Francesco Totti dan Sepotong Kenangan dari Masa Kecil

Sulit membayangkan Francesco Totti tak lagi bermain sepak bola, sebagaimana sulit membayangkan AS Roma tanpa Totti. Saya bukan penggemar AS Roma dan beberapa tahun belakangan hanya menyimak Serie A secara sepotong-potong.

Bagi saya, Totti adalah sebuah tinta yang mengisi fragmen dari masa yang telah lewat: masa kecil saya.

Ini sebenarnya biasa saja. Hampir tiap bocah lelaki melewati hari dengan bermain bola. Seperti mereka, saya juga berangan-angan ingin menjadi pemain bola, yang tiap akhir pekan dielu-elukan penonton. Saat menonton kemenangan dramatis Manchester United atas Bayern München di final Liga Champions 1999, saya berharap saya lah Teddy Sheringham. Mata memejam, bermimpi bahwa saya lah yang dikerubungi para pemain Setan Merah di salah satu final terbaik tersebut.

Kok, Manchester United, bukan Arsenal? Anda tidak salah. Era itu, mendukung sepak bola begitu ‘ringan’. Tak ada keharusan untuk menjadi suporter klub tertentu. Apa lagi, sepak bola adalah barang baru di negeri yang — saat itu — arus informasinya diatur pemerintah.

Sebagaimana anak-anak yang tumbuh di dekade ’90an lain, saya berkenalan dengan sepak bola lewat Serie A Liga Italia. Liga Inggris, yang juga disiarkan TV swasta, dimainkan dengan begitu kaku. Sepak bola negeri pizza menawarkan segalanya: kelincahan para trequartista, kemonceran striker-striker seperti Gabriel Batistuta, sampai aksi ganas para bek seperti Paulo Maldini atau Lilian Thuram.

Dari sepak bola saya belajar segalanya. Silakan nilai ini berlebihan, atau mungkin meniru-niru Albert Camus, tetapi jika tidak bermain bola, saya hanyalah anak kecil berbadan ceking, introvert, dan senantiasa cengeng. Pernah di suatu waktu, tangan kiri saya ditusukki pensil lancip oleh kakak kelas (perempuan) di TPA. Apa yang saya lakukan? Diam. Menangis di rumah.

Tiap ada pertandingan Liga Champions, jantung saya selalu berdebar, tak sabar menunggu sepak mula sejak jarum jam masih di angka delapan. Jika saya berhasil menonton, keesokan paginya di sekolah hanya saya yang bisa menceritakan dengan detail jalannya pertandingan dini hari itu. Ingat, waktu itu belum ada internet. Sepak bola setidaknya membuat saya jadi pusat perhatian, walau hanya sekejap.

Sepak bola juga menyelinap saat Reformasi meledak. Saat anak-anak di kampung saya menjarah Hero Pondok Bambu (mereka mengajak saya menjarah KFC), saya memilih diam di rumah, terlalu takut dengan keadaan saat itu. Saya juga takut dengan omelan bapak, yang pasti mengamuk jika saya mengikuti kawan-kawan sebaya.

Saat Hembo (departement store di bilangan Kalimalang) dijarah dan dibakar massa, rona merah api terlihat dari rumah. Ini seperti perang, pikir saya. Saya begitu takut suasana takkan sama lagi. Saya begitu cemas tidak bisa menonton dan bermain bola lagi.

Malamnya saya bermimpi, saya berada di supermarket yang penuh dengan para penjarah. Celaka, rombongan penjarah memasuki supermarket seperti air bah, dan saya terdesak hingga ke etalase. Nafas saya sesak, takut sekali mati saat itu juga. Beberapa hari sebelumya, mall Yogya meminta korban karena banyak penjarah yang masih ada di dalam mall ketika massa yang lain membakar mall tersebut.

Saya teriak meminta tolong. Nafas tersengal tak keruan.

