Chantal dan kekasihnya, Jean-Marc, berencana menghabiskan waktu di sebuah hotel di Pantai Normandia. Karena sang kekasih baru tiba di siang hari, Chantal mencuri waktu dengan berjalan-jalan menyusuri pantai dan hotel: merenung sambil mencari keindahan dan menyingkirkan kepenatan. Nahas, ia justru disergap kecemasan saat menyadari tak ada satu pun lelaki memandangnya pagi itu.
Pengabaian itu membuat Chantal merasa terbuang: ialah remah-remah kehidupan yang kehadirannya sama arti dengan ketidakhadirannya. Bagi perempuan mandiri seperti Chantal, ini peristiwa yang tidak bisa dianggap remeh. Terlebih, dalam hubungan mereka Chantal-lah yang menaklukkan Jean-Marc, bukan sebaliknya. Ia berusia lebih tua, memiliki karier lebih cemerlang. Chantal secara ekonomi pun lebih dominan; sang pria menumpang belaka di apartemennya.
Buyar sudah rencana memadu kasih di akhir pekan. Ketidakmampuannya memikat lelaki menyita seluruh pikiran dan jiwa Chantal, yang mau tidak mau menyeret Jean-Marc juga.
Mengetahui hal tersebut, Jean-Marc tak tinggal diam. Ia sepertinya paham bahwa Chantal tak butuh diyakinkan. Perasaan tercampakkan yang dialami sang perempuan lebih universal. Sebuah ide pun tercetus. Jean-Marc menciptakan sebuah tokoh khayali, pengagum rahasia Chantal, yang hanya berani mengiriminya surat-surat kaleng. Ya. Yang ia ciptakan adalah identitas belaka—tema besar dan judul novel ini.
Pengabaian para lelaki di pantai kemarin hari pun sirna sesaat. Bayangkan. Di usia yang tak lagi muda, Chantal memiliki pengagum rahasia yang menguntit dan merekam tindak-tanduknya. Ada pria selain Jean-Marc yang juga menghujaninya dengan pujian. Hati Chantal bungah dipenuhi kebanggaan. Ia masihlah kembang yang sanggup memikat kumbang. Walau spekulasi mengenai siapa sang lelaki penguntit turut menghantui, hal itu bukan masalah besar.
Surat demi surat pun tiba dan Jean-Marc memainkan peran sebagai kekasih lugu yang tak tahu menahu “skandal rahasia” sang kekasih. Chantal secara instingtif menyimpan surat-surat tersebut di laci penyimpanan pakaian dalam. Sebuah ruang yang, bersama tempat menjemur pakaian di negara kita, acap menjadi garis finis para penguntit.
Jean-Marc paham yang Chantal butuhkan bukanlah pria lain sebagai pasangan selingkuh. Konsisten dengan ciri khas Kundera, yang Chantal hasrati adalah tema besar bernama perhatian dari lawan jenis. Para pembaca Kundera memahami kebiasaan ini. Yang menjadi perhatian sang maestro adalah tema-tema besar seperti sejarah, ide, ideologi, politik, atau seni.
Kundera enggan membuang waktu dan lembar kertas untuk menjabarkan fisik dan gerak tubuh tokoh-tokohnya. (Ada pengecualian tentu saja: ia begitu sering menyoroti organ tubuh perempuan dan berbusa-busa mengaitkannya dengan apa saja.)
Bahkan hingga Identitas selesai saya baca, tak sekali pun benak saya mengembara, membayangkan seperti apa rupa Chantal atau Jean-Marc. Kelebihan Kundera ada pada bagaimana ia memicu kita untuk menelaaah tiap telaah, khutbah, hingga spekulasi filosofis yang ia ungkapkan di karya-karyanya.

***
Saya rasa banyak yang menyalahartikan Milan Kundera berkat kutipannnya nan terkenal, “perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa.” Tak sedikit yang mengernyitkan dahi, kebingungan, lantas mual kala membaca Kitab Lupa dan Gelak Tawa—novel di mana kutipan tersebut berasal—dan menggeletakkannya begitu saja.
