Di sebuah bangsal yang disekat tirai-tirai lusuh, perempuan itu memancarkan kecantikan yang sempurna. Kata orang, kecantikan sejati perempuan bisa dibuktikan ketika ia bangun di pagi hari. Perempuan yang ini luar biasa cantik meski tangan dan hidungnya dilintasi selang. Tubuh yang lesi serta lesu tak menghalangi pesonanya untuk menyinari siapa saja di ruangan terkutuk itu.
Dari papan penanda di ujung dipan, kudapati ia bernama Cindy. Kebetulan ia mirip aktris Cindy Fatika Sari. Hidungnya bangir seperti orang Arab. Kedua alisnya tajam dan tebal seperti orang Minang. Kulitnya kuning langsat, mulus bak pualam. Aku kerap mengerling ke arah dadanya. Meski kerap ditutupi selimut, gundukan itu membuntal menggoda. Aku perhatikan ia hanya didampingi seorang lelaki, mungkin pamannya. Sesekali beberapa kawan datang membesuk Cindy, tetapi jumlahnya tidak banyak.
Aku begitu heran karena perempuan cantik biasanya populer. Mereka dikerubungi perempuan dan lelaki. Semua ingin mendekat seperti santri mengalap berkah kiai. Hal demikian tidak terjadi pada Cindy. Hari-harinya di bangsal ini begitu sepi. Aku merasa iri dengan lelaki itu karena menjadi orang yang beruntung mendampinginya. Bahkan dia pula yang menemani Cindy di toilet, meski hanya menunggunya di depan pintu.
Di kunjunganku yang keempat, kusaksikan ia melirik lama ke arahku. Beberapa detik kemudian ia tersenyum, menghela napas, kemudian tersenyum lagi. Lalu kudengar suara dari seberang.
“Mas Jimi?!”
Kutolehkan kepala ke arah datangnya suara. Seorang perempuan muda, yang juga pasien di bangsal ini, melambaikan tangan kepadaku.
“Betul-betul Mas Jimi? Aiiihhh, saya minta foto bareng, dong, Mas,” katanya seperti melupakan sakit yang ia derita.
“Boleh, silakan. Siapa namamu?” kataku sambil memasang senyum andalan dan suara yang agak diberatkan.
“Nisa, Mas. Saya selalu mendengarkan siaran Mas Jimi. Saya juga membeli buku yang Mas tulis. Di rumah sakit pun saya tak pernah melewatkan siaran Mas Jimi. Iiih, kayak mimpi. Boleh, dong, foto yang banyak?!”Aku hanya menjawab dengan senyuman, lalu memasang pose akrab dengannya.
Setelah ramah tamah yang luar biasa remeh, aku beringsut ke posisi semula. Cindy menyaksikan kejadian tersebut dan saat kutoleh, mengulas senyum yang sungguh menantang. Senyum yang membuat tidurku luar biasa gelisah malam itu.
***
Aku bukan dokter, bukan perawat, dan tentu saja bukan penguntit. Aku berada di sana untuk membesuk bekas kekasihku, Siska, yang sedang sakit tifus. Hubungan kami rontok dua tahun lalu, saat aku menganggap ia bukan sosok yang tepat.
Yang sebenarnya kurasakan adalah aku terlalu bosan dengan Siska. Tidak seperti pacar-pacarku sebelumnya, Siska tak kukenal lewat lingkar pergaulan yang bergajul. Selama menjadi kekasihku, tak sekalipun kudapati ia melirik lelaki lain. Berkat berbagai rayuan dan laku romantis, ia begitu meyakini bahwa aku akan menikahinya.
Sebagai seorang penyiar radio terkenal, aku sangat mudah menjebak perempuan untuk bermalam bersama. Wajahku tidak terlalu tampan, tetapi profesi dan ketenaranku sanggup menambah derajat kharisma yang kumiliki. Aku tak pernah kesulitan mengajak perempuan berkenalan. Aku memiliki segudang lelucon yang bisa menjerat mereka. Aku membutuhkan lelucon sebagai amunisi karena selain bersiaran, aku juga mencari nafkah sebagai MC.
