Sepakbola dalam ‘Fieldnotes’ sang Antropolog

Catatan: tulisan ini terbit pertama kali di narazine.co pada 16 Januari 2017.

“Sepakbola, mengutip kalimat yang pernah diucapkan Darmanto sendiri, harus ditulis dengan badan demam, hati berdebar, dan tangan gemetar.”

— Mahfud Ikhwan

I

Di balik segala banalitasnya, sepakbola adalah tempat milyaran orang menaruh harapan dan merawat kenangan. Di balik kilau gemerlap Piala Dunia, ada penderitaan buruh anak-anak yang akibat praktik sweatshop bekerja menjadi penjahit bolasepak yang kelak dipakai Mesut Ozil atau Lionel Messi.

Masihkah Anda ingat ironi Brasil pada 2014 lalu? Menggenjot pembangunan infrastruktur seperti stadion dan hotel demi perhelatan akbar, rezim Dilma Rouseff memangkas subsidi transportasi rakyat yang memicu demonstrasi besar-besaran. Stadion-stadion dibangun-ulang, tetapi fasilitas publik tetap terbengkalai. Di perhelatan tersebut, Brasil justru dibabat Jerman 7-1 di partai semifinal. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 12 Mei 2016, Rouseff dipaksa lengser senat akibat korupsi.

Sepakbola menjadi paradoksal ketika ia mewujud menjadi budaya yang dimaknai sedemikian dalam oleh pemujanya, dus, tak sebatas pembunuh waktu senggang. Stadion-stadion tak ubahnya seperti masjid, kuil, atau katedral. Mars dan yel-yel kesebelasan kesayangan sudah dinyanyikan sesyahdu (atau melebihi?) liturgi. Ucapan para pelatih (baik yang revolusioner secara taktik seperti Rinus Michels, Helenio Herrera, Herbert Chapman, Gusztav Sebes; hingga yang berkarakter kuat seperti Bill Shankly, Alex Ferguson, Arsene Wenger, atau Pep Guardiola) diamini selayaknya titah para nabi.

Permainan yang ditemukan bangsa Cina, lalu meledak popularitasnya berkat Revolusi Industri Inggris ini juga menyimpan sejumlah ambivalensi. Penulis buku ini banyak menyifati ‘tafsir’-nya terhadap sepakbola dengan sisipan dua kata tersebut: ambivalensi dan paradoks. Dunia terlalu kompleks, sepakbola adalah salah satu penawarnya. Penawar yang kemudian tak jarang menambah luka.

Setelah hanya mengenal Darmanto Simaepa lewat kasak-kusuk, buku Tamasya Bola: Cinta, Gairah, dan Luka dalam Sepakbola (2016) yang dikarangnya ini adalah jawaban penting terhadap beberapa pertanyaan serta keraguan tentang sepakbola.

II

Sepakbola dan the New Media

Simaepa mungkin tak sementereng Zen R.S., sosok yang telah dianggap layaknya dewa bagi penggila (tulisan) bola. Zen semakin mengokohkan namanya lewat situsweb Pandit Football yang ia bina lalu berhasil menegaskan bahwa sastra bisa ‘bermain-main’ dengan sepakbola. Ia juga tak semasyhur Pangeran Siahaan, yang gaya satirenya mampu mengaduk-aduk sentimentalitas para fans layar kaca. Pria ini juga tak sebombastis Edward Kennedy, yang esai-esai renyahnya di Bola Total seperti mengajari diktum-diktum filsafat dalam kerangka si kulit bundar.

Blog yang Simaepa kelola tampil dengan tataletak sederhana. Tulisan-tulisan yang ada tidak dilengkapi dengan gambar. Baik blog maupun kedua penulisnya juga tak memiliki akun Twitter guna menyebarkan tautan ke blog. Inilah mengapa saya sebut bahwa saya mendengar namanya hanya dari kasak-kusuk. Memanfaatkan layanan Blogspot, Simaepa bersama Mahfud Ikhwan — yang menulis kata pengantar di buku ini — seperti menegaskan bahwa kehadiran mereka memang untuk menulis thok. Titik. Padahal ketiga orang yang saya bandingkan di paragraf sebelumnya telah menikmati mobilitas vertikal di internet.[i]

