Ular besi raksasa membelah kemacetan Jakarta. Kereta Senja Utama tujuan akhir stasiun Tugu itu tak terlalu penuh. Libur panjang telah usai. Tahun telah memulai lagi kesibukannya yang baru. Kesibukan yang membuat kota istimewa itu dibanjiri pendatang dan derasnya investasi.
Seraut wajah bersandar di jendela yang berembun. Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Kereta belum melewati Bekasi. Sejak melaju dari Senen, gadis itu membiarkan dirinya tenggelam dalam alunan lagu-lagu dari iPod. Sekotak susu dingin ukuran 1 liter dan The Well of Loneliness karya Radclyffe Hall tergeletak di pangkuan.
Kombinasi denyaran lampu, bising klakson, serta tetesan air dari langit semakin membuatnya tenggelam, mengacuhkan suasana dalam gerbong yang masih riuh. Di Cikampek nanti, para pengasong akan berduyun-duyun masuk menjejali kereta. Ia berharap matanya telah terpejam sebelum saat itu tiba.
“Kuliah di Jogja, ya?” Sebuah suara menghentaknya.
Seraya membenahi posisi duduk dan poni yang semrawut, ia pun tersenyum sopan. Tanpa bersuara, ia mengangguk, sebagai isyarat tak ingin diganggu.
“UGM? UNY? UPN?”
Isyaratnya gagal.
“Ekhm,” desahnya guna melegakan kerongkongan, “UGM, Mas.”
“Wah, kita satu almamater,” lelaki itu telah menjajarkan diri di hadapannya. “Saya Ari, Teknologi Pangan 2007. Suka, ya, balik ke Jogja mepet begini? Namamu?” Lelaki itu menyodorkan tangan dengan senyum merekah. Ia tahu percakapan akan berlanjut lebih panjang.
“Mia. Filsafat 2008.”
“Kok baru balik? Bukannya sekarang jatah angkatanmu jadi panitia ospek fakultas? Dulu pas jatah angkatanku, sih, wuiiih, aku sudah di Jogja sebulan sebelum masa ospek. Aku nggak apa-apa, kan, ‘ber-aku-kamu’? Kebiasaan, je. Kos di mana?”
“Iya, nggak apa-apa, Mas Ari.” Mia tersenyum. Jogja memang berbakat mengubah orang. “Saya malah risih sama anak-anak Jakarta yang ‘ber-elo-gue’ di sana. Saya tinggal di Minomartani, Mas, sama kenalan bapak saya.”
“Nah, sepakat! Numpang di kota orang kok nggak mau melebur dengan budaya setempat. Maunya kumpul-kumpul sama teman satu daerah saja. Eh, agak jauh ya itu kalau ke kampus. Sebelah mana pemancingan?”
Setelah ia teliti, tampang si Ari ini lumayan juga. Berantakan, khas mahasiswa, tapi wangi. Bibirnya merah basah, menandakan ia bukan perokok. Nilai plus di mata Mia.
Setelah memberi gambaran tentang tempat tinggalnya—yang berjarak pendek dengan pemancingan yang dimaksud, lelaki itu mencerocos mengenai kesibukan-kesibukannya. Walau dari kampus yang sama, alam mereka ternyata berbeda. Percakapan yang awalnya berlangsung hangat—berkat kondisi gerbong yang sepi—menguap ketika Ari mempertanyakan alasan Mia memilih filsafat. Walau masih bertingkah sopan, Ari bahkan lancang menasihatinya untuk pindah jurusan. Umur Mia masih cukup untuk mengikuti lagi seleksi masuk perguruan tinggi nasional.
Mia pura-pura sibuk dengan ponsel, lalu membuka novel yang sebenarnya tak terlalu ingin ia baca.
“Mas, saya boleh minta tolong?” ujar Mia.
“Ya boleh, dong. Apa, tuh?”
“Bangunkan saya kalau sudah sampai Purwokerto, ya. Ada ibu penjual nasi pecel enak langganan saya. Sekarang belum lapar.”
Jika tidak tidur, ia akan mendebat Ari dengan sengit. Ia paham ke arah mana nasihat Ari akan mengalir; seperti peluang mendapat pekerjaan dari jurusan yang dipilih, atau bahaya mempelajari filsafat bagi keimanan seseorang. Mia capek.
