Musim semi, musim panas, serta musim gugur, aku memasak terus, seolah-olah memasak spageti adalah sebuah laku balas dendam. Seperti seorang gadis kesepian yang cintanya ditolak yang membuang surat-surat cinta lama ke dalam perapian, aku melemparkan bergenggam spageti ke dalam kuali.
Haruki Murakami
“Apa kamu gila?” gadis itu berbisik padaku setelahnya. “Datang ke tempat seperti ini dan menjelek-jelekkan Sharpie? Gagak-gagak Sharpie akan menangkapmu. Kamu takkan bisa pulang ke rumah hidup-hidup.”
“Kau benar. Ayah menginginkan sepasang celana lederhosen untuk hadiah kenang-kenangan. Memang, Ayah cukup jangkung untuk orang-orang di generasinya. Ia mungkin tampak bagus dengan celana itu, yang bisa menjadi sebab mengapa ia menghendakinya. Tapi bisakah kau membayangkan orang Jepang memakai lederhosen? Setiap orang kan berbeda-beda."
Sejujurnya, dia tak cantik-cantik amat. Dia tak tampak menonjol biar bagaimana pun. Busana yang ia kenakan tidaklah istimewa. Rambut bagian belakangnya acak-acakan bekas ia tidur. Dia pun tidak muda—mungkin menuju tiga puluhan, tak tepat bila disebut sebagai “gadis,” sebenarnya. Namun tetap saja, kusadari dari jarak lima puluh yar: Dialah sang gadis yang 100% persen sempurna untukku. Saat kulihat dirinya, terdapat gemuruh di dada, dan mulutku terasa sekering gurun pasir.