Kedua orang tuanya dulu cukup erat. Mereka tidak pernah bertengkar hingga sepanjang malam itu; ayahnya tidak pernah minggat dari rumah dengan murka lantas tidak pulang berhari-hari. Setidaknya bukan di masa lalu, walau ternyata terjadi perselisihan lebih dari sekali mengenai dirinya dan perempuan lain.

“Bukan pria yang buruk, seorang pekerja keras, tapi tipe mata keranjang,” ia merangkainya tanpa basa-basi. Tidak ada sangkut-paut dengan dirinya, dari cara ia berbicara. Untuk beberapa saat, aku hampir berpikir ayahnya telah wafat. Tapi tidak, aku diberitahu, dia masih hidup dan dalam kondisi baik.

“Ayah sudah melakukan itu selama bertahun-tahun, dan pada saat itu segala permasalahan telah mereka lupakan. Mereka tampak saling menggauli dengan baik.”

Keadaan, akan tetapi, tak berjalan tanpa hambatan. Ibunya menambah kunjungan sepuluh hari di Jerman menjadi hampir satu bulan setengah, tanpa mengatakan apa pun ke keluarga di Tokyo, dan ketika ia akhirnya kembali ke Jepang ia menetap bersama saudarinya yang lain di Osaka. Dia tidak pernah kembali ke rumah.

Baik dirinya—sang puteri—mau pun ayahnya dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi. Sebelum itu, saat timbul kendala-kendala pernikahan, ibunyalah pihak yang sabar—terlalu sabar, bahkan, sampai-sampai ia beranggapan perempuan itu tak memiliki imajinasi; keluarga selalu menjadi hal paling utama, dan sang ibu mengasihi anaknya tanpa pamrih. Maka ketika ibunya tidak singgah, bahkan tidak berusaha untuk menelepon, itu menjadi di luar pemahaman mereka. Mereka menelepon ke rumah bibi di Osaka, berkali-kali, namun tak dapat membuatnya berbicara di telepon, apalagi mengakui maksudnya yang sebenarnya.

Pada pertengahan September, dua bulan setelah pulang ke Jepang, ibunya mengungkap maksud sebenarnya. Suatu hari, sekonyong-konyong saja, dia menelepon ke rumah dan berkata pada ayahnya, “Kamu akan menerima surat-surat yang dibutuhkan untuk perceraian. Mohon tandatangani, cap, dan kirim kembali padaku.” Maukah ia menjelaskan, tanya suaminya, apa alasannya. “Aku telah kehilangan segenap cinta untukmu—dalam setiap cara, wujud, atau rupa.” Oh ya? kata sang suami. Apa tak ada kesempatan untuk membahasnya? “Maaf, tidak ada, sama sekali tidak.”

Negosiasi lewat telepon berlangsung berkepanjangan selama dua atau tiga bulan, tapi ibunya tidak mundur seinci pun, dan pada akhirnya ayahnya menyepakati perceraian. Dia tidak bisa mengajukan gugatan, berkat riwayatnya sendiri, dan lagipula, dia selalu bermaksud untuk menyerah.

“Semua ini datang sebagai goncangan besar,” ia berkata padaku. “Namun bukan sekadar perceraiannya. Aku telah membayangkan orang tuaku berpisah berkali-kali, maka aku telah siap untuk hal ini secara psikologis. Jika mereka berdua bercerai secara biasa saja tanpa segala hal amoral itu, aku takkan terlalu merana. Masalahnya bukan Ibuku mencampakkan Ayah; Ibu juga mencampakkanku. Itulah yang menyakitkan.”

Aku mengangguk.

“Sampai sebelum itu, aku selalu berpihak pada Ibu, dan Ibu selalu berada di sisiku. Namun kini Ibu mengenyahkanku bersama Ayah, layaknya sampah, dan tanpa satu pun penjelasan. Ini menghantamku begitu keras, aku tak sanggup memaafkan Ibu pada waktu yang lama. Aku menyuratinya entah berapa banyak untuk memintanya meluruskan segala hal, tapi dia tak pernah menjawab pertanyaanku, sama sekali tak berkata apa dia mau menemuiku.”

