Tikar menghampar. Sisa-sisa embun hampir purna mengering di sela-sela rumput. Tangis anak-anak, kemacetan yang mengular. Bau keringat, udara nan sumpek. Mi dan kopi instan seharga dua sampai tiga kali lipat dari biasanya. Pekik para petugas berseragam lusuh. Kerumunan. Satu kerumunan. Seratus kerumunan. Sejenak kita pun melipir, melupakan, serta dilupakan.
Kini 2039: dua puluh tahun sejak perang besar mencerai-berai arsipelago. Dan kepada kalian, rekan-rekan di masa silam: izinkan aku menyampaikan ikhtibar ini.
Sepuluh tahun yang lalu, tatkala kota di Kalimantan itu mulai sumpek, ketika ledakan penduduk tak seimbang dengan jumlah lapangan pekerjaan serta fasilitas publik, masyarakat tetap tidak kehabisan cara untuk mencari tempat menepi.
Perusahaan raksasa Omnicorp menyediakan segalanya. Salah satunya adalah OmniGoods, toserba besar yang dilengkapi dengan banyak fasilitas umum. Di sana, pengunjung bisa menaruh anak-anak mereka ke penitipan. Musala tentu saja ada, bersih pula. Ada juga zona tunggu yang dilengkapi dengan colokan pengisi daya, area merokok, dan kursi-kursi yang nyaman. Semua dilengkapi dengan pendingin udara.
Satu tahun terakhir kemewahan tersebut mulai ditinggalkan. Karena Mister Kim—presiden dan pendiri perusahaan—terang-terangan mendukung calon penguasa yang mereka benci, muncul gerakan memboikot apa saja yang berbau Omnicorp. Selain OmniGoods, tentakel bisnis mereka merajalela lewat OmniCom (bisnis teknologi informasi), OmniLife (perusahaan kesehatan), juga OmniBank (yang beranak-cucu ke banyak jasa keuangan lain).
Omnicorp harus tahu, masyarakat kota ini membenci mati-matian capres yang akhirnya terpilih menjadi presiden itu. Meski kehilangan tempat hiburan, mereka merasa itu bukan masalah, ketimbang melawan omongan pemangku adat serta pemuka agama. Omnicorp telah menjadi sumber masalah. Api dan amarah berkobaran di mana-mana.
Mereka abai pada fakta bahwa sang penguasa tidak bertakhta di negara mereka. Kesultanan Banjar tak lagi memilih pemimpin di bilik-bilik suara. Sabda dan restu Tuhan menaungi orang-orang di Kesultanan. Hukum agama diberlakukan seluas-luasnya, yang menjadi luar biasa sakral karena bersisian dengan cap kesultanan.
Kebencian, ajaibnya, surut perlahan ketika foto Mister Kim yang sedang menjabat erat Paduka Yang Mulia Sultan Banjar I bertebaran di mana-mana.
***
Pekarangan rumah kami tetap segar. Kemarau tahun ini berjalan begitu panjang, namun Ibu berpantang menyerah dengan keadaan. Tiap dua hari sekali ia habiskan waktunya untuk mengurusi tanaman-tanaman itu. Terkhusus di hari Minggu ia akan menyisihkan lebih banyak waktu. Akan kusimak dirinya mengurusi mereka dengan riang, sembari bernyanyi dan bersenandika. Terkadang ia mengajakku bicara, walau tahu aku tak bisa membalas kata-katanya.
Setelah sekira tiga jam berada di sana, ia akan menjerang air. Deru kompor menjadi alarm bagi Ayah untuk menggantikan tugas Ibu. Tak lama setelah segelas kopi tersaji, Ibu akan masuk ke kamar mandi, bergantian dengan Ayah.
Tatkala telah tuntas memutar “Rebel Rebel” dari David Bowie, Ayah membawaku keluar rumah. Kami meninggalkan Ibu, membiarkannya beristirahat setidaknya sampai siang nanti. Ayah dan aku hendak melakukan ritual milik berdua: piknik toserba.
