Tahun 2011 baru saja berjalan dan jikalau boleh menarik ulang garis waktu, mari kita kembali ke 1991 dimana sebuah album rock & roll revolusioner bernama Screamadelica milik Primal Scream dirilis. Sebuah penanda jaman. Bersama Bandwagonesque-nya Teenage Fanclub; Loveless-nya My Bloody Valentine; Nevermind-nya Nirvana, era 90-an tidak semenjemukan dekade sebelumnya. Empat album yang menegaskan bahwa semangat muda, jika dibiarkan mengendap terlalu lama toh akan meluap hebat juga. Kalimat terakhir sengaja saya tulis mengingat empat band tersebut berasal dari sebuah sub-kultur kecil. Well, let say.. indie. Tiga nama pertama merupakan binaan label Creation dan nama terakhir (bersama labelnya Sub Pop) berperan besar membuat Seattle tidak hanya terkenal sebagai kota perakit pesawat terbang.
Tapi mari kita fokuskan pada Primal Scream. Grup yang kerap bertransformasi di tiap albumnya. Revolusioner karena mereka acapkali mempopulerkan ulang tiap akar musik rock & roll. Bukan, bukan terjemahan rock & roll usang ala Wolfmother yang dimaksud. Akar disini bisa merambat ke cabang karena mencakup southern-northern soul, psikadelik, funk, rhytm & blues, garage-rock kasar, glam rock, dub, gospel hingga elektronik. Bassist band ini, Mani (yang bergabung pada ’96 paska band pertamanya The Stone Roses bubar) pernah berkelakar: “Jika ada band yang ingin saya berada dalamnya selain The Stone Roses, maka band itu adalah Primal Scream, The Jesus & Mary Chain atau Beastie Boys. Martin Duffy, otak di balik tiap arsiran kibor magis di band pop cult Felt pun tergabung di Primal Scream.
Jika ada suatu magnet yang bisa menarik dua kutub ajaib tersebut dalam satu band, maka magnet tersebut adalah seorang Bobby Gillespie. Sosok dengan profil kurus, pucat serta muka tak pernah berbulu. Dan susah memang, membicarakan Primal Scream tanpa merunut ulang kiprah bermusik Bobby Gillespie.
Sebagai pemuda yang dibesarkan bapak seorang politisi kiri, tinggal di Skotlandia dan berumur 15 tahun kala gelombang punk-rock 77 meledak, Bobby muda tak mau ketinggalan remaja seumuran lain. Ia kerap berkeliling kota guna membombardir tembok dengan slogan-slogan heroik Sex Pistols. Sambil tak lupa bermimpi bermusik se-inspiratif Sex Pistols dan The Clash.
Adalah takdir Tuhan yang kemudian mempertemukan dia dengan Alan McGee empat tahun sebelumnya di sekolah yang sama. Jika garis ilahiyah ini tidak terjadi, mungkin tidak akan ada yang namanya The Jesus & Mary Chain; album setaraf prasasti kuno bagi skena shoegaze: Loveless, album wajib remaja sembilan puluh Definitely Maybe; atau label dengan katalog semenarik Creation (JAMC adalah salah satu band yang membuat label ini memikat publik; sedangkan Loveless milik MBV adalah album tendensius, kerap disebut sebagai Pet Sounds-nya shoegaze dan hampir membuat Creation kolaps karena banyaknya biaya yang harus dikeluarkan demi terwujudnya impian paling liar Kevin Shields; dimana Definitely Maybe punya Oasis bak juru selamat Creation dan membuat publik Inggris memiliki perisai baru terhadap serangan grunge).
Saya adalah satu dari sekian orang yang berharap bisa secepatnya menikmati film dokumenter tentang Creation: “Upside Down”. Karena dari informasi yang saya dapat, si bos label Alan McGee mendedikasikan film tersebut tak lain dan tak bukan untuk Bobbie Gillespie.
Bobby remaja adalah pribadi yang supel dan sangat antusias terhadap musik. Antusiasme berlebih yang membuat hal tersebut menjadi passion baginya hingga saat ini. Pertemanan-nya dengan bassist The Daisy Chain (nama awal band noise-pop/proto-shoegaze yang sudah saya sebut tiga kali di artikel ini. Kalau belum ngeh juga, lebih baik lompat baca ke halaman lain, deh) membuatnya ditampuk sebagai drummer band itu. Penunjukan yang bukan didasari atas kemampuan-nya menggebuk drum. Tapi condong seperti perkataan Jeff Barret, road manager band berisik itu:
“He just looked fucking brilliant, total rock ‘n’ roll.”
