Pertama tayang di Football Tribe Indonesia, 21 Maret 2017
Salah satu imbas dari Reformasi 1998 adalah adanya semangat untuk memupus kebijakan Soeharto yang Jawa-sentris, melalui program desentralisasi. Di era Orde Baru, kewenangan daerah begitu dikuasai pusat.
Selain berimbas besar pada perimbangan kekuasaan dan ekonomi-politik, yang disertai dengan semangat demokratisasi, proyek desentralisasi dan otonomi daerah ini turut mempengaruhi kancah sepak bola nasional. Timbul keinginan dari masyarakat untuk mewarnai corak sepak bola di daerahnya masing-masing, setelah di masa lalu hanya mampu melihat tim dari kota-kota besar.
Pasalnya, elite daerah kini memiliki kekuasaan serta wewenang yang otonom, tidak lagi diatur pusat. Dan kita semua tahu, sepak bola adalah magnet yang bisa menarik banyak kalangan, sehingga banyak pula pemimpin di daerah yang terlibat atau dekat dengan tim sepak bola di daerahnya.
Salah satu yang terkenal adalah Persela Lamongan. Klub yang berada di Jawa Timur ini langsung mencuat setelah pemerintahan Orde Baru tumbang. Meski telah lama lahir, tepatnya pada 18 April 1967, warga Kabupaten Lamongan lebih banyak yang mendukung Persebaya Surabaya, klub ibu kota Jawa Timur.
Esais sepak bola, Darmanto Simaepa, yang kebetulan lahir di daerah ini, juga memberikan kesaksian senada. Dalam esainya yang berjudul “Desentralisasi Sepak Bola”, Simaepa memaparkan kepada kita bagaimana klub berjuluk Laskar Joko Tingkir ini kalah populer dengan klub-klub yang ada di Surabaya.
Secara permainan pun, Persela bahkan kalah dengan dua tim kecamatan, tim Babat dan Brondong. Penulis yang juga seorang antropolog ini merasakan keanehan mengapa Persela bisa melesat lumayan tinggi setelah masa Reformasi. Ia kemudian menyebut peran Masfuk (Bupati Lamongan waktu itu) dan otonomi daerah turut menyokong bergairahnya tim ini.
Masyarakat Lamongan akhirnya menemukan wadah untuk menuangkan kecintaannya kepada sepak bola yang meletup-letup. Dan bila hal terebut dapat dicurahkan ke tim yang berada di kota sendiri (tanpa harus ke Surabaya), hal ini bisa dianggap berkah. Kita akhirnya mengenal LA Mania, kolektif suporter pendukung klub yang bermarkas di stadion Surajaya ini.
Orang-orang Lamongan, baik yang berada di sana maupun yang merantau, akhirnya dapat mengidentifikasikan dirinya dengan klub yang ada di kotanya. Orang Lamongan memang terkenal sebagai perantau, bahkan sebagai pekerja migran atau TKI.
Berkah desentralisasi turut juga menghampiri sepak bola pulau Sumatera, khususnya pada klub asal Palembang, Sriwijaya FC. Baru didirikan pada 2004, Laskar Wong Kito mampu menyabet sejumlah prestasi mentereng di arena sepak bola tanah air. Selepas masa Reformasi, kesuksesan Sriwijaya FC ini mengungguli tim-tim Sumatera yang lebih dulu berkiprah, seperti PSMS Medan dan Semen Padang sekalipun.
Pada Sabtu, 18 Maret 2017, sebuah tim bernama 757 Kepri Jaya FC (selanjutnya disingkat menjadi Kepri FC saja) sedikit membuat berita mengejutkan. Tim yang secara resmi baru berdiri pada Februari 2017 itu mengadakan laga persahabatan melawan tim asal Singapura, Hougang United.
Seakan tak mau kalah dengan Persebaya, PSIS Semarang, Bali United, dan PSS Sleman, mereka juga mengadakan pertandingan uji coba, sebagai persiapan untuk mengarungi kompetisi sepak bola nasional di bawah kepengurusan PSSI baru pimpinan Edy Rahmayadi.
Tim ini memang menjadi salah satu dari 60 klub yang akan berlaga di Liga 2 Nusantara. Saat dipastikan menjadi klub peserta, masih bernama Bintang Jaya Asahan yang berdomisili di Asahan, Sumatera Utara. Februari lalu, klub ini akhirnya merger dengan YSK 757, klub milik Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), Nurdin Basirun.
