HARI ini kejutan datang dari Dimas. Kekasihku itu minta ditemani mencari hadiah untuk keponakannya. Seharusnya hal ini merupakan jenis peristiwa biasa saja, tak bisa dianggap istimewa. Tapi kau harus mengenal Dimas. Dia pria paling dingin dan angkuh seantero kota.
***
IA tak pemah berusaha mengakrabkan diri dengan siapa saja, bahkan dengan ayah-ibuku. Baginya, interaksi cukup dijalankan seperlunya. Tak perlu ada basa-basi, apalagi senyum palsu. Ia jenis manusia yang enggan mengucap permisi saat meminta bantuan kepada orang untuk menunjukkan arah jalan.
Saat memintaku untuk menjadi pacarnya saja, Dimas tidak mengucapkan rayuan maut atau melakukan tindakan spesial. Biasa saja, layaknya makanan dingin nan hambar di pesawat.
“Aku memperhatikan kamu memperhatikanku selama tiga bulan terakhir. Aku juga tahu kamu belum punya pacar. Aku pikir itu alasan yang cukup untuk kamu menjadi pacarku. Mau atau tidak?” itu saja yang dia katakan. Tegas, kaku, tanpa mukadimah.
Jelas aku terkesiap saat dia minta ditemani membeli kado buat Belva, yang akan berulang tahun yang ketiga esok lusa. Andai kami tidak berada di tempat umum, ugh, sudah kuhujani ia dengan ciuman!
“Aku pikir kita bisa mencari hadiah buat Belva di mal, sayang. Pilihannya banyak dan ada layanan membungkus kado, sehingga kita tidak repot,” saranku.
“Kalau memang itu yang terbaik, marilah kita ke mal,” balasnya, sepatuh lembu.
Padahal ia menganggap mal sebagai altar kepalsuan dunia modern, sehingga haram untuk dimasuki. Urusan menonton, contohnya, Dimas lebih memilih mengajakku ke pusat-pusat kebudayaan Eropa. Menurut dia, tempat-tempat itu menawarkan film-filmyang secara kualitas berlipat kali lebih baik ketimbang yang disajikan di mal. Dia memang lelaki dingin yang penuh sinisme.
Dimas tak tahu, selain merasa antusias (ini pertama kalinya kami ke mal berdua!), ajakan ini membuatku mengeja kenangan tentang seseorang dari masa yang jauh; sahabat yang sekalipun tak pernah kusentuh, yang hanya dapat berbicara denganku dari jendela kamarnya di lantai dua.
Persahabatan kami terputus saat umurku menginjak enam belas, yang cukup lama membuat hari-hari terasa kosong–meski hanya kurahasiakan dalam hati. Ini memang persahabatan yang aneh, tetapi aku sangat menyayanginya.
***
“SSST, kamu!”
Ana menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Merasa takut dan curiga, gadis cilik kelas IV SD itu menundukkan lagi kepalanya. Ia juga semakin erat mencengkeram tali tas, semakin cepat melajukan langkahnya.
“Ssst, kamu! Sini, saya di atas.”
Setelah jelas terdengar suara itu berasal dari anak kecil, sepertinya, Ana memberanikan diri menengadah.
“Hai, saya sering memperhatikanmu dari sini. Boleh saya tahu siapa namamu? Saya pengin punya teman. Saya Nova. Tetapi sayang, kita nggak bisa salaman. Yang saya lihat di TV, orang-orang selalu bersalaman ketika mereka berkenalan.”
Ana mematung, meski sempat dua kali mengarahkan matanya ke dalam gang, ia berharap untuk segera sampai di rumah.
“Kok kamu diam saja. Sumpah, saya nggak jahat. Kalau kamu nggak percaya, tunggu sebentar. Jangan ke mana-mana, ini cuma sebentar.”
Ana mematung. Ana terpukau. Kecantikan gadis ini sungguh mengagumkan. Nova seperti berasal dari dunia yang lain, dunia yang jauh. Ana membayangkan seperti dialah rupa Cinderella cilik. Setelah ia mengangguk, Nova pun menghilang dari jendela.
“lni, saya punya banyak boneka buat kamu,” ujarnya setelah sejenak menghilang. “Semuanya masih bagus, kok. Syaratnya kamu harus memberitahu namamu dulu, gadis cantik.”
