Pertama tayang di Football Tribe Indonesia, 16 Februari 2017
“The socialism I believe in is everybody working for the same goal and everybody having a share in the rewards. That’s how I see football, that’s how I see life.” – pelatih legendaris Liverpool, Bill Shankly
Tidak ada frasa lain yang kerap muncul untuk membubuhi pemilu atau pilkada selain ‘pesta demokrasi’. Ajang yang tidak kita kenali sebelum reformasi ini dianggap sebagai wujud permufakatan kolektif untuk memilih calon pemimpin rakyat.
Sepak bola, yang merupakan permainan terpopuler, sering diseret-seret. Sekeras apapun Anda meyakini bahwa sepak bola sebaiknya tidak dicampuri politik, kondisi objektif yang ada selalu berkebalikan. Elite politik terlalu gatal untuk tidak mencampuri sepak bola demi kepentingannya sendiri.
Politik sebaiknya angkat kaki dari lapangan sepak bola. Politik harus jauh-jauh dari permainan ini karena permainan ini terlalu suci untuk dicampuri tangan kotor para politisi.
Anggapan terebut saya rasa hanya setengah benar, dan setengahnya lagi keliru. Dalam definisi paling dasarnya, manusia adalah makhluk politik. Politik adalah soal bagaimana kekuasaan (power) ditata, dibagi-bagi, dan diterapkan.
Kekuasaan, mengutip pendapat Max Weber, adalah kemampuan relatif seseorang atau kelompok dalam menerapkan kehendaknya kepada pihak-pihak lain, meski ada penolakan. Kekuasaan adalah elemen kehidupan meski pihak yang dikuasai tidak menyetujui kehendak pihak penguasa (nonconsensual).
Dengan bingkai ini, kita bisa sedikit rileks dalam menyikapi perkelindanan antara politik dan sepak bola. Urusan manajemen klub, bagaimana pelatih merekrut pemain baru, bagaimana dia menyeleksi starting line-up, atau bagaimana menetapkan strategi, adalah buah dari kekuasaan yang ia miliki.
Namun tidak bisa dimungkiri, politik sering mencederai sepak bola. Dan saya tidak berbicara kejadian-kejadian di Indonesia saja.
Lihat bagaimana gembong narkoba Kolumbia Pablo Escobar menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) dan mengotori sepak bola Kolumbia. Tonton saja dokumenter The Two Escobars agar Anda percaya bagaimana kekuasaan tidak melulu berbentuk legal-formal seperti presiden atau bupati.
Simak bagaimana Piala Dunia 1978 dijadikan junta militer Argentina sebagai pembuktian kepada Barat, sekaligus menghapus luka kolektif kudeta berdarah yang mereka lakukan dua tahun sebelumnya. Perhatikan ada berapa kontroversi di pagelaran itu.
Gugatlah (setidaknya dalam hati), mengapa Johan Cruyff memutuskan tidak bermain di Piala Dunia 1978, padahal empat tahun sebelumnya, Belanda dan ia dinobatkan sebagai raja tanpa mahkota. Belanda akhirnya takluk dari tuan rumah di partai final.
Jika butuh contoh yang lebih segar, perhatikan bagaimana Korea Selatan diberi berbagai kemudahan oleh wasit pada Piala Dunia 2002. Anak-anak negeri ginseng diperbolehkan berbuat apa saja di atas lapangan, terutama di partai melawan Italia dan Spanyol.
Terus terang, ini mengecilkan hati. The game is rigged, everything is staged. Sepak bola adalah mikrokosmos dari permainan kekuasaan skala besar seperti oligarki bisnis atau pemerintah. Erangan, perayaan, keringat, hingga gol-gol pemain tak lebih dari sekadar panggung sandiwara yang silaunya membuat kita terpana.
Tak pelak ini membuat kita skeptis. Sepak bola terlalu indah untuk tidak dinikmati, tetapi ada saja ulah segelintir yang membuat kita mematikan televisi dan menjauhi stadion. Sepak bola tidak konkret. Yang konkret adalah terus bekerja (menghamba) agar hidup tidak sekadar bagaimana mengganjal lapar.
Tetapi resistensi tetap terjadi. FC United of Manchester (FCUM) membuktikan bagaimana seharusnya sepak bola dijalankan. Berawal dari muaknya pendukung Manchester United terhadap Malcolm Glazer, mereka memilih untuk meninggalkan Old Trafford lalu membentuk klub amatir FCUM dan menjalankan klub dengan ‘semestinya’.
Kampanye-kampanye seperti Against Modern Football, meski pengaruhnya tidak terlalu terasa di sini, adalah sebuah sikap peduli sekaligus mandiri. Sepak bola semakin berkilau, namun jika kilau itu hanya semakin membuat kemanusiaan tergerus, buat apa? Lebih baik ubah ulang (dekonstruksi), ciptakan sepak bola sendiri, gagas ide-ide segar, koordinasi kawan-kawan yang sependapat.
