Lelaki itu menggandeng tangan seorang perempuan saat memasuki rumah kosnya yang sepi. Di halaman belakang, sebuah pohon mangga berdiri anggun dengan kerimbunan daun-daunnya yang meneduhkan. Mereka baru saja memasuki kamar ketika si perempuan berkata:
“Kamu bercanda, ya? Kamarmu berantakan amat?”
Sejenak lelaki itu memalingkan muka seraya meninjau tiap sudut kamar dengan matanya.
“Aku malas memberi impresi palsu. Ini aku apa adanya, ketimbang rapi di hari pertama kamu berkunjung, tapi konsisten amburadul di kunjungan-kunjunganmu selanjutnya.”
Perempuan itu teramat cantik dengan rambut berhias poni pendek laksana tirai yang malu-malu menutupi kedua alisnya nan runcing dan tebal. Keunikan paling utama: ia memiliki dagu yang seperti dibelah tongkat Nabi Musa. Kamar yang berantakan bukan satu-satunya alasan baginya untuk tidak menggauli lelaki itu yang sulit dikatakan tampan dan bahkan cenderung biasa saja.
Lantas ia merespons jawaban si lelaki dengan memberi sikap melecehkan. Ia menendangi dengan halus segala benda yang berada di atas lantai; menganggap kemeja kumal, figurine Astro Boy, novel Dari Hari ke Hari Mahbub Djunaedi, serta mouse nirkabel layaknya sampah.
Ketika si lelaki melihat si perempuan melakukan itu sambil menggigit bibir bawahnya, ia tahu saat ini tak membutuhkan siasat ekstra. Ditariknya lengan kiri perempuan itu, yang juga menyibak kulit berwarna lebih terang di bagian bawahnya yang serta-merta kian meletupkan gejolak di dada si lelaki.
“Aku tak tahan ingin menciumi telingamu, Kar…” ucapnya.
“Kalau bisa semua mengapa hanya telinga?” Dan terempaslah kedua tubuh ke atas dipan, disertai bunyi berdentam cukup keras.
“Mungkin kamu bosan mendengar ini, tetapi dagumu luar biasa keren—seperti Saffron Burrows, atau Mélanie Laurent. Jenis dagu orang-orang Kaukasoid.”
“Terima kasih.”
“Begini, ya, rasanya bercinta dengan dosen muda?”
“Begini, ya, rasanya bercinta dengan mahasiswa tua?”
Lantas, setangkas rajawali yang sedang lapar, satu pelukan berbalas lima kecupan.
“Tunggu! Idih. Apa ini? Setop, setop!” hardik Karla, si dosen muda, dengan tatapan ngeri.
“Maaf, maaf! Jangan panik dulu. Aku bisa jelaskan,” pinta Herman, mengiba perempuan berdagu ajaib mirip Mélanie Laurent bernama Karla yang mengajar di kampus mahasiswa tua melanjutkan studinya yang begitu lama tersendat.
***
Sore di rumah mungil itu tampak seperti ratusan sore yang lain sampai akhirnya gerbang rumah berderit kencang. Terdengar gerakan tergesa-gesa yang menyibak pintu depan. Masih mengenakan helm, pelakunya langsung bersandar di lemari TV.
Ia sadar tingkahnya sedang menjadi pusat perhatian. Dua adiknya yang paling kecil memperhatikannya dengan heran. Kakak mereka terlihat seperti seorang pesulap yang hendak menyingkap rahasia tergelapnya.
Ditanggalkannya kedua sarung tangan yang bercampur debu. Ketika sarung tangan sebelah kiri ia copot, terlihatlah kulit telapaknya yang sedikit terkelupas, menampakkan bercak merah kehitaman. Banyak kerikil menempel di segala sisi.
“Ini, duhai Salwa dan Ninit,” katanya seraya melepas helm dengan susah payah, “adalah tugas seorang jagoan.”
Salwa, yang baru berusia empat tahun, hanya bertepuk tangan sambil mengulang-ulang kata ‘jagoan’. Ninit membelalakkan mata, lalu menjerit memanggil Ibu. Gadis sebelas tahun itu mengerti kakak sulungnya dalam keadaan bahaya.
Salwa menimpali jeritan Ninit dengan menangis, yang segera saja disusul langkah tergopoh-gopoh Ibu dari belakang.