Itu boneka Barbie, pasti mahal sekali. Aku tidak cantik, kamu yang cantik.
“Nih, ayoo,” pinta Nova dengan sedikit merengek.
“Nama saya Ana. Senang bisa berkenalan denganmu, Nova.”
Pluk. Jatuhlah boneka itu ke hadapan Ana.
“Kamu baik sekali,” kata Ana setelah memungut Barbie bergaun ungu, “Kenapa, sih, kamu tidak turun saja?”
“Soal itu saya nggak bisa kasih jawabannya. Saya dilarang Mama, nggak boleh ke mana-mana. Kamu suka bonekanya?”
“lya, suka sekali. Kok Mamamu jahat?” Ana bertanya lagi. Ia telah merasa nyaman berbincang dengan gadis ini. Kenyamanan yang membuatnya sedikit berani.
“Husy! Jangan keras-keras. Saya mana tahu. Mama selalu bilang kalau saya nggak perlu keluar rumah. Aduh, waktu saya tinggal sedikit. Pokoknya, saya senang sekali bisa kenalan sama Ana.”
“lya, saya juga. Senang bisa kenal Nova.”
***
SEORANG anak selalu tahu saat orangtua hendak memarahi mereka. Seperti malam ini. Ibu menyuruhnya keluar dengan nada tak biasa, membuat gadis itu khawatir telah melakukan kesalahan.
Ia keluar dengan langkah gontai, lalu meleseh di hadapan sang ibu. Kepalanya ditundukkan ke bawah, walau tak yakin telah berbuat salah.
“Dari mana kamu dapat boneka-boneka itu, Ana?”
Aduh, kenapa ia sampai lupa?! Ibunya sering berpesan untuk tidak menerima pemberian apa pun dari orang, kecuali bila ia berulang tahun. Pernah ia dipaksa mengembalikan kado pemberian Paman Adnan, paman yang baru sekali ia temui. Bayang-bayang mendapat kejutan setelah mengupas kertas kado terpaksa menguap. Berkali-kali memaksa, Paman Adnan mesti rela membawa pulang hadiah untuk keponakan yang baru dijumpainya itu. Di atas kasur, Ana menangis terisak, menilai dunia tak adil.
“Kita memang susah, tapi Ibu nggak mau kamu menunjukkan diri sebagai orang susah. Jangan pernah menerima uang atau barang, kecuali di hari ulang tahunmu. Kamu haru punya harga diri.” Itulah yang dikatakan Ibu ketika ia bersiap pergi ke sekolah keesokan harinya. Ibu juga mengatakannya sambil melotot dan mengacungkan jari telunjuk.
Ia menyayangkan mengapa lemarinya tak memiliki kunci, yang bisa menyembunyikan hadiah-hadiah dari Gadis Pelempar Boneka. Sejak perkenalan itu, mereka telah sering bertukar cerita. Rasanya memang agak tak enak karena ia lelah harus terus mendongakkan kepala. Namun, Nova telah membuat hari-harinya berwarna. Ia pun bisa membunuh waktu karena rumahnya selalu sepi di siang hari.
“Jawab, Ana.”
Mengapa secepat ini harus berpisah dengan boneka-boneka itu? Ia masih belum puas mengelus rambut mereka yang emas berkilauan, belum puas menata mereka sesuka hati, seraya berkhayal akan secantik benda mati yang sebentar lagi harus ia relakan pergi.
“Dari Nova. Rumahnya di pintu gang sebelum jalan besar, Bu. Maaf, Ana menerima boneka-boneka itu.” Air mata telah tumpah.
Karena tak juga dimarahi, batin Ana bertanya-tanya. Ibu lantas menghela napas, kemudian menjawil dagu Ana supaya menatap matanya. Tak ada rona kemarahan di sana.
“lbu senang kamu main sama dia. Tapi jangan terima lagi hadiah apa pun darinya. Kalau makanan sih boleh saja. Nanti Ibu buatkan ia kukis, sebagai balasan dari kita. Tapi kamu harus ingat waktu ya. Kalau lagi banyak PR atau musim ulangan, jangan terlalu lama,” ucap sang ibu dengan nada lembut
Ana terkejut. Ana tak tahu harus berkata apa. Ana memeluk Ibu, berterima kasih sambil menyeka kedua matanya. Dia memang gadis yang gampang menangis.
