Seperti sastra, musik adalah soal rasa. Rasa yang timbul dari musik disemai melalui pengalaman-pengalaman hidup sehari-hari dan bisa datang dari mana saja. Sesuatu yang tampak apa adanya ini pernah dibedah Bourdieu secara kritis. Musik, sebagaimana produk kultural lain boleh saja terkait perkara selera, tetapi kelas memainkan peran penting dalam membentuk selera tersebut, uraiannya dalam Distinction.
Musik populer Indonesia, dangdut sekalipun, begitu kental dipengaruhi arsiran-arsiran asing. Saat suatu tren menggejala secara global, kita dengan niscaya menemukan musisi-musisi lokal yang memainkan musik serupa. Sebut itu komplotan hulu ledak kancah indie Pestolaer, Rumahsakit, hingga Pure Saturday yang gandrung pada Britpop era ’90-an; sederet grup yang memainkan postrock mazhab “Explosion in the Sky” dengan repertoar meruah pada awal dasawarsa ini; serta termutakhir, mereka-mereka yang memainkan musik folk.
Vice Indonesia pada 22 Desember 2016 menayangkan artikel yang mengulas musik-musik terbaik Indonesia sepanjang 2016. Dari sekian banyak musisi di artikel tersebut, hanya dua nama yang membuat telunjuk kanan saya memencet tombol play.
Pertama, adalah “Tak Ada Garuda di Dadaku” dari Bars of Death, duet hip-hop legendaris MC Morgue Vanguard, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ucok Homicide dan peracik beat, Sarkasz.
Lagu kedua; “Bahaya Komunis” dari penyanyi folk Jason Ranti merasuk ke telinga dan pikiran saya dengan semena-mena.
Sialan kau, Jason.
* * *
Kata-kata frontal menghunjam negara dan elite harus siap kita terima kala mendengar karya-karya Ucok. Ia belakangan seperti semakin gusar di tengah kehidupan bernegara yang semakin muram, sehingga meninggalkan kevakumannya dari dunia musik hip-hop. Khas Ucok, ia menyerang siapa saja bagai gemuruh hujan belati. Yang membedakan dengan karya-karya terdahulu, di lagu ini ia sedikit meninggalkan rangkaian diksi dan frasa yang terlalu njelimet. Ini menyenangkan.
Ucok adalah seorang purist hip-hop. Ia tanpa tedeng aling-aling memaknai hip-hop sebagai medium perlawanan. Siapa saja ia lawan. Ia pernah “menyerang” seorang rapper yang mengaku membela petani namun dengan enteng menerima tawaran iklan dari korporasi besar yang terkenal melakukan kejahatan lingkungan.
Musik-musik Ucok menyalak, ketika ‘bermain’ ia akan mengguncang kesadaranmu lewat cara yang mengasyikkan (baca: rima-rima membius dengan musik rancak).
Rasa senang juga saya dapatkan dari Jason Ranti. Sialnya rasa itu terlalu mengganggu! Jason Ranti yang tidak pernah saya dengar sebelumnya itu, mengaduk-aduk pikiran dan perasaan dengan lagu yang bisa menjadi pemulas warna baru bagi katalog folk tanah air.
Folk dalam artikulasi terkininya identik dengan musik lembut menenangkan, pula lirik yang seperti mengajak kau bertamasya di alam terbuka saat musim panas –dengan menggelar tikar dan rantang berisi penganan. Embusan angin berpadu dengan kicauan burung, begitu syahdu menghias hari.
Ah, itu folk yang basi. Beruntung folk kemudian tidak menjadi tipikal dengan kehadiran beberapa nama seperti Rabu; duet asal pinggiran kota Jogja yang mengombinasikan folk dengan kemuraman dan mistisisme Jawa; Silampukau, (lagi-lagi) duet asal Surabaya yang mendayu-dayukan folk dengan kepekaan akan realitas kota yang mereka tinggali; juga Tigapagi, tiga pemuda asal tanah Priangan yang albumnya Roekmana’s Repertoire (2013) seperti membuat statement bahwa genre ini bisa pula melahirkan album kronik-tematik.
Jason Ranti hanya sendiri. Ia, yang bosan dengan kemandekan band-nya Stairway to Zinna memutuskan untuk meninggalkan gitar elektrik, menggantinya dengan gitar kopong dan merekam segala kegelisahan yang ada di pikirannya.
Dalam sebuah wawancara singkat di YouTube ia mengaku mencipta “Bahaya Komunis” karena gelisah dengan sebuah kisah: bahwa ada seseorang yang berpendapat; patung Tugu Tani seharusnya dirobohkan karena itu mewakili kaum tani yang dekat dengan PKI. Plus, patung tersebut memegang arit, simbol kaum kiri.
