Kamu memasuki pelataran. Sepasang kakimu yang jenjang terlihat melangkah pasti, kanan ke kiri. Namun, dari raut wajahmu, orang akan menebak yang kamu pampangkan semata ketegaran yang dipaksakan.
Kamu berhenti sebentar, melepas pengait berwarna perak yang menjepit rambutmu yang legam. Kauhela napasmu. Bukan hanya udara yang kaucoba embus, namun juga kelu di hati. Setelah bibir bawah kaugigit, kamu menghela napas lagi. Kali ini sambil memejamkan kedua mata yang berlumur maskara.
Kamu pun memasuki kamar apartemen. Tubuhmu toh masih segar seperti dulu. Cobaan hidup tak berhasil membuatmu layu. Lagi, kamu menarik napas panjang dan dalam. Tatapanmu kosong melompong. Kaugumamkan suatu kalimat seraya mendongak ke arah langit-langit kamar yang sekosong tatapan matamu. Kamu lantas menjerit. Pupuslah segala kesabaran yang sejak tadi kautahan. Air mata tumpah subuh ini.
Kamu telah menanggalkan semua: kebaya merah marun, sanggul, arloji imitasi, kemben hitam berenda; kecuali beban yang kautanggung. Beban yang telah lama hinggap di pundakmu, membuat hidup yang seharusnya merona semata kuyu. Kamu tersadar kamu tak boleh tidur karena pagi sebentar lagi tiba. Kamu harus menunaikan kewajiban bekerja. Kamu sedikit menyesali ajakan teman untuk menghabiskan malam di bar setelah meninggalkan resepsi pernikahan.
Sambil tetap menghalau kantuk, kamu termenung di bibir kasur yang semrawut. Sengaja tak kaurapikan karena jika rapi, kamu pasti dikalahkan kantuk. Kamu belum siap kehilangan pekerjaan.
Kamu belum siap kehilangan pekerjaan setelah empat bulan yang lalu kehilangan lelaki yang selama ini membuat hidupmu berpijar.
Namamu Silvia dan aku sungguh-sungguh mencintaimu.
***
Aku duduk berpangku tangan di bilik berbentuk oval. Seperti daerah asalku, Sungai Ungu, ruangan ini juga memendarkan warna yang sama. Dingin. Sunyi. Memang ada suara, tetapi hanya dengung konstan dan monoton sehingga seperti tiada.
Telah lama aku berada di ruangan ini, tanpa memedulikan lapar dan kantuk. Sepertinya kebutuhan ragawi sudah tak bisa lagi menyandera diri ini. Kini segalanya semata-mata tertuju padamu, Silvia.
Terdengar derit pintu. Seperti bungker, pintu bilik ini berada di langit-langit. Setelah pintu ditutup aku melihat bayangan seorang pria. Ketika akhirnya ia menapaki tangga turun, wajahku pun bersemu. Akhirnya aku tahu kepada siapa bisa bercerita.
“Namaku Iqbal. Senang bisa jumpa dengan Bung. Di negeri asing, bukankah bertemu dengan rekan senegara adalah berkah? Aku harap Bung setuju. Aku tahu Bung orang baru di sini. Oh iya, nama Bung siapa?”
“Jevandy. Tapi panggil saja Andi. Iya, betul. Senang sekali rasanya. Setelah sekian bulan, akhirnya aku bisa menjumpai orang yang bertutur bahasa yang sama,” jawabku sambil mengguncang-guncangkan tangannya.
“Sepertinya Bung sudah mengalami tuah lensa?”
Percuma saja menyebut nama jika tetap memanggilku Bung. Mungkin di masa lalunya pria ini seorang aktivis. Dia mengambil posisi duduk di hadapanku, meleseh seperti seorang cenayang.
“Iya, Bal. Seru sekali! Lensa itu betul-betul canggih. Rasanya tidak seperti menguntit. Kita bisa terus mengetahui keadaan orang yang kita sayang. Kalau diperkenankan bertemu dengan si pembuat lensa, akan kukecup kedua kakinya!”
Demi mengakrabkan diri, aku pun memutuskan untuk turut memanggilnya dengan tambahan “Bung”. Ini negeri asing, aku harus cepat-cepat mendapat sahabat. Dengung suara tak lagi terdengar monoton dan membosankan.
“Tapi Bung tahu kan konsekuensinya?” ia bertanya sembari menaikkan alis sebelah kiri. “Bung akan terus—“
“Terus menerus melihat orang yang sama?” potongku.
“Iya. Itu maksudku.”
“Tak masalah. Lagipula aku telah membayar mahal. Bung Iqbal sendiri mengintai siapa?”
“Ayah dan ibuku. Sedih sekali memang. Tapi, yaa… kita tak pernah sempat berpikir panjang, kan, sebelum membayarnya?”
Ada keheningan yang tak mengenakkan selama beberapa saat. Sayangnya tidak ada rokok atau camilan sebagai pengalih rasa kikuk. Kami lantas bersitatap ke arah yang berlainan.
“Hhhh,” dengusnya, “yang tidak mengenakkan adalah kita takkan pernah bisa berbuat apa-apa meski tahu orang yang kita intai sedang sedih atau mengalami musibah.”
“Itu juga harga mahal yang telah kita bayar, bukannya?” ucapku mencoba membesarkan hatinya. Bung Iqbal melankolis juga.
“Yah.. Meski kita hidup secara nafsi-nafsi, ikatan antara orang tua dengan anak adalah ikatan gaib yang azali, Bung. Biar kutebak. Orang yang kau pilih bukan orang tuamu, kan?”