***
SETELAH confetti bertaburan, doa-doa pun dilafalkan. Belva begitu senang dengan peristiwa yang sesungguhnya tidak ia pahami. Mungkin di benaknya, ia harus merasa senang karena orang-orang di sekitarnya tiada berhenti tertawa dan menyapanya. Aku pun merasa bungah. Betapa dunia anak-anak begitu indah dan menenangkan. Berkali-kali gadis lucu itu kukecup gemas.
“Niih, lihat kamu dapat apa dari Oom Dimas dan Tante Ana. Nanti kita buka, ya, Bel. Bilang apa hayoo sama Oom dan Tante?” ujar Yenny, ibu Belva dan kakak kedua Dimas. Katanya lagi, “Eh, Ana, kamu apakan si Dimas sampai dia mau repot begini? Hebat kamu. Anak tak tahu diri ini bahkan tidak hadir di rumah sakit, lho, waktu Belva lahir.”
“Aku juga nggak tahu, Kak Yenny. Kerasukan malaikat mungkin, he he.” Kekasihku cuma tersenyum kecut sambil meremas pundak kananku, sedikit menekan tulang selangka. Aku masih takjub ia bisa merasa nyaman dengan kehangatan antar manusia. Kombinasi tingkah dan sentuhannya seketika membuatku sedikit terangsang.
“Eh, nyalakan TV deh!” Terdengar suara nyaring dari Yuly, kakak pertama Dimas. Hadirin tertegun, bingung dengan tingkah kakak pertama. Gairahku yang telah menyala pun meredup.
Suara narator dari televisi berangsur lantang. Sebuah tayangan menyita perhatian kami. Maharani, penyanyi yang lama menghilang setelah merilis lagu laris “Bulan Merah Jambu”, ditemukan tewas overdosis di sebuah hotel di Puncak. Karena ini acara gosip, maka asumsi-asumsi liar pun diucapkan sang narator. Tentu saja dengan intonasi yang berlebihan.
Kemudian kami menyaksikan pendapat ibu sang biduan. Ia menjamin bahwa puterinya bukan pecandu narkoba, karena hingga kini mereka masih tinggal bersama. Sambil menangis tersedu, ia begitu yakin bahwa Maharani dibunuh. Overdosis kokain cuma rekayasa.
“Mamaaa, Tante Ana nangis…” Sekonyong-konyong Belva memekik. Keluarga Dimas menatapku heran.
“Lho, kamu kenapa?” tanya Dimas, sedikit cemas. Aku pun meminta maaf sambil menatap mereka, lalu pamit ke toilet.
Bagiku, “Bulan Merah Jambu” bukan sekadar lagu. Di suatu malam, Nova bertanya apa aku pernah jatuh cinta. Ia lantas mengoceh bahwa ketika seorang gadis jatuh cinta, bulan di langit akan berwarna merah jambu. Cinta memang bisa membuat segalanya merah jambu, balasku. Kami pun tertawa deras berderai-derai. Aku menggodanya, menuding ia sedang jatuh cinta.
Sebelum menghilang dari duniaku, Ibu pernah menjelaskan riwayat keluarga Nova. Nova memiliki kakak perempuan yang hamil saat menginjak tahun kedua kuliah. Berbulan-bulan menjalani hari dalam kerangkeng dan sumpah-serapah, perempuan bunting itu menjadi sinting. Nova, setelah tragedi itu, justru diperlakukan dengan keras. Selain menjalani pendidikan home-schooling, hari-harinya juga dibebani bermacam les privat.
Aduh, sial. Air mataku terus saja tumpah. Ini lebih menyesakkan ketimbang dulu saat Nova tak kunjung muncul di jendela kamarnya. Lantas berkelebat lagi kamar hotel bernuansa suram di layar televisi.
“Bulan Merah Jambu” bukan sekadar lagu dan Maharani bukan sekadar penyanyi. Di masa yang jauh–jauh sebelum ia terjun ke dunia hiburan, aku mengenalnya sebagai Andinova Mariani, si Gadis Pelempar Boneka. ♦
Pondok Bambu, Oktober 2017
Ilustrasi: Alanwari Spasi/Pikiran Rakyat