“Astaghfirullah, Abaang. Abang kenapaaa? Duh, gusti nu aguuung.”
Tangis Salwa semakin berderai ketika melihat Ibu turut terisak di depan Herman. Ninit berlari menuju pesawat telepon. Sore telah beralih menjadi festival tangis.
“Ninit! Mau ngapain?” bentak Herman agak gusar. “Jangan telepon Ayah!”
Gadis itu lalu berlari ke luar rumah. Herman menebak ia pasti ingin memanggil Mila, adik pertamanya, yang kemungkinan berada di sekitar langgar.
Ibu mencerocos dengan bahasa Sunda saat meneliti sekujur tubuh Herman. Tangisan makin riuh ketika ia melihat ada yang bocor di bagian kepala. Bibir si sulung juga pecah secara mengenaskan. Berkat tinggal di Jatinangor selama enam tahun terakhir, Herman lumayan mengerti bahasa Sunda. Tetapi ia hanya bisa membalas dengan bahasa Sunda kasar, yang tentu tak tepat bila digunakan sekarang.
Herman mencoba meyakinkan Ibu bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Segala luka yang ada bisa sembuh dan mengering. “Lihat, Herman masih bisa ambil minum sendiri, Bu,” katanya santai.
Pagi ini Herman pamit untuk kembali ke Jatinangor, tempat ia kuliah. Mereka pantas panik karena tidak seharusnya ia kembali ke rumah dengan tubuh bersimbah darah.
Tatkala Ninit telah kembali bersama Mila, meluncurlah kalimat-kalimat mencengangkan dari mulut Herman. Ia bercerita seperti seorang dalang di pertunjukan wayang: cermat dan terukur.
Setelah tuntas menyampaikan segalanya, Herman merasa lega. Satu tatapan mata membuat Herman sedikit menyesali perbuatannya. Tatapan mata itu milik si bungsu yang cantik, Salwa.
***
“Kamu berkelahi dengan orang asing demi melampiaskan amarah terhadap ayahmu? Bodoh sekali…”
Karla telah mengenakan kaus yang ia pinjam dari Herman. Kaus Slayer.
“Amarah itu seperti cinta, butuh disalurkan. Ayahku penuh kemunafikan, Kar. Ya, aku memang salah, tak kunjung merampungkan kuliah. Tetapi mengapa ia baru bereaksi setelah semuanya terlambat? Sebentar, aku haus.”
Herman beranjak menuju kulkas mini untuk mengambil dua kaleng soda.
“Setidaknya itu lebih baik ketimbang rencana awalku,” lanjut Herman.
“Apa?” tanya Karla.
“Memukuli Ayahku.”
“Kamu sinting, Man!”
“Ia masih dendam waktu aku mengambil kuliah tambahan desain grafis. Hei, ia tak punya hak untuk itu! Sejak semester tiga aku telah sanggup membiayai hidupku sendiri. Bahkan aku juga sempat menghadiahi Ninit dan Salwa sepeda. Ini hidupku! Aku toh mengalah ketika ia melarangku kuliah seni rupa.”
Keduanya kembali berhadap-hadapan. Karla, dengan penuh cinta, mengusap-usap pelipis Herman. “Sok jagoan kamu,” semburnya.
“Bukan sok jagoan. Ia yang luar biasa hipokrit. Menjadi guru ngaji tak membantunya sama sekali dalam mengurus keluarga. Ia menganggap pekerjaan dan hidupnyalah yang paling mulia. Apa jadinya keluargaku jika Ibu tak berjualan perabot dapur? Bahkan, sejak SMA Mila bekerja sana-sini sebagai guru privat.”
“Laki-laki memang punya kecenderungan untuk memberontak terhadap ayah mereka,” kata Karla seraya meletakkan kepalanya di dada Herman.
“Aku tahu fokus studimu psikologi sosial. Tapi ini bukan Oedipus complex. Ini akal sehat versus kedegilan.”
“Iya, tahu,” gumam Karla seraya tersenyum, “lagipula Branislaw Malinowski telah menggugurkan teori Freud lewat penelitian etnografinya di Papua Nugini, dan, hei, Freud itu psikoanalisis.”
