P e r e m p u a n.
Sembilan huruf pembentuk kosakata yang kemudian menjadi kultus dan ritus.
Dikultuskan lelaki atas dasar obsesi. Menjadi ritus karena mata lelaki membingkainya sebagai makhluk yang bernasib untuk ditaklukkan.
Ritus-ritus, kawanku, tak melulu kudus. Ritus-ritus tak melulu identik dengan itu.
Perempuan, dengan sederet adjektiva yang menyertai kata tersebut, konon pantas untuk hal-hal itu.
Sejarah dunia adalah sejarah pertumpahan darah; penaklukkan, perbudakkan, pembungihangusan, dan sebagainya dan seterusnya.
Mereka adalah misteri: ketika belum takluk. Untuk kemudian menjadi trofi. Simbol kemenangan lelaki.
Mereka adalah ilusi: ketika rencana penaklukkan tak jua terjadi atau justru kandas terhempas.
Maka lelaki memerkosa.
Seringkali hanya lewat mata.
Tapi tak jarang jua lewat mulut, kepalan tangan, dan — ini yang paling menjengkelkan — penisnya.
Mereka, ia; mungkin ibumu, mungkin kekasihmu.
Mereka, ia; mungkin sang gadis dambaan yang sekadar menyapanya saja kau tak bernyali.
Mereka, ia; mungkin sosok penghias televisi berdada mancung-berpinggul membusung yang kau khayalkan di setiap masturbasimu.
Ruang ini terlalu sempit untukku berbicara tentang Simone de Beauvoir. Atau Cleopatra. Atau sang penari erotis zaman kolonial, Mata Hari.
Karena ketika perempuan menjadi terlalu mengancam, yang setiap lelaki selalu lakukan adalah mengacungkan penis.
Penis, kawanku, bukan hanya segumpal otot dan kelenjar yang menggantung di balik celanamu.
Ia menggelayuti pikiranmu. Ia menggerakkan sendi-sendi tubuhmu. Ia, seringnya, membuatmu merasa perlu untuk menjadi seorang penakluk.
Maka perkenalkan: Faye Wong. Terkhusus Faye Wong di Chungking Express.
Peran tersebut adalah pengejawantahan figur perempuan yang kumaksud.
Sang sutradara, Wong Kar Wai, tak terjebak narasi basi soal perempuan yang menolak takluk lewat ekspresi seksual kelewat banal.
Pula tak menjadikan Faye Wong masuk dalam stereotip perempuan keji pelepeh lelaki.
Aku tak tahu apa ada peran lain sebagus ini untuk menjelaskan maksud tulisanku ini.
Bahkan (menurutku, tentu saja) peran ini lima kali lebih baik dari peran yang dimainkan Diane Keaton di film Annie Hall yang menjadi cetakbiru genre romantis itu.
Teruntuk perempuan yang senantiasa dibingkai sudutpandang lelaki,
Serta terkhusus perempuan yang menolak takluk:
Tetaplah melangkah dan hidup sehidup-hidupnya.