Demi puluhan tunggakan yang mencekik; demi ratusan persanggamaan hampa di sepertiga malam; demi anak-anak yang kian hari kian sulit dimengerti; demi para dewa (dewa di langit, dewa di bumi, dewa bermesin), kehidupan kami masih mendamba salah satu pelarian orang-orang zaman kalian: berpiknik, lari sejenak dari segala dan semua yang membebani diri.
***
Mentari hari Minggu masih belia namun kemeriahan OmniGoods Pulogebang telah berdenyar. Lebih dari lima ratus mobil terparkir di halaman parkirnya yang luas. Banyak pula yang berduyun-duyun datang menggunakan motor atau transportasi publik. Tiap akhir pekan seluruh cabang toserba itu menyelenggarakan beraneka rupa acara.
Pagi ini mereka menghelat demo masak yang melibatkan seribuan peserta. Meja-meja panjang dijejerkan, pun pengeras suara berjenama yang terasa empuk di gendang telinga. Di setiap acara OmniCorp, pengunjung memiliki kesadaran untuk tak membuang sampah sembarangan. Mereka memang terkenal akan kebersihannya, juga perhatian berlebih pada detail. Setiap dua puluh meter tersedia kotak sampah. Ratusan android—fisik maupun hologram—yang melintas pun santun dan luar biasa pengertian.
Begini: Omnigoods bahkan telah memiliki android yang bisa membaca pikiranmu, lalu menuntunmu untuk membeli barang-barang yang sesuai dengan kebutuhan dan isi kantongmu. Di dalam, ratusan pengunjung turut berkeriap. Peserta demo masak pasti membawa suami atau anak-anak—yang tak tahan dengan acara yang tak mereka sukai. Boleh jadi pula mereka ada di sana karena ibu atau istri menyuruh mereka berbelanja. Berada di dalam OmniGoods terasa seperti bertamasya, sanggup meregangkan ketegangan tubuh dan pikiran.
“Kehidupan yang membanggakan, hanya bersama Omnicorp” bukan sekadar slogan perusahaan, namun telah menjadi mantra yang dilafalkan para konsumen.
***
“Heiii, ketemu lagi sama Dik Adya! Melaa.. sini, Nak. Hush, enggak boleh ngacak-ngacak barang dagangan. Nanti dimarahi sama petugas. Tuh, lihat, Dik Adya anteng yah. Kasih cium sayang untuk dia, Nak,” celoteh ibu muda itu dengan riang.
Ayahku tahu itu keriangan yang palsu, yang dipaksakan keluar sebagai tameng penutup lara. Usia pernikahan ibu ini paling lama berusia sepuluh tahun. Tetapi ada cekung muram di senyum itu; ada getir di balik suaranya yang renyah.
Ayah tersenyum lalu melambaikan tangan lalu mengedikkan bahu lalu kutahu ia merasa terganggu. Ayah sedang menyimak berita kerusuhan di layar hologram toserba ini. Ia lantas mengusapi kepala Mela, sampai akhirnya menyapa ibu gadis itu:
“Belum selesai belanjanya, Mbak?”
“Tahu sendirilah, Mas—emmm, Nanda kan?”
“Betul, nama saya Nanda.”
“Iya, Mas Nanda. Maklum ibu-ibu. Biar sudah bikin daftar belanjaan, ujung-ujungnya selalu saja ada barang lain yang kami pikir harus kami beli. Persediaan kotakdaya kami sepertinya menipis, saya lupa ngecek. Terus tangan saya dan Mela seperti enggak bisa berhenti memasukkan barang-barang lain ke dalam troli. Aduh, maaf, kok cerewet sekali saya hari ini.”
(Kawan-kawan, di masa kami, kotakdaya memiliki fungsi yang sungguh signifikan. Seorang penemu berhasil memadatkan listrik ribuan watt dalam kotak berukuran kecil—begitu kecil sehingga bisa kau masukkan ke saku—sehingga menggantikan peran sumber energi fosil.)
Ayah mendeham, makin merasa tak nyaman. Ibu muda di hadapannya terang-terangan sedang merayu (dua kancing blusnya ia copot). Maaf, Tante, Ayahku ini berbeda. Ah, aku terlampau sulit menjelaskannya. Yang jelas aku tahu: perempuan ini, meski telah beranak dan sedikit melebar badannya, masih sanggup memikat lelaki.