Saya bersyukur itu hanya mimpi, meski jantung masih berdegup keras. Tapi sialnya itu hanya sebentar. Saking terasa begitu nyata, posisi tubuh saya mengikuti apa yang terjadi di alam mimpi. Kedua kaki saya turut menendang-nendang, yang pada kenyataannya menendang poster Ale del Piero yang dengan khidmat selalu saya pandangi sebelum tidur. Saya sedih mendapati poster itu hancur. Memiliki poster tak semudah memiliki wallpaper digital seperti sekarang ini. Saya perlu menyisihkan uang jajan agar bisa membeli tabloid Bola, GO, atau majalah Sportif.

Omong-omong tentang jantung, saya memiliki masalah di organ tubuh yang lain. Saya lahir dengan kondisi paru-paru yang lemah. Sekira hingga di umur 8 tahun, saya mesti mengikuti senam yang diperagakan ibu sebelum saya tidur. Bapak saya keras dan melarang saya ikut sekolah bola (mungkin) karena ini.

Saya membagi cinta ini dengan adik saya, Tirtha. Kebetulan, bapak memiliki sebidang tanah di belakang rumah, yang dengan kurang ajar saya dan Tirtha porak-porandakan. Bermaksud mengikuti jejak kakek, engkong Ramli, bapak menanam pohon buah-buahan (mangga dan durian) di situ. Dulu, katanya, Pondok Bambu adalah wilayah yang cukup subur. kakek saya bahkan pernah mendapat penghargaan dari pemerintah karena berhasil menjadi petani yang produktif di ibukota.

Apa lacur, pohon-pohon itu saya buat hancur karena lebih sering terkena bola daripada sentuhan perawatan. Padahal pohon-pohon itu telah ia cangkok atau beri pupuk. Kami dengan kurang ajar mengajak anak-anak kampung untuk bermain bola di sana. Sepak bola membuat saya, yang introvert dan lemah, berani melawan orangtua. Itu mungkin segi positifnya. Sering kami berdua dirotan bapak hingga pantat kami memerah karena selain merusak kebunnya, kami juga abai dengan panggilan salat Magrib.

Di sinilah Totti hadir. Tidak seperti Del Piero (yang membutuhkan Zinedine Zidane dan Filippo Inzaghi), keagungan Totti tak membutuhkan pendamping. Jika ada sosok seperti Totti yang tak membutuhkan pendamping (atau bisa mendamingi dan didampingi siapa saja), mungkin hanya ada dalam diri Eric Cantona. Sayang, Cantona pensiun dini, sehingga saya tak sempat mengidolainya secara khusyuk.

Jersey pertama saya adalah Newcastle United away (1994/1995). Bapak yang membelinya, sebagai hadiah karena kami berdua sudah terlanjur gandrung pada sepak bola. Selain kaos itu, yang paling berkesan adalah seragam AS Roma away 1998/1999 yang saya beli di Pasar Festival. Saat itu Totti memangkas rambutnya dengan model jambul, dan saya suka itu.

Di antara jersey Prancis (Zidane), Man. United away (Ryan Giggs), dll, hanya kaos Totti-lah yang saya kemas ke dalam koper, saat saya mematapkan diri untuk merantau ke Ponorogo, bersekolah di pesantren.

Entah dirasuki apa, justru saya yang memilih untuk sekolah di pesantren, jauh dari Jakarta. Sempat orangtua menawarkan agar saya memilih pesantren di lokasi yang dekat seperti Sukabumi, namun saya menolak.

Tahun 1998, saya diajak mengunjungi Gontor dan saya dibuat begitu terkesan. Santri-santri memainkan sepak bola dengan komentator berbahasa Arab, itu keren sekali. Minimal, meski jauh dari orangtua dan tak bisa menikmati hiburan TV, saya tetap bisa bermain bola.

Sialnya, saya tidak memperhitungkan bahwa pesantren itu sangat kesohor. Santrinya ribuan. Keterbatasan lapangan membuat permainan bola berjalan tanpa mengikuti kaidah apapun. Lapangan bergerinjal dan berbatu, yang masih terasa sakit meski saya mengenakan sepatu. Dan anak-anak dari senatero negeri itu, selain lebih jago, mereka juga kuat bermain tanpa sepatu. Mendapati fakta ini saya menjadi sedikit sedih karena waktu bermain begitu terbatas dengan kegiatan yang berjubel.