Ari, tanpa bicara, mengacungkan jempol kanan. Perjalanan mereka masih panjang. Kereta baru saja melewati Cikampek.
***
Baru dua puluh menit yang lalu suasana di dalam masjid ini riuh dan khidmat. Kini, keriuhan itu bercampur ketegangan. Orang-orang gusar dan panik: mempelai wanita raib beberapa saat menjelang akad nikah.
Mempelai pria bingung luar biasa. Hatinya pontang-panting. Suasana semakin kacau ketika ia melihat pamannya mencekik salah satu anggota keluarga mempelai wanita. Ia menggenggam ponsel meski tahu benda tersebut takkan bisa membantu. Songkok hitam mengilat telah ia empaskan ke lantai. Pesta telah usai sebelum benar-benar dimulai, seperti anak merpati yang mati sebelum mampu terbang.
Nanti siang tamu-tamu pesta akan hadir. Apa yang harus dikatakan kepada mereka semua, kepada pengelola gedung, kepada petugas katering? Haruskah ia lari juga, seperti perempuan yang gagal ia nikahi?
“Bung, kita ke serambi saja dulu, sama kawan-kawan.” Sebuah tangan menggamit lengannya. Tubuh telah sepenuhnya dibasahi keringat dingin. Ketika berbalik, ia melihat lima kawan dari masa kuliah memberinya tatapan iba.
***
Perempuan 29 tahun itu terus sibuk di depan laptop. Jari-jarinya menari lincah di atas kibor. Sesekali ia menggigit bibir, menandakan sedang berpikir keras merangkai kata-kata. Cahaya di monitor ia redupkan, berharap daya baterai akan tersisa lebih banyak. Saat kereta kembali melaju, ia beralih ke aplikasi pemutar musik, memilih lagu-lagu yang bisa menyemangatinya menulis.
Ia tersenyum. Telah enam bulan ia menulis kolom di portalSamsara. Ia tak menyana tulisan nonfiksinya bisa dikagumi banyak pembaca, yang membuatnya memiliki kolom khusus. Bayaran yang ia terima pun lebih banyak ketimbang kontributor lain. Pihak redaksi tidak memberi ketetapan yang ketat. Ia diperbolehkan menulis tema apa pun, dengan jumlah kata tak terbatas dan gaya tulisan manasuka. Ia cuma dituntut menyetor empat naskah per bulan.
Tiba-tiba ia tertegun. Manusia pasti bisa merasa ketika mereka diperhatikan orang lain meskipun tidak menatap sang pemerhati. Ia menoleh ke kiri. Setelah satu tarikan napas, ia tahu tatapan itu berasal dari pemuda tanggung berkemeja flanel.
Ketika ia merenggangkan kedua kaki yang terasa kaku, pemuda di kursi seberang itu mencondongkan tubuh ke arahnya lalu berkata:
“Permisi. Maaf, Mbak, kalau kurang ajar. Apalagi sepertinya Mbak sedang sibuk. Mbak Almira Kinanti, bukan, penulis novel itu?”
“Iya. Benar,” ujarnya sambil tersenyum dan menutup laptop. Ia mengulurkan tangan kepada sang pemuda, “Panggil saja Mia, biar akrab. Siapa namamu? Novel apa yang paling kamu suka?”
“Semuanya, Mbak!” balas pemuda yang lantas mengaku bernama Gio. Lalu, dari mulutnya meluncurlah komentar mengenai novel-novel Mia. Gio sesekali memberi penafsiran pribadi terhadap plot serta karakter-karakter dalam karya-karyanya. Mia takjub dengan kelincahan bocah ini berbicara.
“Ini Mbak, lihat! Saya selalu bawa novel Mbak yang ini. Lihat saja, sudah kusut dan lecek begini.” Gio mengulurkan novel itu dengan wajah berseri-seri. Mia tahu pemuda itu pasti akan meminta tanda tangannya. Ia pun mencari pulpen di tas jinjing, yang kemudian dilarang Gio. “Pakai pulpen saya saja, Mbak. Biar jadi pulpen kenang-kenangan. He he.”