***
Aku tak lagi memedulikan hari-hari. Konsep waktu menjadi kehilangan arti jika dirimu bisa merasakan berkah lensa berharga mahal ini.
Selain seratus persen aman, fitur lensa ini sanggup mengamati sasaran dari sudut pandang 360 derajat. Bayangkan saja, lensa ini bisa menjangkau daerah-daerah paling terpencil seperti ketiak atau lipatan paha!
Ah, itu engkau. Kukulum senyum jemawa ketika melihat isi keranjang belanjamu di swalayan: lima kaleng acar. Olala! Kamu pasti sedang merindukanku.
Berkat ajakanku ke Jerman-lah kamu jadi suka menjadikan acar sebagai camilan. Kita ke sana untuk menikmati Oktoberfest, masa di mana kita menjadi pencandu sauerkraut. Setelah masa pelesir tuntas, kita pun menjadikan asinan sebagai pengganti. Namun, asinan gampang basi. Kita kembali berpaling pada acar, meski acar kubis tak dapat kita temukan di supermarket mana pun.
Puluhan lelaki menelanjangimu dengan tatapan-tatapan mereka. Kasihan sekali. Gadisku mengacuhkan semua, memilih sibuk dengan pikirannya. Setelah memasuki gerbong kereta, kamu mengenakan masker. Bukan untuk menghalau debu atau kuman, tapi demi mengusir tatapan liar lelaki. Kamu sungguh gadis yang pintar bersetia.
Ah, iya, aku lupa memberitahumu beberapa kelemahan besar lensa ini. Alat ini tak dilengkapi mikrofon sehingga kita tak bisa mendengar apa pun. Kita juga tak bisa mengendalikan waktu-pakainya seenak hati. Satu sesi lensa bisa berlangsung sampai tiga hari, tapi tak jarang ada yang terjadi hanya selama dua puluh menit.
Sebentar. Kamu tidak turun di stasiun biasa, yang hanya berjarak selemparan batu dari apartemenmu. Kamu baru turun setelah tiga stasiun terlewati.
Setelah menjejakkan kaki di atas peron, kamu menuju kamar mandi. Semoga bukan untuk buang air besar. Aku ingin menggerayangi tubuhmu lagi walau tanpa membelai. Aku ingin mencermati setiap lekuknya walau tanpa mengecup. Untungnya lensa tidak memiliki fitur pengantar bau.
Waktu bergerak cepat dan yang kamu lakukan hanya duduk melamun. Kuatur lensa semakin ke bawah, demi mengetahui apa yang sebenarnya kamu lakukan. Mungkin saja kamu mendadak bergairah, lantas memutuskan untuk bermasturbasi.
Tunggu. Kamu menangis, sambil berupaya keras menahan agar tangisanmu tak terdengar. Ini sungguh menjengkelkan. Seperti yang Bung Iqbal katakan, kita tak bisa menyudahi adegan memilukan seperti ini.
Kamu memutuskan untuk keluar dari bilik toilet. Sebelum membuka selot, kaukeluarkan blus satin berwarna krem dari tas. Wahai jelita, malam mulai larut, apa kau hendak menghadiri pesta?
Kamu berjalan membelah peron yang masih disesaki lautan manusia. Selama itu pula kauladeni suara di balik ponsel dengan riang. Pipimu merah jambu dan jantungku mulai berdegup kencang. Sial!
Kamu membonceng pengojek yang kautemukan di muka stasiun. Motor melaju dengan gesit, meliuk-liuk di antara kendaraan-kendaraan lain. Lensa membuatku terhuyung karena mengikuti gerak motor. Aku kewalahan mengatur posisi pandang. Rasanya seperti berada di atas roller coaster.
Motor berhenti di bibir losmen berarsitektur jengki. Tak jauh dari serambi, terdapat sebuah plang bertuliskan “Sri Rejeki”. Setelah membayar tagihan, kamu melangkah masuk. Aku berteriak supaya sesi kali ini berhenti sampai di sini.
Percuma.
Walau kutahu sia-sia, teriakanku semakin kencang saat kamu memasuki kamar nomor sekian. Di dalamnya telah menunggu seorang lelaki yang amat kukenal.
Dimas.
Lelaki itu kakakku dan kontan kutahu harga yang telah kubayar terlampau mahal, teramat mahal, sekaligus tak berarti.
***
“Kami tahu Anda masih shock. Tapi tolong bantu kami. Kami tak mungkin mengizinkan Anda meninggalkan lokasi sebelum mendapatkan kesaksian Anda. Cuma saudari yang menyaksikan peristiwa ini. Tenang, kami bukan petugas kepolisian. Kami hanya ingin memastikan beberapa hal sebelum jenazah ini kami tangani. Benar Anda mengenal pria ini?”
“I-i-iya, Pak. Saya mengenalnya.”
“Apa yang ia katakan sebelum membakar diri di depan pintu apartemen Anda?”
Silvia kembali bungkam. Ia baru tahu bahwa, salah sikap—meski kita merasa tindakan yang kita ambil bukan suatu kesalahan—bisa memicu reaksi tak terduga. Seperti apa yang diperbuat Jevandy, setelah kemarin Silvia ucap kata perpisahan, memangkas hubungan yang telah lama mereka rajut. Kali ini bunuh diri bukan cuma berita, peristiwa itu melibatkan Silvia.
Kobaran api telah menyisakan bara dan aroma anyir. Lorong apartemen itu pun dikepung asap pekat nan menyesakkan dada. ♦
Tayang pertama kali di sini.