Zen, seperti kita tahu, tetaplah seorang Zen yang lihai memadupadankan sastra dengan sejarah sehingga membaca tulisan-tulisannya (yang kaya dengan kutipan peristiwa dan teori) tidak akan pernah terasa membosankan. Adalah soal strategi bisnis belaka hingga kemudian penerbit menerbitkan buku kumpulan esainya, Simulakra Sepakbola (2016). Begitu pula Kennedy dan Siahaan yang bahkan menerbitkan koleksi tulisannya lebih awal ketimbang Zen.[ii] Meski begitu, penerbitan buku-buku ini tetap dirasa penting: mereka semua adalah para penulis yang tertolong oleh kecepatan dan kemudahan akses teknologi informasi; juga bisa menjadi oase di tengah bobroknya minat membaca dan lesunya bisnis penerbitan.

Penggemar Zen tentu akan protes karena ia telah lama jadi kolumnis di koran-koran sebelum internet 3.0 menawan hidup. Memang betul, tapi Zen sendiri mengakui bahwa saat itu ia jarang menulis perihal sepakbola. Selama ingatan tak mengkhianati, tren kepenulisan sepakbola di Indonesia memang marak seiring perkembangan media sosial. Obrolan sepakbola yang semula terbatas di lingkungan terdekat kini bisa dibawa ke publik (internet). Seorang penggemar United di Kongo, misalnya, bisa beradu debat soal taktik Mourinho dengan penggemar Setan Merah di Shenzen, Cina.

Sama seperti penulis-penulis lainnya, buku ini adalah kumpulan tulisan yang Simaepa tulis di blog yang ia bangun bersama kawannya, Belakang Gawang (belakanggawang.blogspot.co.id). Pihak penerbit berkeputusan untuk mencacah tulisan-tulisan Simaepa berdasarkan tema, yaitu “Pesta & Gelak Sedih”, “Pe(r)sona”, “Kuasa & Politik”, dan “Tamasya”. Sebagai akademisi yang disibukkan penelitian, menulis sepakbola secara berkala akan membuat tulisan-tulisannya sekadar kejar target. Tepatlah bila penyusunan buku ini tidak secara kronologis berdasarkan tayangnya tulisan di blog.

Dengan tepat pula, buku ini diberi judul Tamasya Bola. Sebab seperti itulah Simaepa memperlakukannya: sebagai pelepas penat dari impitan hidup seorang akademisi. Anda bisa temukan di sini bahwa Simaepa menulis di mana saja ia berada. Dari lembah-lembah terpencil di Mentawai hingga Bogor, dari Yogyakarta hingga di Leiden, Belanda. Di balik beragam tema dan konteks tulisannya, pendekatan yang ia bangun membuat tulisannya tak berjarak dengan realitas. Simaepa mengajak kita bertamasya tapi tidak melupakan nyawa penarasiannya: manusia. Ini bukan sekadar piknik.

Kita tentu masih ingat bagaimana situsweb seperti Supersoccer mengaduk-aduk perasaan banyak fans dengan celotehan-celotehan sarkastis mereka di Twitter. Sepakbola kini semakin rumit. Berkat layanan penyedia statistik interaktif seperti WhoScored, Squawka, atau Statszone, semua merasa mampu menjadi analis pertandingan. Lewat layanan yang bisa di-install di gawai ini, kita tidak sekadar tahu berapa banyak operan sukses yang dilakukan seorang pemain, bahkan kita bisa mencacahnya lebih detail: operan lambung, umpan silang, operan di sepertiga akhir lapangan, kombinasi operan, dsb.[iii]

Khalayak kemudian mengenal penulis-penulis sepakbola jempolan dari luar negeri. Ada Simon Kuper, penulis Soccernomics (2009) yang menganalisis ekonomi-politik dalam sepakbola; Jonathan Wilson, yang bukunya Inverting the Pyramids (2008) telah menjadi semacam kitab suci untuk memahami taktik; Sid Lowe, orang Inggris yang merantau ke Spanyol lantas jatuh cinta dengan sepakbolanya; hingga Iain Macintosh,[iv] yang gaya satirenya saya perhatikan pernah ditiru Siahaan.