Terus terang aku khawatir
Dengan komunis di tanah air
Yang belakangan hidup kembali
Dari dalam gang, di pikiran, di pinggiran, di selangkangan
Ini mungkin tanda-tanda kudetanya yang mutakhir
Ooo.. telepon nine one one!
*
Belakangan muncul simbol
Di mana-mana, di langit-langit, di layar kaca
Di kepala, di internet, di jendela
Di kaos band metal, di bawah terpal, di balik aspal
Oooo, ow! Mana di mana
Simak, simak itu! Kok ya bisa-bisanya ia memulai lagu dengan lirik sesederhana dan sekocak itu?! Jason mengambil personifikasi seorang sosok berpikiran tertutup yang otaknya terlanjur buram penuh noda propaganda Orde Baru, “Tanda-tandanya ada di mana-mana! Mereka pasti bangkit kembali! Ulama-ulama akan kembali dibunuhi! Ganyang kuminiiss, takbiir!”
Jason mengkritik, tapi tidak terdengar berpretensi. Ia menertawakan orang lain dengan cara menjadikan dirinya sebagai bahan tertawaan, padahal objek derita sesungguhnya adalah orang-orang yang dia kritik: kaum puritan bermental degil yang tampaknya tidak akan pernah bisa menerima perbedaan.
Kedegilan, atau “bigotry” dalam bahasa Inggris adalah penyakit yang menggejala luas di tanah air. Pernah beredar foto yang memotret suatu aksi massa kaum fundamentalis. Yang membikin masygul adalah satu pria di foto tersebut membawa papan bertuliskan “PKI = Jomblo”.
Nalar yang cacat seperti ini bisa saja kita tertawai, tapi reaksi yang sama tidak bisa kita ulangi saat berhadapan langsung dengan mereka. Percayalah. Kedegilan adalah mindsetyang berbahaya karena ia menghambat ruang-ruang diskusi dan dialog deliberatif, serta berpotensi menyekat kemajuan ilmu pengetahuan. Kedegilan adalah langkah awal menuju fasisme.
Mengatasi atau memberantas kedegilan ini terlalu sulit bila melihat fakta objektif di lapangan: budaya membaca kita sangatlah parah buruknya. Selain itu, bangsa kita adalah bangsa yang gemar sekali pada takhayul. Kita menyaksikan sendiri bagaimana seorang yang dikenal sebagai cendekiawan bisa menjadi pengikut padepokan pengganda uang berkedok agama.
Apalagi, generasi Indonesia pasca ’65 dinilai Ben Anderson mengalami historical erasureakibat rezim fasis “orde ba(r)u” memiliki tentakel pengaruh yang merayap melintasi ruang dan waktu. Jangankan mengadakan dialog, baru melihat simbolnya pun sudah murka.
Sikap paranoid di dua bait pertama kemudian berlanjut semakin menjadi-jadi,
Maka pertama kuamankan keluarga dari bahan pangan
Yang mengandung unsur komunis, yang manis manis
Yang manis manis, yang Marxis Marxis
Akan kularang itu Chinese food, itu babi merah, itu kolang-kaling
Vodka Rusia dan sayur genjer, semua kubredel!
*
Aku siaga, selalu waspada, bahaya merah di mana-mana
Kini curiga waktu kulihat istri tercinta rambutnya merah
Bibirnya merah, behanya merah, kukunya merah, sepatunya merah
Oh, istriku mengapa kau merah?
Mungkin ia agen rahasia?
Oooo, sudah kuduga
Ini semua Jason nyanyikan dengan petikan gitar yang tidak muluk-muluk, maksudnya tidak terlalu mencuri perhatian. Aransemen rumit yang terlalu menonjol akan menutup syair jenius Jason, atau yang terburuk, terlalu berlebihan sehingga pendengar tidak mendengarkan lagu sampai habis. Formula ini membuat kita ingin terus mendengarkan curahan hati Jason yang kocak ini.
Lagu yang berdurasi relatif panjang ini tak pelak akan membuat engkau kecanduan. Simak syair penutupnya yang kocak bukan kepalang, khas pribadi naif yang tak mau mendengar pendapat orang; “Kini kiamat sudah mendekat/aku berdoa aku berharap/kepada tentara kepada malaikat/kepada ormas yang super waras/aku tak pernah berhenti berharap.”
* * *
Jason Ranti seperti hadir untuk menggantikan absennya Sir Dandy, si penyair folk koplak nan jenaka itu. Yang jadi pembeda, jika musik Sir Dandy terdengar seperti Jaya Suprana mabuk anggur merah yang baru belajar gitar, maka Jason bak Woodie Guthrie yang hijrah ke Tangerang dan menghabiskan hari dengan minum berbotol-botol Rajawali sambil menyaksikan ketimpangan antara kota penyangga (Tangerang) dengan kota yang disangga (Jakarta).