Karya tersebut merupakan novel yang pertama kali Kundera terbitkan setelah menyingkir dari tanah airnya, Cekoslowakia, ke Perancis. Alih-alih menyajikan cerita secara konvensional, ia menceritakan tujuh cerita berbeda yang konsisten menjadi objek filosofis dari sebuah konsep remeh (dan yang kerap diremehkan); yaitu lupa dan tawa.
Sepanjang membaca Kundera, celoteh (serta cemooh) filosofis adalah teknik yang kerap ia gunakan, baik sebagai sudut pandang seorang tokoh, penulis yang terlibat, maupun narator ganjil (seperti Profesor Avenarius dalam Kekekalan). Toh itu semua sama belaka: sama-sama cerminan pemikiran sang pembelot partai yang lahir pada 1 April 1929 ini.
Kundera bisa menerawang persoalan apa saja di kehidupan manusia, mulai dari organ tubuh perempuan (pusar, ketiak, pantat, hingga lubang pantat), mobil, musik rock, hingga media massa.
Dalam kadar tertentu, karya-karyanya memang mempunyai kecenderungan kuat untuk menjadi karya membosankan yang terlalu penuh dengan khutbah. Jangan lupakan pula kesukaannya pada erotika yang misoginistis, atau bagaimana tokoh-tokohnya berasal dari kelompok kelas menengah-kulit putih-terdidik.
Lagipula, bukankah ia sendiri pernah berkata begini dalam Wasiat-wasiat yang Dikhianati:
Jika saya ditanya tentang penyebab kesalahpahaman yang paling umum antara pembaca-pembaca saya dan saya, saya tak akan ragu: humor.
Identitas terbit pertama kali pada 1998, 14 tahun setelah karya terbaiknya, The Unbearable Lightness of Being, terbit. Ia masih ketus, tentu saja. Tapi tokoh-tokoh dalam Identitas bukanlah penggerutu jempolan seperti Tomas atau Tereza.
Yang Chantal pancarkan adalah kecemasan. Ia mencemaskan cintanya kepada Jean-Marc, justru bukan karena ia meragukan kualitas cinta sang lelaki. Di sinilah benang merah Identitas dengan novel-novelnya terdahulu: tokoh-tokoh Kundera adalah kalangan kelas menengah Eropa yang memiliki keistimewaan pendidikan dan pekerjaan terhormat, yang berjibaku dengan dinginnya absurditas hubungan antarmanusia: seks, pernikahan, kekuasaan, karier, dan lain-lain.
Entah di mana saya membacanya. Ada seorang kritikus yang menyamakan Kundera dengan pengarang Jepang Haruki Murakami. Selain memiliki obsesi berlebihan terhadap lekuk tubuh perempuan, keduanya senang bercerita mengenai keterasingan manusia urban yang sejatinya penuh privilese dan kemudahan hidup.
***
Identitas Chantal adalah perempuan yang rapuh, yang mencoba menyikapi kerapuhan tersebut dengan melakukan kontemplasi-kontemplasi serta meleburkan diri ke situasi ekstrem. Ini merupakan perwatakan tokoh yang sangat Kundera.
Kerapuhan tokoh-tokoh perempuan dalam karya Kundera hadir bukan karena siksaan atau opresi. Lebih sering, mereka memelihara rasa cemas karena cara mereka memproyeksikan kehidupan dan perlakuan laki-laki terdekat: kekasih, ayah, hingga kakak ipar. Lihat saja tokoh-tokoh perempuan Kundera seperti Tereza, Sabina, Bettina, serta kakak-adik Agnes dan Laura. Penggambaran mereka seperti mencerminkan kritik orang-orang kepadanya selama ini: bahwa ia pengarang yang, lewat penggambaran tak adil tokoh-tokoh perempuannya, misoginistis.