Dalam “Tiga Tamasya Kecil ke Masa Lalu bersama ‘Bola’” (hal. 343-372), Simaepa juga mengetengahkan fenomena ini. Sambil membahas bangkrutnya situsweb dan harian Bola, ia mengatakan bahwa ‘kematian’ tersebut terjadi berkat ulah media itu sendiri. Di saat blog-blog semakin tajam menganalisis, atau informasi dari media-media asing semakin mudah diakses, redaksi Bola masih memakai gaya jurnalistik yang ‘sekadar angka’,

“Sementara itu di Indonesia, perkembangan dunia digital menghasilkan Panditfootball atau Fandom dan puluhan blog sepakbola yang melahirkan tradisi baru tulisan sepakbola yang tidak ditemukan di media cetak. Tulisan-tulisan mereka, meski tidak dihasilkan dari wartawan yang dididik di sekolah jurnalistik, jauh lebih kaya perspektif dan mendalam.” (hal. 369-70).

Itu ia kemukakan sambil mengajak kita ‘bertamasya’ menyusuri ruang personalnya di masa lalu: cerita tentang kedekatannya dengan dunia jurnalistik sepakbola (ia pembaca harian Jawa Pos dan tabloid Bola) seraya menguliti konflik raksasa media yang tidak banyak awam ketahui. Ia menceritakan bahwa di kampungnya hanya ada satu kios yang menyediakan Bola, kios milik Baidhowi. Ia pernah dibikin was-was karena Bola tidak datang di suatu Kamis sebagaimana biasa, baru kemudian — setelah dewasa dan menceritakannya kepada pembaca — tahu bahwa perebutan pangsa pasar juga melibatkan preman, “Kisah tentang sabotase seluruh terbitan Kompas di Bandara Juanda oleh centeng Dahlan Iskan tak pernah terdengar sampai ke desa-desa, dan barangkali pula bukan isu penting bagi pembaca” (358).

Teknologi informasi juga menghadirkan suatu pemaknaan baru terhadap laporan sepakbola, yakni tactical analysis. Gaya yang dipopulerkan Michael Cox ini kemudian ditiru seantero jagat dan, terus terang, membuat sepakbola seperti hitam di atas putih semata. Bagus memang, untuk menjelaskan mengapa Brasil bisa dicukur tujuh gol oleh Jerman di depan publiknya sendiri. Tetapi ketika model tulisan seperti ini terlalu dikedepankan dalam menarasikan sepakbola, akan menjadi simplifikasi atas permainan yang tidak pernah sederhana ini. Ini mirip dengan keengganan sebagian orang pada metode kuantitatif dalam penelitian. Hal-hal yang berhubungan dengan manusia tidak bisa dikuantifikasi.

Karena hal-hal di ataslah ‘sihir’ antropologis Simaepa hadir sebagai penyigi.

Deskripsi Tebal

Sebagai anak sasian sosiologi, tentu saya perlu merasa berutang kepada antropologi. Disiplin ini telah mewarisi suatu metode penelitian canggih yang kelak diadopsi dan dimodifikasi para sosiolog di Universitas Chicago. Metodologi tersebut bernama etnografi, dan membaca buku ini, Anda yang kurang akrab dengan ilmu-ilmu sosial akan paham mengapa tulisan-tulisan Simaepa terasa tak berbeda dengan melirik catatan lapangan (fieldnotes) para antropolog.

Clifford Geertz, murid Talcott Parsons yang di kemudian hari ‘membangkang’ kepada sang guru — Parsons adalah sosok ternama aliran sosiologi fungsionalisme yang mengandalkan empirisisme atau penggunaan statistik — telah mengenalkan khalayak suatu metode bernama “thick description”. Metode ini tidak akan bisa terwujud selama si peneliti tidak mau terlibat dalam objek penelitiannya. Inilah mengapa karya masyhur Geertz yang membahas budaya sabung ayam di Bali bisa begitu berpengaruh. Lewat nongkrong (sambil sesekali memasang taruhan) di perhelatan sabung ayam, Geertz mampu menelaah sistem sosial di Bali.[v]

Dalam tiap tulisannya, ia jarang melengkapi argumentasinya dengan angka statistik. Entah itu jumlah gol atau assist seorang pemain, atau trofi-trofi yang diraih suatu klub. Dengan lihai, analisis mendalam ala studi etnografi mengajak kita memahami pesan yang ingin ia sampaikan. Dalam “Final 10 Menit” (3-10), ulasan pertandingan final Liga Champions antara Barcelona dengan Juventus dibikinnya teramat dramatis. Ia mengajak kita menapaktilasi salah satu sejarah memalukan Barcelona 1994, yakni ketika tim asuhan Johan Cruyff itu ditaklukkan AC Milan empat gol tanpa balas. Simaepa menerangkan bahwa di balik segala kejayaannya kini, tim Blaugrana dekat dengan tragedi, kegagalan, dan trauma. Kita semua tahu bahwa akhirnya mereka mampu mengalahkan Juventus. Tetapi tulisan ini, dengan sentuhan yang begitu personal, mengajak pembaca membaca sejarah Barcelona ‘yang lain’.