“Hm… Nanti kamu ceritakan soal itu, ya?” pinta Herman sambil mengelus dagu ajaib itu.
“Gampang. Meski Freud kerap dikritik, ia tetap menarik karena preferensi dan orientasi seksual orang-orang banyak dipengaruhi masa kecil mereka.”
Herman terengah-engah berkat tindihan Karla. Tetapi, tentu saja ia merasakan hal itu sebagai kenyamanan.
***
Pembaca yang baik, memelihara belatung adalah perkara mudah. Di balik bentuknya yang menjijikan, belatung memiliki banyak manfaat dan menyimpan potensi ekonomi tersendiri. Belatung adalah pakan alternatif untuk ikan karena memiliki kandungan protein yang tinggi. Harga belatung pun lebih murah ketimbang pelet.
Sebagai larva, belatung hanya memiliki umur selama tujuh hari. Di hari ketujuh mereka akan menjadi lalat. Berbeda dengan kepompong yang bertransformasi menjadi kupu-kupu, belatung tetap berubah menjadi makhluk menjijikkan. Tetapi tidak di mata Herman.
Awalnya Herman sempat ingin memilih kroto. Di lingkungannya banyak warga yang memelihara burung dan kroto adalah makanan favorit mereka—selain jangkrik. Tetapi budidaya kroto sangat merepotkan dan sengatan semut rangrang penghasil kroto begitu tajam. Harganya sekilas memang menggiurkan: dua ratus ribu rupah per kilogram. Namun, butuh tiga puluh stoples kroto untuk mencapai berat satu kilogram. Membayangkannya saja Herman merasa jemu.
Hobi ini juga bermanfaat sebagai terapi sehingga menyumbat keinginan Herman untuk terus melawan Ayah. Ia menyetujui saran Ibu untuk tetap menemui lelaki itu saat Lebaran, lelaki yang kini berbagi waktu dengan keluarga anyar, keluarga yang ia bina setelah menikahi seorang janda enam tahun silam. Di sisi lain, Herman selalu dihantui sorot mata Salwa, si bungsu yang cantik, yang sejak peristiwa itu selalu menyikapinya dengan dingin. Mungkin karena trauma.
Nah, begini cara memelihara belatung: 1. Letakkan nasi basi atau daging busuk di suatu wadah. 2. Tunggu selama tiga hari sampai belatung berkerumun dalam wadah tersebut. 3. Penuhi wadah dengan air sehingga belatung-belatung itu mengambang. 4. Pisahkan mereka ke wadah lain.
Di hari ketiga sampai kelima: Herman meletakkan stoples bening berisi belatung di bufet yang bersebelahan dengan rak buku, yang beberapa saat lalu menyita perhatian Karla dan menunda persetubuhan mereka.
Di hari terakhir sebelum mereka malih rupa: ia menyerahkan belatung-belatung itu ke Wan Hamid, induk semangnya yang memiliki banyak empang. Wan Hamid senang bukan kepalang dan acap mengizinkan Herman menunggak pembayaran sewa kos.
***
“Mengapa kamu menceritakan ini semua?” Karla menukas.
“Kamu yang minta, bukannya?”
“Aku hanya menanyakan kenapa ada belatung, ditaruh dalam stoples pula! Kamu bisa berbohong soal itu dan kita bisa kembali bercinta.”
“Terkadang segalanya lebih mudah diungkapkan kepada orang asing. Bagaimana, masih mau jadi istri lelaki buncit dengan kehidupan membosankan kayak suamimu itu?”
“Masih mau memelihara belatung?”
“Masih. Toh ini jauh lebih bermanfaat ketimbang berkelahi atau berternak kroto. Hei, kamu belum jawab pertanyaanku!”
“Mari bercumbu saja. Sudah setengah lima,” ajak Karla seraya bersiap mencopot kaus.
“Ck!”
“Kenapa, sih?!”
“Kamu lihat tong besar di samping pohon mangga itu?”
“Uhm, iya,” jawab Karla sembari melongok ke arah jendela.
“Aku ke sana. Terserah kamu mau ikut atau tidak.”
“Untuk apa?” sergah Karla.
“Di sana aku menyimpan lebih banyak belatung.” ♦
Pondok Bambu, Oktober-November 2017
Tayang perdana di Jakarta Beat
Kredit gambar: internetarchivebookimages