Jalan ini jalan yang sunyi, tetapi menguatkan hati.
Hidup di zaman dan lokasi yang berbeda dengan Indonesia, ucapan Shankly yang saya kutip di awal tulisan adalah sebuah pengingat: kita adalah makhluk kolektif. Sejarah membuktikan bahwa kita spesies yang mampu menaklukkan alam dan membangun peradaban.
Sebuah buku antropologi sepak bola menarik karangan Desmond Morris, The Soccer Tribe (1981) mengupas sisi kemanusiaan sepak bola. Jejak peradaban manusia yang berkolektif dapat ditelusuri sejak masyarakat primitif (tribal), sehingga mereka yang meremehkan sepak bola seharusnya paham mengapa miliaran orang bersedia menonton sepak bola. Buku ini pula, yang bagian dari judulnya (“Tribe”) kami pakai acuan sebagai cikal bakal nama Football Tribe Indonesia.
Fajar Junaedi, akademisi yang juga penulis sepak bola, dalam kata pengantar untuk Imagined Persebaya: Persebaya, Bonek, dan Sepak Bola Indonesia (Wirawan, 2015) mengatakan bahwa bagi Bonek, Persebaya adalah identitas yang dibayangkan sehingga mereka rela berjuang darah dan keringat untuk melawan kekuasaan (PSSI):
“Senada dengan Anderson, Persebaya lebih dari sekadar klub, namun imagined community bagi para fansnya. Bonek dipersatukan atas imajinasi dukungan pada simbol yang sama: Persebaya.
Imajinasi yang gagal dibunuh PSSI. Imajinasi yang membuat resistensi Bonek pada PSSI yang berusaha membunuh Persebaya (1927) tetap bergelora. Imajinasi yang mempertautkan mereka sebagai sedulur sebagai Bonek.”
Segala argumen di atas tak pelak membuat Anda berkeberatan seraya mengernyitkan dahi. Seserius inikah sepak bola? Bukannya kita bisa cukup puas menonton Lionel Messi dan kawan-kawan dibantai 4-0 PSG? Tontonan murah, menghibur, dan bisa dijadikan bahan guyonan dengan rekan-rekan sejawat.
Ya. Tetapi ada banyak orang yang kemudian “menepi” dari ingar bingar pesta (baca: pesona sepakbola), tetapi tidak skeptis dan justru memperjuangkannya. Sekecil apapun perlawanan, ia harus tetap diupayakan.
Setidaknya, apa yang mereka lakukan telah menjadi alternatif tersendiri. Juga menjadi sebuah gambaran bahwa sepak bola bisa dilakukan tanpa dikemas terlalu mewah, klub tidak perlu bertindak terlalu serakah.
Begitu pula dengan politik. Anda bisa juga menjadi skeptis. Bahwa hidup sebagai warga negara adalah soal bagaimana Anda taat membayar pajak semata. Anda lalu merayakan pilkada dengan pergi berlibur bersama kerabat atau orang-orang terdekat, tanpa memilih salah satu calon pemimpin daerah Anda di bilik suara.
Tetapi Anda juga tahu, banyak yang golput (“golongan putih”, tidak menggunakan hak suara) sebagai wujud sikap penolakan yang lebih sublim. Mereka menggagas kolektif-kolektif baru. Menyebar ide-ide penentangan yang merakyat dan jauh dari perangkap oligarki.
Atau jika boleh menarik garis waktu, golput yang dilakukan beberapa intelektual seperti Arief Budiman di tahun 1971. Mereka bisa masuk perangkap elite seperti kawan-kawannya (Angkatan ’66) yang lain, menjadi mitra pemerintah dan menikmati fasilitas-fasilitas negara. Tetapi mereka paham itu sama saja dengan membohongi diri sendiri. Rezim yang berkuasa harus dilawan, meski kemudian meminta korban (Peristiwa Malari).
Segala catatan di atas adalah penyeimbang atas adagium-adagium semu yang berkembang seperti ‘sepak bola sebagai permainan rakyat’ atau ‘pemilihan langsung adalah pesta demokrasi’. Waktu akan terus berjalan, Anda diperkenankan untuk bersantai-ria sekadar menjadi penonton dari serangkaian ketidakadilan yang ada. Tetapi Anda tidak adil jika hanya mencibir upaya-upaya yang dilakukan.
Mereka yang memilih untuk menepi dari ingar bingar pesta, entah kolektif-kolektif progresif , para pendukung FCUM, atau Against Modern Football, adalah para penginterupsi wacana dominan. Buah pekerjaan mereka mungkin belum atau mustahil tercapai, tetapi bukankah hidup memang pantas untuk diperjuangkan? ♦