Tulisan bernada etnografis semakin nyata di bagian akhir buku. Terutama di “’Boxing Day’ ala Mentawai” (291-300); “Sepatu Bot, Sihir tanpa Sepatu, dan Cawat”(301-319), dan “Bola, Buku, dan Pesta” (325-342).

Tak heran bila Simaepa banyak menulis tentang Mentawai. Ia melakukan penelitian antropologi di pulau tersebut selama delapan tahun. Ia menceritakan secara jernih tentang perubahan sosial yang terjadi di Mentawai. Misalnya soal bagaimana ritual berburu menjadi jarang dilakukan karena pemerintah Orde Baru ‘menata’ kehidupan orang Mentawai dengan memakai agama (terutama Kristen dan Protestan) dan relokasi kampung. Kehidupan sosial pun berubah, dan sepakbola hadir menggantikan ritual berburu (punen) yang dirayakan besar-besaran sepanjang libur akhir tahun sehingga ia menyamakannya dengan tradisi Boxing Day di Inggris.

Simaepa menceritakan kepada kita bahwa sarana bergaul paling ampuh di sana adalah tembakau dan lagu. Simaepa tak berkenan mencoba kedua hal tersebut, tetapi kemudian ia menemukan bahwa sepakbola turut hadir di daerah kepulauan ini. Ia menjadikan sepakbola sebagai laku ‘participant observation’: mempelajari bahasa dan perilaku orang-orang yang dalam perspektif modernisasi dianggap ‘terbelakang’, demi tujuan penelitian dan tulisan sepakbolanya. Ia memaparkan ketimpangan sosial yang ada, tanpa terkesan sebagai peneliti yang memantau objek penelitian dari “geladak kapal” belaka. Di sinilah kita diperkenalkan pada dua pemain bola kampung bernama Jingglo  dan SiMax.

“Teknik bermain Jingglo tidak memesona tapi cara dia lari sambil membawa bola mungkin yang tercepat di lembah itu. Posisi yang paling dia sukai adalah penyerang sayap. Walau kakinya asimetris, kecepatan larinya tak terhentikan. Cara larinya juga sangat unik. Dalam bahasa Jawa Timuran, seperti layang-layang gojeg — bergerak ke kiri-kanan karena sayapnya tidak seimbang. Saat kali pertama berhadapan dengannya, saya hanya mendengar suara celana di kedua pahanya bergesekkan dan tiba-tiba saja dia sudah ada di muka gawang.” (308).

Porsi berlebih ia curahkan pada SiMax, yang secara teknik lebih piawai ketimbang Jingglo, “SiMax barangkali adalah bakat terbaik yang pernah saya lihat di Mentawai.” (309). Yang membuat cerita ini makin spesial, keduanya baru benar-benar mengeluarkan kemampuan terbaik saat wasit dan panitia hanyut dalam suasana pertandingan, sehingga mereka bisa melepas sepatu yang mereka kenakan. Jika sudah begitu, gol-gol tinggal menunggu waktu.

Lewat koneksi kerabat, di usia 17 tahun SiMex akhirnya ikut seleksi Porda (Pekan Olahraga Daerah) di Padang. Akan tetapi, layaknya ahli nujum yang kehilangan kesaktiannya di belantara kota, SiMex tak mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya karena pemakaian sepatu — hal yang menghambat daya gedornya — adalah hal wajib di permainan resmi. SiMax selalu terkenang pada ongkos jajan 300 ribu yang diberi panitia, meski kepiawaiannya bermain bola tak ‘sesuai’ menurut kaidah resmi.

Simaepa menceritakan sepakbola sebagaimana menguliti kulit bawang: berlapis-lapis dan mendetail.

III

Sepakbola sebagai Peristiwa Sosial

Simaepa, bersama kompatriot blognya Mahfud Ikhwan, seperti mengacungkan jari tengah kepada mereka yang menganggap sepakbola sebagai perkara menang-kalah belaka.

