Kawanku mati bulan ini setahun lalu
Kawanku itu, kau tahu, punya glosari yang ia suka
“Multitafsir.”
Seringnya kata itu ia ucap kala membincangkan musik
Amboi, gemar betul ia membicarakan musik
Entah ia sungguh-sungguh atau tidak
Namun kutahu pasti ia tak senang berlagak.
Kawanku yang mati bulan ini setahun lalu
Mengajarkanku hal-hal dan ihwal-ihwal, salah satunya
Kawanku itu hobi mendamprat
Mendamprat orang, maksudku
Kupikir itu baik
Tinimbang kita-kita orang yang gemar
Berbisik di belakang,
Mendamprat untuk kemudian melempar maksud
kepada lawan bicaranya.
Mungkin ketus, bisa menyinggung
Tak sedikit yang dibikinnya berang.
Kawanku yang mati pada bulan ini setahun lalu itu
Tak semenit pun kujumpai jasadnya
Atau menaburinya kembang-kembang saat diturunkan ke liang lahat
Atau sekadar menyekar di atas pusaranya
Kadang kupikir aku ini sahabat macam apa!
Tapi, oi, ia adalah manusia pembenci melakolia
Menggambar ia suka, manasuka
Gambar-gambarnya itu mutlak saja: hitam-putih, jerangkong, siluet.
Kawanku yang mati pada bulan ini setahun yang lalu dan gemar mengucap “multitafsir” itu,
Setelah kupikir-pikir seperti mengamini Pram:
‘Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.’
Namun, ah, ia tak pernah membaca Pram
Tapi kuperingati kau: ia pembaca yang lahap!
Tak membaca Pram tak serta merta mencoreng keagungannya
Setidaknya menurutku, ia itu jenis kawan yang sungguh-sungguh agung.
Jadi begini maksudku:
Aku tak mau engkau menjadi seperti
Kawanku yang mati bulan ini setahun lalu.
Karena sebenarnya penyesalan dan rindu ini terlalu memasung.