Baru tiga tahun setelahnya ia bisa menjumpai ibunya. Di pemakaman keluarga, dari sekian tempat. Saat itu, sang anak hidup sendiri—dia pindah di tahun kedua kuliah, ketika orang tuanya bercerai—dan kini ia telah lulus dan mengajar organ elektronik. Sementara, ibunya mengajar bahasa Inggris di sekolah persiapan.

Ibunya mengaku bahwa selama ini tak sanggup berbicara dengan puterinya karena ia tak tahu apa yang harus ia katakan. “Aku sendiri pun tak tahu bagaimana keadaan berlangsung,” sang ibu berkata, “tapi semua ini dimulai oleh sepasang celana pendek.”

“Celana pendek?” dia waktu itu sama terkejutnya denganku. Dia tak mau berbicara lagi dengan ibunya, tapi rasa penasaran telah menguasainya. Dalam busana berkabung mereka, ibu dan anak pergi ke kedai kopi terdekat lantas memesan es teh. Dia harus menyimak—maafkan pernyataan ini—cerita pendek ini.

TOKO YANG MENJUAL lederhosen berada di kota kecil yang berjarak satu jam perjalanan kereta dari Hamburg. Saudari ibunya yang menemukan toko itu untuknya.

“Semua orang Jerman yang kukenal bilang kalau kau ingin membeli lederhosen, inilah tempatnya. Keterampilannya bagus, dan harganya tak terlampau mahal,” kata saudarinya.

Lalu sang ibu menaiki kereta untuk membelikan suaminya lederhosen kenang-kenangan. Dalam kompartemen, duduk sepasang orang Jerman paruh baya, yang berbicara dengannya menggunakan bahasa Inggris patah-patah. “Saya sedang pergi untuk membeli lederhosen untuk oleh-oleh.” “Toko apa Anda pergi?” tanya mereka. Sang ibu menyebut nama toko tersebut, dan pasangan paruh baya itu menyela, “Itulah tempatnya, jah. Toko itu yang zerbaik.” Mendengarnya, sang ibu pun merasa sangat yakin.

Terlintas di tengah-tengah kota sebuah anak sungai yang bergemercik, yang kedua tepinya rimbun dan hijau. Jalanan berbatu bulat mengarah ke setiap penjuru, dan terdapat kucing di mana-mana. Sang ibu mampir ke suatu kafe untuk menyantap Käsekuchen[i] dan kopi.

Dia sudah pada sesapan kopi yang terakhir dan bermain dengan kucing kedai ketika pemiliknya menghampiri untuk bertanya apa gerangan yang membuatnya berada di kota kecil mereka. Dia bilang lederhosen, lantas sang pemilik toko menarik secarik kertas dan menggambar peta menuju toko.

“Terima kasih banyak,” sang ibu berkata.

Sungguh menyenangkan untuk bepergian seorang diri, pikirnya tatkala berjalan sepanjang jalan berbatu bulat. Bahkan, inilah kali pertama dalam lima puluh lima tahun usianya ia bepergian seorang diri. Sepanjang perjalanan, tak sekali pun ia merasa kesepian atau takut atau bosan. Setiap pemandangan yang ia lihat adalah hal yang segar dan baru; semua orang yang ia temui bersahabat. Seluruh pengalaman membangkitkan emosi yang selama ini terlelap, tak tersentuh dan tak terpakai. Apa yang selama ini ia genggam erat-erat—suami dan rumah dan puteri—berada di bagian lain dunia. Ia merasa tak perlu membebani diri dengan semua itu.

Ia menemukan toko lederhosen tanpa masalah. Sebuah toko perkakas yang kecil dan kuno. Toko ini tak memiliki reklame besar buat turis, tapi di dalamnya ia dapat melihat berlimpah celana lederhosen. Ia membuka pintu lalu masuk.

Dua lelaki tua bekerja dalam toko. Mereka bicara berbisik-bisik seraya melakukan pengukuran dan mencatatnya di atas buku tulis. Di balik tirai pemisah terdapat ruang kerja yang lebih besar; suara monoton mesin jahit dapat terdengar.

“Darf ich Ihnen helfen, Madame?”[ii] yang paling besar di antara dua lelaki tua menyapa ibu.

“Aku mau membeli lederhosen,” jawabnya dalam bahasa Inggris.

“Ini jazi masalah.” Lelaki tua memilih kata-kata dengan hati-hati. “Kami tak membuat bazu untuk konzumen yang tak ada.”