Buku ini mengingatkan kita bahwa sepakbola bisa menjadi perantara dan sarana keberlangsungan sosial. Meski tidak dikelompokkan secara spesifik, jika dicerna lebih dalam tulisan-tulisan Simaepa konsisten melukis sengkarut kehidupan yang kanvasnya adalah permainan si kulit bundar.

Ia menyamakan figur Sepp Blatter dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam “Andai Sepp Blatter adalah Raja Jawa” (167-175); dua oligarki di sistem sosial yang berbeda. Dengan cantik, ia mengemukakan bahwa keduanya sama-sama tertawan godaan investor (baca: arus kapital),

“Dulu mungkin pasir pantai laut Selatan hanya menjadi taman bercinta sang Raja dan Nyai Roro-nya. Ketika pasir-pasir hitam itu bisa dijual mahal ke investor Australia, bukan hal sulit untuk menjelaskan sengketa Sultan Ground. Keistimewaan adalah kata indah dan mesin politik canggih untuk melegitimasi penarikan tanah-tanah swapraja yang (telah?) diserahkan ke negara dan rakyatnya.” (173).

Dalam setiap pertandingan, terutama kekalahan, penonton sontak berlomba-lomba memilih figur antagonis. Figur pesakitan itu bisa jatuh ke pemain yang berulang kali gagal memanfaatkan peluang matang, pelatih yang sembrono menerapkan taktik, atau wasit yang alpa memberikan penalti. Dalam kehidupannya mencintai sepakbola, figur antagonis bagi Simaepa jatuh kepada “si pemuda malas asal Setubal”, Jose Mourinho.

Rasa benci yang ia punya terhadap Mou sederhana saja, sama seperti yang dipunya pemuja sepakbola cantik: Mou adalah antitesis dari sepakbola sebagai state-of-the-art. Dia anti-football, seorang egomaniak yang merasa dan menganggap bahwa dunia semata berputar untuk dirinya. Alih-alih menjadi terlalu kekanak-kanakkan (sepakbola punya potensi untuk mengubah orang paling dewasa sekali pun menjadi bak anak SD), rasa benci tersebut menjadi obsesi lalu ia tuangkan ke tulisan. Bahkan di tulisan yang tidak bersangkutpaut dengan pelatih MU itu pun, Simaepa kerap menyematkan namanya — tentu dengan sederet predikat negatif.

Selain tentang Mourinho (yang sayangnya diberi porsi terlalu banyak), tulisan terbaik yang menceritakan seorang aktor sepakbola ada dalam “Si Tonggos” (98-105). Khas Simaepa, alih-alih menceritakan kiprah Ronaldinho sewaktu jaya, ia justru memilih fokus di satu pertandingan eksibisi yang mana ciri khas permainan Ronaldinho tak tampak. Simaepa seperti hendak menegaskan bahwa karier pesepakbola amatlah pendek. Ronaldinho yang dulunya sosok vital Blaugrana mesti merelakan dirinya tersisih oleh proyeknya Guardiola.

Penutup

Buku ini bukan tanpa cela. Ada beberapa kesalahan yang cukup mengganggu seperti cantuman peristiwa yang salah di penyebutan tahun di mana Arsenal hampir menaklukan Eropa (hal. 116); atau sisipan halaman yang salah. Meski begitu, usaha penerbit mencetak buku ini serta pemilihan Simaepa telah menambah perbendaharaan literatur sepakbola kita.

Lalu sehabis membaca “Desentralisasi (Politik) Sepakbola” (248-255), timbul pertanyaan: apakah Simaepa berkenan untuk melakukan penelitian antropologi sepakbola? Atau, apakah salah satu pembaca buku ini kelak terinspirasi untuk membuat buku yang bukan kumpulan esai? Literatur sepakbola lokal, kita tahu, selalu berpola seperti itu — hal yang juga dilakukan Sindhunata (sosok yang tulisan-tulisan sepakbolanya, menurut Zen, adalah cetak biru bagi kepenulisan sepakbola nasional). Bukannya membosankan, tetapi buku yang ditulis dalam satu kesatuan tema (entah itu hasil penelitian ataupun sejarah) tak hanya memperkaya khasanah, tetapi juga membentuk wacana baru serta pemaknaan terhadap olahraga terpopuler di Indonesia ini. Berandai-andai sedikit, saya pikir, tidaklah haram.