Sebuah dorongan membuatku berupaya untuk memikat Siska kembali. Meski duniaku dan dunianya begitu berlainan, aku menganggapnya sosok yang tepat untuk kujadikan istri. Ia bukan perempuan yang suka macam-macam. Dari ibunya, kuketahui akulah pacar pertamanya. Berarti aku pula orang pertama yang mengecup bibirnya.
Aku kembali menghubunginya. Menghujaninya beribu rayuan dan kata maaf. Aku bersungguh-sungguh dan menyatakan keseriusanku. Ia berhasil kuajak kencan. Sekali di Taman Ismail Marzuki, tiga kali di rumahnya. Ibunya kembali menerimaku, yang kuanggap sebagai isyarat bahwa Siska juga telah kembali menerimaku.
Dugaanku meleset. Rasa sakit yang dulu kuberi belum mampu Siska enyahkan. Ia masih menyangsikan segala hal yang kujanjikan. Ia berkata bahwa ia tidak merasakan kembali getaran itu. Di setiap sentuhan dan cumbu rayuku kali ini, ia tak merasakan desir-desir asmara, sekeras apa pun ia berusaha.
Cinta ternyata tidak bisa datang jika dipaksa. Rasa itu telah tiada dan menguap entah ke mana. Di suatu sore ia tumpahkan segalanya lewat telepon. Ia tak kunjung datang dan aku telah menunggunya lebih dari dua jam di kedai kopi favorit kami.
“Lupakan saja. Aku tidak bisa datang. Sudah kubilang, kan, aku sedang tidak enak badan. Semalam kukatakan bahwa mungkin aku bisa menemuimu di sana, saat kamu bertemu kawan lamamu. Mungkin. Bukan pasti. Aku sakit, lho, ini. Kamu terkesan begitu memaksa, Jimi,” katanya dengan yakin.
“Telah dua tahun kita berpisah. Kamu pergi terlalu lama. Selama itu ada dua lelaki yang siap mengawiniku. Mereka semua kutolak karena rasa sakit yang kamu beri masih merayap di sekujur tubuhku. Kini biarkanlah aku memantapkan hati untuk menyendiri. Aku tak ingin terus menerus menjadi peragu.”
“Dengarkan penjelasanku dulu, Siska sayang,” kataku dengan nada lembut. “Tidak ada yang perlu kamu jelaskan,” potongnya cepat.
“Masih banyak yang harus kubenahi dalam hidup ini. Kamu masih Jimi yang dulu, yang belum siap berkomitmen. Semua yang kamu katakan sebatas kata-kata, Jimi. Insya Allah, Tuhan akan menunjukkan siapa pria yang kelak menjadi suamiku. Aku selalu percaya itu.”
Meskipun tak berkerudung, ia taat menjalankan salat. Ini menjadi alasan lain mengapa aku yakin memperistri Siska. Suami yang jalang adalah hal lumrah selama ada istri sholehah di rumah.
Ia mantap untuk memutus hubungan. Seperti yang dulu aku lakukan padanya. Aku merasakan kata-kata Siska meluncur seperti paku berkarat yang menancap di kaki. Tak ada jalan lain untuk memupus tetanus selain suntikan. Jika dibiarkan terlalu lama, kakiku akan diamputasi. Suntikan yang ada di bayanganku saat itu adalah menemui kedua orangtuanya, meminta maaf dan menyampaikan maksud tulusku. Peduli setan Siska mau menemuiku atau tidak. Aku tak ingin cinta dan kasihku pada Siska diamputasi.
Usahaku berhasil. Ayahnya luluh dengan pernyataanku di malam itu. Bermanis kata adalah salah satu keahlianku. Dari informasi sang ibu, ayahnya hendak mengajak Siska berbicara secara mendalam, merayunya untuk kembali menerimaku. Aku merasa sudah menang meski belum menginjak podium. Usaha ayah Siska belum terlaksana karena Siska terlanjur sakit.