“Suamiku ada,” sang ibu berkata dengan percaya diri.

“Jah, jah, suamimu ada, tentu, tentu,” lelaki tua menjawab dengan tergesa-gesa. “Maklumi bahasa Inggrisku yang vuruk. Yang aku mau bilang, kalau suamimu tak ada di sini, kami tak bisa menjuval lederhosen.”

“Kenapa?” sang ibu bertanya, kebingungan.

“Suatu kebijakan toko. Ist unser Prinzip.[iii] Kami mezti lihat bagaimana lederhosen di tubuh pelanggan, rangkai dengan baik, barulah kami biza juval. Lebih dari zeratus tahun di bisnis ini, kami membangun reputasi berdasar kebijakan ini.”

“Tapi saya menghabiskan setengah hari untuk datang dari Hamburg demi membeli lederhosen Anda.”

“Maaf sekali, nyonya,” kata lelaki tua, tampak sungguh menyesal, tentu. “Kami tak membuvat pengecualian. Ini adalah dunia yang penuh ketidakpastian. Kepercayaan adalah hal yang sulit diraih tapi mudah menghilang.”

Sang ibu menghela napas dan berdiri di ambang pintu. Ia memeras otak demi memecah kebuntuan. Lelaki tua yang agak besar menjelaskan situasi pada lelaki tua yang lebih kecil, yang menganggukkan kepala sedih, jah, jah. Meski amat berbeda di segi ukuran, kedua lelaki tua memasang mimik yang sama.

“Baik, mungkin, bisakah kita melakukan ini?” sang ibu mengajukan. “Saya dapatkan seseorang yang seukuran dengan suami saya dan membawanya kemari. Pria itu mencoba lederhosen, kalian permak sebaik-baiknya, kalian jual lederhosen untukku.”

Lelaki tua pertama memandang wajahnya, terperanjat.

“Akan tetapi, nyonya, itu melanggar peraturan. Bukan pria sama yang mencoba lederhosen, suami Anda. Zan kami tahu ini. Kami tak visa melakukannya.”

“Anggaplah Anda tidak tahu. Anda jual lederhosen pada pria itu dan ia menjualnya ke saya. Dengan begitu, tak ada pencelaan untuk kebijakan Anda. Tolong, kumohon. Saya mungkin takkan pernah mengunjungi Jerman lagi. Jika saya tak membelinya sekarang, saya takkan pernah membeli lederhosen.”

“Hmph,” lelaki tua merengut. Ia berpikir sejenak, lantas berpaling pada lelaki tua lainnya dan berbicara bahasa Jerman dengan cepat. Mereka berbicara silih berganti beberapa kali. Lalu, pada akhirnya, lelaki yang besar menghadap ibu dan berkata, “Baiklah, nyonya. Sebagai pengecuvalian—pengecuvalian khusus, tolong Anda pahami—kami pura-pura tak tahu tentang hal ini. Tak banyak orang Yepang zatang buvat membeli lederhosen, dan kami orang Jerman tizak bodoh. Silakan cari orang yang mirip dengan suvami Anda. Saudaraku bilang begitu.”

“Terima kasih,” ucap sang ibu. Lalu dia sanggup berterimakasih pada saudara yang lain dalam bahasa Jerman: “Das ist so nett von Ihnen.”[iv]

DIA—SANG ANAK yang menceritakan kisah ini—melipat tangannya di atas meja dan menghela napas. Kusesap sisa-sisa kopi, yang telah lama dingin. Hujan masih turun ke bumi.

Masih tak ada tanda-tanda keberadaan istriku. Siapa yang bakal mengira percakapan akan berkelok ke arah ini?

“Lantas,” aku menyela, berhasrat mengetahui kesimpulannya. “Apa ibumu berhasil menemukan seseorang dengan bentuk tubuh serupa ayahmu?”

“Iya,” ucapnya, begitu tanpa ekspresi. “Ibu duduk di atas bangku mencari orang yang sesuai dengan ukuran Ayah. Dan setelahnya muncul seorang pria yang cocok. Tanpa meminta kesediaannya—tampaknya orang itu juga sama sekali tak bisa berbahasa Inggris—dia menyeretnya ke toko lederhosen.”