Saya yakin Jason sendiri sebenarnya tidak hendak melucu. Ia pasti ingin karyanya mendapat apresiasi. Melahirkan karya sejujur ini tetapi tidak terdengar kacangan adalah suatu hal yang sulit. Musik Jason yang komikal hadir sebagai jeda, a pause, agar ketegangan sehari-hari bisa kita lupakan sejenak. Namun Jason tidak mengajak kita piknik atau mengudap LSD. Jason mengajak kita tertawa untuk memikirkan kembali bagaimana caranya agar perbedaan bukan menjadi sesuatu yang haram dibicarakan.
Musik Jason sepertinya agak sulit jika kita kelompokkan ke dalam musik politis. Akan tetapi, yang politis tidak melulu terkait politik elektoral atau menggunakan jargon-jargon. Even your sexuality is political. Musik yang ia bikin, ia maksudkan sebagai kritik, maka ini adalah kritik yang wangun.
Begini, kita terbiasa mendengarkan band-band politis yang melawan secara terang-terangan. Maka mendengarkan band-band seperti ini yang berhaluan musik keras (punk, rock, metal, atau hip-hop) adalah hal lumrah. Saya jadi teringat dengan McCarthy, grup indie-pop Inggris era ’80-an yang musiknya terdengar seperti manifesto komunis namun dikontraskan dengan iringan gitar jangly melenakan a la the Byrds atau The Smiths.
Agak gegabah pula jika kita masukkan Jason ke dalam kotak tertentu. Bagi saya, musik seperti Jason memiliki potensi membius kesadaran yang sulit dipunyai band-band politis. Melawan melalui humor sudah terbukti ampuh seperti yang dilakukan pelawak Basiyo; guru bangsa Gus Dur; atau Umar Kayam di esai-esainya.
Tema seperti ini terulang di karya-karya Jason yang berserakan di internet. Maklum, ia belum menelurkan album. Ada dua lagu yang turut menarik perhatian saya dengan kadar kejeniusan yang sama dengan “Bahaya Komunis”.
Lewat “Kafir”, Jason mengambil posisi sebagai seorang religius yang ternyata kereligiusan yang ia punya berbeda dengan yang diyakini kelompok dominan. Maka sosok Jason yang alim dalam lagu ini dinistai. Ia diteriaki sebagai kafir.
“Liturgi selesai kutulis sendiri/kiblatnya menghadap nurani/harmoni dengan yang hidup dan mati/halo, galaksi, aku merapat kemari/namun tiba-tiba mereka datang menghadang/pakaian seragam dengan bendera di tangan.
seorang juru bicara dengan pengeras suara ooo matanya tajam mengkilat bagai parang/ia tatapku dalam-dalam/eeee, ia katakan, ‘hey, kafir! Sedang apa kau mondar-mandir?/’Hey, kafir, jangan kau ajak aku beli bir.’”
Ada pula “Stephanie Anak Senie” saat Jason memainkannya dengan harmonika. Kombinasi kocokan gitar, embusan harmonika, dan syair Jason tak hanya membuat ramai, tapi juga mengalun merdu saling menimpali dan mengisi. Di sini Jason mengutarakan kemuakannya pada kaum muda pretensius di arena seni.
“Stephanie gemar Andy Warhol/buat video di jalan tol/mobil lewat, tronton lewat, presiden lewat, Prabowo lewat, FPI lewat, MUI lewat, Stephanie bilang, ‘Ini reality!’”
“Stephanie buat keputusan/ia rancang instalasi/tentang resah tentang nasib/walau waktu tinggal sehari Stephanie maju demi anarki”
“Tertera di pengantar pameran/di situ tertulis statement Stephanie:/ aku tegaskan eksistensiku aku temukan jati diriku/di antara instalasi dan sebotol intisari.”
Betapa banyak dari kita yang menyaksikan individu-individu yang oleh konsumerisme massal tak lagi sanggup memaknai substansi?
Karya-karya komedi yang jujur seperti ini akan sukses membuat kita terpekur. Kritik lewat guyonan akan membuat yang dikritik kehabisan kata-kata karena satu, ia tak mengerti apa yang sedang dibicarakan; dua, jika pun mengerti, ia hanya akan tertunduk malu menyadari kedegilannya memang sesuatu yang salah.
Jason tak hendak menyanyikan kidung nan kudus penggelora hati seperti Woodie Guthrie. Jason hanya seniman jujur yang memikat dan menginspirasi pendengarnya. Ini semua membuat album perdananya patut kita nanti-nantikan.
Terima kasih, Jason Ranti. Salam takzim. ♦
Tayang pertama kali di situsweb Minum Kopi pada 7 Januari 2017
Jason Ranti memang merasuki pikiran seenaknya. Kampret!