Di kunjungan pertamaku di bangsal itu, kuantar ayahnya pulang ke rumah. Hal pertama yang ia utarakan adalah soal perasaanku kepada Siska. Apakah aku membutuhkan tenggat waktu untuk mendapat jawaban? Apakah aku bisa memahami kondisi Siska saat ini? Aku hanya menghela napas, lalu meyakinkannya bahwa bukan itu yang menjadi prioritasku saat ini. Siska harus segera pulih, lain sudah. Ia menawarkan rokok, yang langsung kucomot.
Lain di mulut, lain di hati. Hasrat dan nafsuku berkobar kepada perempuan lain di bangsal itu: Cindy.
Meski ia tidak (atau belum) mengetahui statusku, Cindy pasti menyadari aku bukan lelaki biasa setelah menyaksikan peristiwa foto bersama kemarin hari. Buktinya ia langsung menebar senyum mautnya itu. Bukan aku yang terjerat, sayang, melainkan engkau.
Dengan terus menerus hadir mendampingi bekas kekasihku, setia menyanggupi permintaan ibunya untuk melakukan apapun di rumah sakit, aku yakin hati Siska dan Cindy akan melumer. Matang, populer, welas asih. Sempurna. Sambil menyelam, lelaki bajingan juga diperkenankan minum air.
Di suatu sore, saat Siska sedang di toilet bersama ibunya, Cindy berbisik, “Ssst. Kamu. Sini. Besok aku sudah tak lagi berada di sini. Temui aku di depan pintu bangsal sekitar jam 10.”
Sempat terkesiap, aku dengan mudah menguasai diri, seolah-olah hal ini biasa terjadi. Aku memberi senyum, ia pun membalas. Siska dan ibunya memasuki bangsal. Aku kembali terpekur menatap lantai seolah peristiwa tadi tidak pernah terjadi.
Persetan, Siska. Kamu tidak secantik dan seistimewa itu.
***
Seratus persen keyakinanku, Cindy perempuan agresif. Aku selalu suka perempuan macam begini. Mereka takkan menuntut apa-apa setelah kutiduri. Dari tempat parkir, kubayangkan bibirku melumat bibirnya di suatu kamar hotel antar berantah.
Di depan bangsal, aku menunggu dengan cemas. Aku khawatir nanti akan terpergok. Aku sempat gusar, mengapa kemarin ia tak langsung saja memberiku nomer ponselnya. Atau, ia memang piawai bermain api, yang membuat hasratku semakin menggebu.
Pintu terbuka, kulihat ia dibopong empat perawat rumah sakit di atas kasur beroda. Ia menoleh ke arahku, menyungging senyum, seperti benar-benar berharap untuk kulumat. Lantas tangannya mengangsurkan sesuatu kepadaku: sebuah surat. Mungkin isinya nomor telepon atau alamat surel? Aku semakin penasaran mengikuti permainannya. Kami tiada sempat bertukar kata. Segera saja ia menghilang diiringi empat pasang kaki yang tergopoh-gopoh.
Aku berpindah posisi, ke suatu sudut yang sedikit tersembunyi dari perhatian orang-orang. Surat kubaca dengan saksama:
Siapapun kamu, berhenti mengejar Siska. Jangan kunjungi ia lagi atau kamu akan merasakan sakit. Aku tak tahu pria macam apakah kamu, tetapi beberapa hari yang lalu aku menguping percakapan Siska dengan ibunya. Aku terpaksa membocorkan hal ini karena tak ingin kamu terempas begitu saja, mengingat betapa banyak perhatian yang kamu curahkan padanya.
Siska akan menyampaikan ini kepadamu jika kamu berkeras kembali menemuinya. Seminggu sebelum dirawat di sini, ia dilamar orang, dan memutuskan untuk menerima tawaran itu. Mungkin pernikahan mereka akan terlaksana beberapa bulan lagi saja. Keduanya telah begitu mantap.
Tegarkan hatimu. ♦
sok seni lo. geli.