“Sebuah pendekatan langsung,” candaku.

“Aku tak tahu. Di rumah, Ibu adalah orang yang berakal sehat,” katanya sambil menghela napas lagi. “Para penjaga toko menjelaskan situasinya ke orang tersebut, dan ia dengan senang hati sepakat untuk mewakili Ayah. Ia kenakan sebuah lederhosen, dan mereka mengerjakannya dengan cermat, ketiganya terkekeh-kekeh dalam bahasa Jerman. Dalam tiga puluh menit semuanya beres, waktu yang dibutuhkan Ibu untuk bertekad menceraikan Ayah.”

“Tanggu,” aku berkata, “aku tak mengerti! Apa sesuatu terjadi selama tiga puluh menit tersebut?”

“Tak ada sama sekali. Cuma tiga orang Jerman yang ber-ha-ha-ha seperti melenguh.”

“Tapi apa yang membuat ibumu melakukan itu?”

“Itu bahkan sesuatu yang Ibu sendiri tak pahami pada waktu itu. Itu membuatnya defensif dan linglung. Semua yang ia tahu adalah, sembari memandang pria berlederhosen, ia merasakan rasa muak tak tertahankan tumbuh dalam dirinya. Tertuju pada Ayah. Dan dia tak sanggup menahannya. Pria lederhosen Ibu, terlepas dari warna kulitnya, benar-benar mirip Ayah, bentuk kedua kaki, perut, rambut yang menipis. Cara dia bersenang-senang mencoba lederhosen baru itu, penuh gairah dan keangkuhan bak seorang bocah. Tatkala Ibu berdiri di sana memandang pria itu, banyak hal yang selama ini ia ragukan mengenai dirinya perlahan beralih menjadi sesuatu yang jernih. Saat itulah ia menyadari dirinya membenci Ayah.”

ISTRIKU KEMBALI dari berbelanja, dan mereka berdua memulai percakapaan perempuan mereka, tapi aku tetap memikirkan lederhosen. Kami bertiga makan malam sebelum waktunya dan minum-minum; aku masih memutar cerita itu dalam pikiranku.

“Lantas, kau tak lagi membenci ibumu?” aku bertanya ketika istriku meninggalkan ruangan.

“Tidak, tidak juga. Kami tak terlalu dekat, tapi aku tak memiliki alasan untuk membencinya.”

“Karena dia menceritakanmu tentang lederhosen?”

“Kurasa demikian. Setelah dia menjelaskan bermacam hal, aku tak bisa lanjut membencinya. Aku tak tahu mengapa ini bisa menyebabkan hal tersebut, aku tentu saja tak tahu cara menjelaskannya, namun bisa jadi ini berhubungan dengan kami yang perempuan.”

“Tetapi, jika kau menyisihkan lederhosen dari cerita ini, anggaplah ini cuma kisah seorang perempuan yang melakukan perjalanan dan pencarian diri, apa kau sanggup memaafkan ibumu?”

“Tentu saja tidak,” katanya tanpa ragu. “Inti dari semuanya adalah lederhosen, kan?”

Sepasang lederhosen proxy, kupikir, yang tak pernah diterima ayahnya. ♦

[i] Kue keju dalam bahasa Jerman.

[ii] “Apa yang bisa saya bantu, nyonya?”

[iii] “Prinsip kami.”

[iv] “Itu sangat baik dari Anda.”


Haruki Murakami adalah penulis Jepang yang lahir di Kyoto, 12 Januari 1949. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke 50 bahasa. Novel-novelnya yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia antara lain Norwegian Wood (1987), 1Q84 (2009-2010), Hear the Wind Sing (1979)  dan Kafka on the Shore (2002). Pria yang baru mulai menulis di awal 30-an ini juga telah menerbitkan lima kumpulan cerpen.

Cerpen ini saya dapatkan dari versi berbahasa Inggris berjudul sama yang diterjemahkan Alfred Birnbaum. Cerita ini terdapat di bunga rampai The Elephant Vanishes (Vintage Press, 1993).

Sumber foto: Hiveminer.

Bagikan:
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
erwinsetia14

Keren, Mas. Ditunggu terjemahan2 selanjutnya…

Alfa Anggraini

Reblogged this on Alfa Anggraini.

2
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x