Identitas, yang tersaji tak setebal novel-novel terbaiknya, terbit sembilan tahun pasca Revolusi Beludru 1989 di Cekoslowakia. Banyak yang mengabaikan tahun spesial tersebut, yang merupakan garis start zaman neoliberal.
1989 adalah titimangsa terjadinya Pembantaian Tiananmen di Cina dan pemberlakuan kebijakan (baca: instruksi) ekonomi Konsensus Washington. Dua tahun setelahnya, neoliberalisme semakin menegaskan kejayaan dengan bubarnya Uni Soviet dan (di)roboh(kan)nya Tembok Berlin. Empat tahun berikutnya, Kundera, terpaksa melihat tanah airnya terpecah menjadi Ceko dan Slovakia.
Dunia sudah berganti rupa. Tapi saya yakin bukan dunia macam ini yang Kundera kehendaki. Pun demikian, ia tampaknya telah lelah berjibaku dengan “tema-tema besar”. Lihat saja karya-karyanya sesudah Kekekalan—yang terbit pada 1990. Andai saja karya-karyanya terdahulu tak sedemikian agung, saya pikir mengabaikan Kundera bukanlah dosa besar. Dan sudah semestinya kita membagi trajektori kekaryaan Kundera menjadi sebelum dan sesudah 1990. Kundera bahkan tak mencacah Identitas menjadi tujuh bagian—yang merupakan ciri khas kekaryaannya yang lain.
***
Identitas yang saya baca diterbitkan oleh penerbit Gading pada 2018. Edisi bahasa Indonesia novel ini sebenarnya telah diterbitkan Fresh Book pada 2006. Saya sangat terkesan dengan penerjemahan Landung Simatupang di edisi yang saya baca. Ia melakukan hal serupa pada 1984-nya George Orwell terbitan Bentang Pustaka.
Sayang, penerbit Gading tidak menyempurnakannya dengan pemeriksaan aksara yang baik. Terdapat banyak kesalahan ketik yang teramat mengganggu pengalaman membaca. Semoga menjadi catatan penerbit bila ada pencetakan tambahan.
Kembali ke novel. Kisah Chantal dan Jean-Marc berkelok ke konflik yang memicu Chantal untuk cabut ke London bareng kolegannya di perusahaan periklanan. Jean-Marc, panik, menyusul sang kekasih ke ibukota Inggris tersebut. Fantasi dan realita berkelindan, menyibak sebuah ujung yang tergesa-gesa dan dipaksakan.
Untungnya, pengembaraan di London terasa cukup menegangkan. Walhasil, Kundera memacu apa yang berjalan tenang dan lambat di dua pertiga awal novel. Pembaca setianya pun bisa bernapas lega setelah mengetahui bahwa obsesinya akan seks orgi kembali ia tanamkan pada tokohnya. Walaupun tak sungguh terjadi, bukankah niat merupakan separuh dari tindakan? Orgi, bagi Kundera, jauh berada di luar seks itu sendiri.
Cinta antarkekasih memang jauh dari altruisme. Pierre Bourdieu tak salah ketika berkata bahwa upaya kita dalam mencintai seseorang (baca: memilih pasangan), merupakan cara lain untuk memenuhi takdir sosial kita sendiri. Entah itu kekayaan, suku bangsa, ras, latar pendidikan, pekerjaaan, hingga gaya hidup. Cinta manusia tak lekang dari syarat: a conditional love.
Apakah kita akan benar-benar mencintai seseorang jika semata mengacu pada wujud fisiknya? Bukankah itu sama saja dengan percintaan mubazir di pelacuran? Tapi tunggu dulu. Bahkan di rumah bordil sekali pun, para cukong dan muncikari menambahi atribut pada pelacur-pelacur mereka, sehingga memiliki “identitas” baru. Kita bukan hewan. Identitas ternyata sepenting itu. ♦
Ulasan ini tayang pertama kali di Qureta pada 1 Agustus 2020.