Kepri FC sendiri belum memiliki situsweb resmi, sehingga informasi tentang mereka masih begitu minim. Klub ini menggaet nama Jaino Matos, eks pelatih Persiba Balikpapan dan Diklat Persib, untuk menduduki jabatan sebagai pelatih kepala.
Yang menjadi pertanyaan, mampukah Kepri FC mejadi magnet sepak bola bagi penduduk di Kepulauan Riau? Provinsi ini secara geografis memang luas, sebesar 252.601 kilometer persegi. Namun hanya 5% daerahnya yang merupakan daratan. Apakah klub ini nantinya mampu membuat masyarakat Kepri mengidentifikasikan diri mereka sebagai pendukung Kepri FC?
Merger serta pengakuisisian klub adalah hal yang begitu jamak terjadi di sepak bola kita. Sriwijaya FC pun, sebelum menjadi klub kebanggaan orang Palembang, bernama Persijatim Jakarta Timur. Pada 2002, tim ini sempat pindah ke Solo dan mengubah namanya menjadi Persijatim Solo FC. Sampai akhirnya pada 2004, Persijatim berganti nama menjadi Sriwijaya FC. Pun dengan Persela, yang telah saya tulis di awal tulisan, adalah daerah yang memiliki antusiasme sepak bola tinggi, plus dekat dengan kota yang memiliki tradisi sepak bola kuat, Surabaya.
Baik Persela, Sriwijaya FC, maupun Kepri FC, sama-sama disokong oleh sosok kepala daerahnya masing-masing. Terkait Lamongan, sebagaimana yang telah diterangkan Simaepa, mantan bupatinya, Masfuk, memiliki peran signifikan dalam perkembangan Persela (meski kelak menjadi tersangka kasus korupsi pada 2012 lalu). Begitu pun dengan Sriwijaya FC yang lekat dengan nama Alex Noerdin, Gubernur Sumatera Selatan.
Pertanyaan saya di atas, hampir mirip dengan apa yang dipikirkan Simaepa yang cukup kaget dengan kesuksesan Persela. Di esai yang juga masuk di bukunya tersebut, ia menulis:
“Saya, dari tempat yang jauh, tidak mengenali proses apa yang menjadikan evolusi Persela sedemikian cepatnya. Lamongan bukanlah kota industri, seperti Surabaya, Makassar, Jakarta, Semarang, atau Medan. Dalam sejarah sepak bola Indonesia, sepak bola terutama berkembang di kota-kota besar yang dihuni banyak buruh dan pengangguran. Kota besar menciptakan klub sepak bola dengan penggemar masif dan fanatik. Lamongan juga bukan kota pendidikan atau bekas kota kolonial yang elegan, seperti Malang atau Bandung yang memiliki alun-alun dan stadion olahraga yang bagus, di mana para pelajar dan ambtenaar memiliki banyak waktu luang berolahraga.”
Terlalu dini untuk menilai, sementara Kepri FC pun baru satu bulan berdiri. Tetapi kita telah banyak menyaksikan klub-klub di Indonesia yang dengan mudah berganti nama dan lokasi, lalu bernasib tidak jelas. Ini memang fenomena yang perlu dikaji.
Termasuk Kepri FC, ada enam klub Liga 2 yang telah berganti nama dan lokasi. Lima klub lain adalah Persebo Bondowoso Musi Raya (menjadi Sumsel United FC), Pro Duta FC (yang dirumorkan akan menjadi Pro Duta Sragen), Persires Rengat (Lampung FC), Persigo Gorontalo (Semeru Way FC Lumajang), Persbul Buol (Persema Malang).
Elite (baik pemerintah ataupun swasta) serta masyarakat tentu ingin memiliki klub pujaan yang tiap pekannya dapat mereka dukung. Tetapi untuk meniru langkah Persela dan Sriwijaya, terdapat banyak aspek yang mesti ditimbang sebelum suatu kalangan ingin membangun tim sepak bola.
Setelah dua klub itu di 2000-an awal, kita telah menyaksikan pula bagaimana tim-tim di Kalimantan, Madura United dan Bali United membangun timnya masing-masing. Tetapi tak sedikit juga klub yang bernasib sekadar lewat di suatu daerah. Namun satu yang patut dinikmati, berkah desentralisasi sekali lagi memunculkan satu nama klub baru yang berpotensi membuat liga sepak bola kita kian semarak.
Selamat datang dan selamat berkompetisi, Kepri FC! ♦