“Mas Nanda sendiri?” lanjutnya. Kali ini sembari mengarsir anak-anak rambut ke atas telinga. Cara klasik kaum wanita saat memikat lelaki.
“Aku tersita karena ini, lihat,” jawab Ayah seraya menengadah.
“Oh, kerusuhan di Kesultanan Banjar. Sedih, Mas, lihatnya. Sudah berbulan-bulan.”
“Iya. Betapa pun runyamnya kehidupan di arsipelago dulu, negara itu benar-benar saya rindukan. Ingin sekali saya berteriak, IN-DO—“
“Mas Nanda jangan iseng, ih!” teriak sang Ibu muda seraya mencengkeram lengan kiri Ayah. Perempuan ini benar-benar kesengsem rupanya.
(Maaf bila kusela lagi. Menyebut kata Indonesia adalah tindakan kriminal di negara kami. Kata itu telah berganti menjadi arsipelago.)
“Kita mesti bersyukur, Mas. Republik Pajajaran negara yang demokratis.”
“Iya. Saya setuju banget. Saya cuma sedih. Dulu pernah menghabiskan masa kecil di Banjar. Duh, maaf. Sepertinya saya harus duluan.”
Ayah memapahku ke dalam dekapannya. Troli ia tarik, sehingga punya alasan untuk tak menjabat perempuan itu.
“Mas Nanda!”
“Ya?”
“Anak Mas, Dik Adya, perempuan atau laki-laki?”
Ayah terkekeh, mulutnya terkunci, meninggalkan sang Ibu muda yang serta-merta melongo.
***
Tubuh Ibu begitu wangi. Konon jenis parfum yang ia pakai beraroma melati. Aku ingin berada di pelukannya sepanjang hari.
Ia memasukkan kotakdaya dengan saksama ke dalam mesin biru. Tatkala mesin itu mulai berdengung, ia melemaskan tubuh, merenggangkan sendi-sendinya, lantas menghela napas keras-keras.
“Indung-indung kepala lindung. Ujan di udik di sini mendung. Anak siapa pakai kerudung. Mata melirik kaki kesandung…
“La haula wa la kuwwata. Mata melihat seperti buta. Tiada daya tiada upaya. Melainkan Tuhan yang Maha Esa.”
Ia mengelus-elus kepalaku dengan lembut. Napas yang keluar dari rongga hidungnya menderu. Lagu itu selalu ia senandungkan saat menyolokkan untaian kabel itu ke kepalaku. Ia bukan orang bertuhan, entah mengapa ada nama Tuhan di lagu tersebut.
“Ibu sedih sekali, Adya. Mengapa dunia jadi porak poranda begini. Ibu takut tidak bisa menyertai di masa-masa remajamu, di masa-masa ketika kamu kerap berada di persimpangan jalan…
“Kamu mesti tahu kondisi ayah-ibumu. Kami adalah satu. Benar-benar satu. Kulakukan metode ini agar kamu tidak pernah sekali pun merasa yang terbuang, agar kamu—setelah kami adopsi—haruslah menepuk dada bangga, kamulah sang terpilih dari sekian banyak anak terlantar di negeri ini.”
Ayah dan Ibu benar-benar satu. Ini bukan omong kosong. Mereka, dulu sekali, merasa mampu melampaui batas. Pernikahan dengan jiwa dan tubuh yang lain tidak dapat mereka bayangkan. Ayah dan Ibuku adalah satu: sebab itu mereka memilih nama Nanda. Mungkin mereka menamaiku Adya karena alasan yang sama. Mereka memerdekakanku dari penjara bernama gender, agar aku, sejak dini, berani memilih dan mempertanggungjawabkan pilihanku sendiri.
Jalan hidupku masih lama, tentu saja. Umurku baru enam bulan. Pikiranku bisa berkelana ke zaman kalian berkat ulah penulis miskin nan sok tahu yang menghabiskan malam demi malamnya yang sepi, yang terlampau khawatir dengan masa depan arsipelago. ♦
Ilustrasi: Sugeng Riyadi/Lampung Post