Mia memandangnya lebih saksama. Bocah ini mengingatkannya pada sebuah peristiwa di lokasi yang sama; saat seorang lelaki asing mengajaknya bercakap-cakap, yang seenak jidat menasihatinya untuk pindah jurusan. Ia masih mengingat betul rupa lelaki itu; masih melekat benar kata-kata yang ia ucapkan di atas kereta malam itu. Setelah berupaya keras mengais memori, nama lelaki itu tetap tak dapat ia ingat.
***
Meski pun pagi mulai berseri, kendaraan yang melintas di Jalan Mangkubumi baru satu-dua. Sopir-sopir taksi, beberapa penarik becak, serta kaum tunawisma masih asyik melarikan hidup mereka ke alam mimpi. Mungkin karena ini hari Minggu.
Di sebuah warung soto, Fira dan Lani sedang duduk menanti pesanan masing-masing. Lani ingin mengajak Fira—yang baru tiba dari Jakarta—untuk sarapan di Soto Kadipiro. Tetapi sahabat lamanya itu sudah teramat lapar sehingga memilih makan di sini, beberapa meter dari gerbang stasiun.
Jemari Fira mengepal segelas teh panas. Pagi itu pagi yang dingin. Lani, bekas rekan kantor yang telah menjadi sahabat, hanya memandanginya dari sebelah. Setelah keduanya meniupi teh dengan canggung, Lani pun memulai percakapan.
“Aku nggak mau menghakimi. Tapi, biar bagaimana, tindakanmu itu nekat sekali. Kamu bisa tinggal bareng di kontrakanku.” Diambilnya sejenak jeda, “Fir, kamu bisa terus-menerus lari. Tapi, kamu pasti tahu, kamu nggak bisa sembunyi.”
Fira menyimak seraya mengeluarkan satu kotak susu berukuran 1 liter, lalu meminta gelas kepada pelayan soto. Di dadanya ada kecamuk.
“Iya, aku tahu,” katanya sambil membuka segel susu dan menuang isinya ke dalam gelas. Setelah satu tegukan kecil, ia menyentuh tangan Lani, “Terima kasih untuk bantuanmu, ya.”
Lani mengangguk seraya mengambil napas dalam-dalam. Udara segar memasuki tubuhnya yang letih. Semalam ia begadang. Saat hendak memulai tidur, telepon dari Fira menggagalkan rencananya beristirahat. Fira minta dijemput di stasiun. Mereka pernah kerja bersama waktu Lani merantau ke Jakarta.
“Post hoc ergo propter hoc…” desis Fira.
“Maksudmu?” tanya Lani sambil mengangkat alis. Pesanan mereka telah tersaji di atas meja.
“Kamu masih ingat penulis Indonesia favoritku?” tukas Fira, belum menjawab pertanyaan Lani.
“Almira Kinanti?”
“Betul. Mia. Nah, belakangan dia punya kolom di portalSamsara. Semacam komentar sosial gitulah. Sebagai penggemar, pasti aku bacai semua tulisannya di situ. Akhir-akhir ini, dia banyak menulis tema pernikahan. Segar dan liar sekali. Ada kalimat-kalimatnya yang mengguncang kesadaranku, Lan. Istilah tadi merupakan salah satu jenis kesalahan berpikir. Bahasa Latin. Logical fallacy.”
“Terus…,” tukas Lani sambil mencampur sambal ke dalam mangkuk.
“Aku harus berani bersikap. Aku tahu yang kulakukan telah menyakiti semua orang, tidak hanya Ari. Aku iri dengan kamu, berani meninggalkan karier yang sedang menanjak demi mengikuti hati nurani. Kuharap ini jadi epifani bagi semua pihak….”
“Ini menyakitkan,” lanjut Fira, “Tetapi aku yakin Ari bisa bangkit. Dia harus bangkit. Ini caraku untuk membuka matanya. Aku bukan perempuan yang tepat untuk dikawini. Aku nggak mau aku menyesal telah menikahinya. Nasihat-nasihat Mia telah menyadarkanku, meski cara yang kupilih terlalu kejam.”
Lani merenung membisu. Ia hanya menelan kata-kata Fira. Tindakan sahabatnya masih sulit ia pahami. Namun, ia sadar, Fira sedang tidak butuh dinasihati. Lani pun melengos, menatap nanar ke jalan raya yang sebentar lagi ramai. ♦
Ilustrasi: Radar Surabaya