Bobby sebelumnya juga tercatat pernah menjadi roadie bagi band Glasgow lain, Altered Images (half-time guitaring, half-time drumming!), yang kemudian bertransformasi menjadi post-punk nearly-invisible act The Wake. Bobby bahkan tercatat sebagai penulis lirik di lagu “The Old Men”.
Singkat kata, baru pada 1986 Primal Scream benar-benar mencuat setelah B-side dari “Crystal Cresent”, “Velocity Girl” menjadi salah satu lagu yang terdapat di kompilasi (lagi-lagi) penanda jaman C-86. Kompilasi ini kerap ditunjuk sebagai referensi awal bagi mereka yang ingin mendalami akar kultur indiepop.
Namun toh Bobby tetap gelisah. Ia tidak puas dengan hanya menjadi band sambil lalu selewat dengar (sebagian besar band yang ikut dalam kompilasi ini bahkan bubar tidak lama setelah kompilasi ini rilis). Ia gelisah dan mempertanyakan eksistensi timbal-balik antara uang dan karya musikal. Seperti yang ia kemukakan setahun sebelumnya di majalah yang merilis kompilasi tersebut, NME:
“What we want in the future is enough money to record properly. I don’t mean six months in a recording studio recording one single like Tears for Fears or some other shits – that’s disgustingly decadent! We just want enough time.”
Banyak sebenarnya kutipan Bobby yang jika saya tulis disini bisa menggerahkan kalangan tertentu. Ditambah dengan banyaknya respon negatif media akan debut album Sonic Flower Groove (bisa disimpulkan dengan satu kalimat: “kalau hanya ingin menjadi plagiat The Byrds lebih baik bubar”). Namun sejengah apapun dia akan sepak terjang Primal Scream era ini, “Velocity Girl” kelak sangat kental mempengaruhi lagu “Made Of Stone” milik The Stone Roses.
Frustrasi dibilang terlalu terjebak masa lalu tidak membuat Primal Scream disorientatif. Meski album sofomor bertajuk seltitled kembali mendapat perlakuan bengis media dan membingungkan fans lama. Namun bisa dimafhumi karena di album inilah dua nyawa reaktif bernama Gary ‘Mani” Mounfield dan Martin Duffy bergabung, juga batu loncatan Bobby akan kegemaran-nya mengeksplor berbagai unsur musik rock (dalam kasus album ini MC5 dan The Stooges).
The good things are always worth to wait, apalagi jika bisa terwujud hanya dalam kurun dua tahun. Screamadelica dirilis, dan era penasbihan Bobby sebagai santo rock and roll dimulai. Screamadelica meramu berbagai zat adiktif turunan musik rock, Primal Scream melangkah keluar dari batasan-batasan dan meski radikal, album ini membuat tangan banyak jurnalis musik gatal untuk memberi respon positif. Plus, bisa dimainkan di pub-pub kumuh tapi beraura nirwana, klub-klub dansa glamor, hingga festival musik sekelas Glastonbury. Primal Scream kembali mengakrabi kawan lama dan merangkul banyak teman baru. Mereka juga kerap berkolaborasi dengan nama-nama beken bin mentereng. Sebut saja Robert Plant (Led Zeppelin), supermodel Kate Moss (yang bernyanyi apik di lagu “Some Velvet Morning”), gitaris angkuh peracik balutan noise-delay-fuzz Kevin Shields, trip-hop Bristolian Massive Attack, duet elektronik Chemical Brothers, maestro funk George Clinton dan masih banyak lagi.
Kadang, meski asik, menggemari band dengan rasa yang hampir sama di tiap album bisa menjemukan. Band dengan progresivitas eksplosif bisa memperluas wacana dan wawasan musikal. The Rolling Stones, Teenage Fanclub, Oasis, Sonic Youth, Lightning Seeds, The Radio Dept, The Lucksmiths bisa masuk di jajaran tipe pertama. The Beatles, Weezer, Blur, The Charlatans UK, Sigur Ros dan Club 8 dikategorikan di tipe kedua. Afterall, bukankah hidup itu memang pilihan? Pejamkan mata kalian, selamat menikmati pergumulan musikal Primal Scream di tiap album sambil melupakan tulisan ini. Jika menarik, terus dengarkan. Jika membosankan, loncat ke album selanjutnya. Seperti St. Bobby Gillespie yang bisa melepas penyematan label dan stigma, mari menikmati musik tanpa embel-embel. As he screamed on “Velocity Girls”:
“I don’t need anyone to hurt me/no, not anyone at all/because my so-called friends have left me and I/I don’t care at all/leave me alone..”
[youtube https://www.youtube.com/watch?v=tqMdZSyGRrs?rel=0&w=425&h=349]
nb: tulisan ini pertama kali dimuat di Evenue Magazine. Baca majalah ini selengkapnya disini.