Tak berlebihan kiranya jika Irwan Bajang menyebut buku ini dan Simulakra Sepakbola sebagai buku-buku yang menyenangkan tahun 2016,

“Darmanto mengemas bukunya menjadi bacaan yang asyik-cum-menyenangkan. Mengajak bertamasya lewat beberapa pengalaman pribadi. Misalnya, bagaimana rasanya bermain bola dengan sepatu bot atau menulis sebuah perbandingan yang keren. Darmanto berusaha mencari beberapa kesamaan antara Blatter dengan Sri Sultan Hamengku Bawono 10. Ia menggambarkan bagimana feodalisme bertransformasi menjadi industri dan permainan kapital yang tiada hentinya.

Darmanto, dalam buku ini, sebagaimana juga Zen, sama-sama menulis bola bukan diperuntukkan hanya bagi para pencinta sepak bola. Dalam kedua buku ini, segala hal bisa dibicarakan dan, kok ya, bisa mereka jahit bersama serta menjadi bagian tidak terpisahkan dari sepak bola?”[vi]

Rasa cinta terhadap sepakbola bisa datang dari cara paling aneh sekali pun. Saya, misalnya, alih-alih mendukung MU pertengahan 1990-an yang diperkuat keeleganan dan kepemimpinan Eric Cantona; keflamboyanan David Beckham di dalam maupun luar lapangan; serta kegesitan Ryan Giggs menyisir garis kiri; justru jatuh hati pada etos kerja Tony Adams dan Ray Parlour di atas rumput Highbury.

Simaepa mengingatkan kita bahwa sepakbola bisa dikenang dan diingat sebagaimana ciuman pertama: manis, memang, tapi tak membuat Anda terlalu lama tertegun karena kenyataan hidup telah menanti. Kenyataan tersebut bisa slip gaji yang digitnya tak kunjung bertambah, tagihan listrik, pacar yang cemberut, prestasi klub pujaan yang selalu ambruk, atau kisruhnya pertarungan antarelite di tubuh PSSI. ♦

Judul: Tamasya Bola: Cinta, Gairah, dan Luka dalam Sepakbola
Penulis: Darmanto Simaepa
Penerbit: Buku Mojok
Cetakan Pertama: April 2016
ISBN: 978-602-1318-31-7
Jumlah Halaman: i – xviii + 384

Catatan Kaki

[i] Siahaan, lewat modal komunikasi atraktifnya kini lebih dikenal sebagai komentator di stasiun TV berbayar; sementara Kennedy beranjak dari sekadar narablog menjadi editor di situsweb Mojok, hingga kemudian bekerja di portal berita Kumparan. Kennedy juga dibesarkan lembaga pers mahasiswa (LPM) yang sama seperti Zen. R.S., yaitu LPM Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta

[ii] Buku kumpulan esai Kennedy berjudul Sepakbola Seribu Tafsir (Yogyakarta: Indie Book Corner, 2014). Siahaan berjudul The Big Pang Theory: Talking Mad About Football (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2014).

[iii] Selain segi operan, mereka juga mencatat torehan/model tembakan, duel, heat maps, penguasaan bola, dan masih banyak lagi. Layanan-layanan seperti ini menyediakan catatan statistik secara gratis, real time, dilengkapi grafis memukau, dan — menurut saya yang terpenting — dapat dibagi pengguna di segala lini media sosial mereka.

[iv] Selain Macintosh, ada pula mereka yang memulai karir sebagai narablog dan kini dianggap sebagai penulis terhormat. Pertama, Michael Cox, lewat situsnya zonalmarking.net adalah cetakbiru bagi kepenulisan sepakbola bersudutpandang taktik. Juga ada Kieran O’Connor di swissramble.blogspot.com yang mana analisisnya tentang keuangan suatu klub sering dirujuk dan beberapa kali memenangi penghargaan. Penulis-penulis di Pandit Football dan Fandom juga telah menerbitkan buku antologi tulisan. Hal ini, menurut saya, telah membuktikan bahwa blog tidak bisa dianggap sebelah mata.

[v] Geertz, Clifford, “Deep Play: Notes on the Balinese Cockfight” dalam Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York: Basic Books, 1973.

[vi] Bajang, Buku-Buku di 2016 yang Menyenangkan Hati, https://www.mojok.co/2017/01/buku-buku-di-2016-yang-menyenangkan-hati/, diakses 16 Januari 2017, jam 15.22 WIB.

Bagikan:
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x