Kaos Totti itu saya cuci dengan hati-hati. Wajar, pencurian adalah hal lumrah di pesantren. Apalagi kaos bola adalah ‘komoditas’ paling seksi di jemuran santri. Seksi untuk dicuri, tentu saja.

Tiap kaos Totti saya cuci, saya selalu bolak-balik ke jemuran, mengecek apakah dia masih ada di sana. Terkadang saya sengaja membetulkan posisinya, agar para (calon_ pencuri tahu, saya sedang mengawasi mereka.

Di suatu hari, kaos Totti membuat hati saya hancur. Ia tidak hilang. Ia masih bertengger di sela kawat jemuran. Tetapi kaos itu terobek dengan mengenaskan. Saya sedih mengapa tidak dicuri saja sekalian? Mengapa harus dirobek? Di pesantren itu banyak sekali peraturan yang di mata umum aneh. Salah satunya merobek properti santri. Misal: tidak boleh memakai sarung di bawah mata kaki. Jika dilanggar, bagian keamanan akan merobek bagian bawah sarung meskipun santri sedang memakainya. Bagian keamanan mungkin merobek Totti saya karena kaos sepak bola memang dilarang dikenakan santri.

Kaos itu adalah satu-satunya penyemangat, karena saya tak bisa lagi menonton Serie A secara berkala, dan bermain bola di sana tidak senikmat bermain bola di kampung. Ini terjadi waktu saya masih nyantri di Gontor 2, masa persiapan sebelum kami mengikuti ujian masuk Gontor.

Akhirnya saya diterima masuk Gontor, tidak di Gontor 2 atau 3 (Kediri) atau 4 (Banyuwangi). Saya bersekolah di Gontor pusat, tempat yang juga pernah mendidik Emha Ainun Nadjib, Lukman Saifuddin, dll.

Meski TV dan perangkat elektronik lain dilarang, kami diperkenankan menonton bola saat Piala Eropa atau Piala Dunia. Di balai pertemuan, pihak pengasuhan memasang TV dan menyalakannya tiap hari. Saat itu tahun 2000 dan sedang berlangsung Piala Eropa 2000 Belgia-Belanda.

Di ajang inilah saya bereuni kembali dengan Totti, terlebih ajang ini juga disebut sebagai turnamennya Totti karena ia begitu dominan bersama tim nasional Italia. Ia akhirnya kandas di final. Prancis dan gol sudden death David Trezeguet membuat Totti cs. meringkuk sebagai pihak yang kalah. Saya ingat di akhir laga Del Piero menangis dan dihibur Dino Zoff, pelatih Italia.

Saya tak begitu bersedih karena pahlawan saya yang lain, Zidane dan Thierry Henry, menjadi pemenang. Toh saya sebenarnya tak mungkin bersedih. Menonton sepak bola adalah anugerah yang tidak bisa kami nikmati jika tak ada Euro atau Piala Dunia.

Di sana, saya memangkas angan-angan untuk terus bermain bola. Di pesantren tersebut hanya ada satu lapangan sepak bola, yang dibagi-bagi pemakaiannya kepada empat klub. Saya lebih memilih basket, karena tiap klub memiliki lapangannya masing-masing.

Berbelas tahun kemudian, Totti membuat saya kembali bersedih.

Tidak seperti waktu kaos Totti itu dirobek, kali ini ia telah pergi dari lapangan hijau untuk selama-lamanya. 28 tahun telah ia lalui bersama AS Roma dan kota Roma, menjadi pemimpin de facto mereka, dan ia tak bisa menghindari kodrat: manusia adalah makhluk yang lemah dan pasti menua.

Pada 6 Mei lalu, saya menulis episode terakhir Totti ini untuk Football Tribe Indonesia. Saya merasa saya perlu menulisnya karena Totti dan Roma adalah sebuah contoh bagaimana pemain dan klub saling bersetia, meski kesetiaan tersebut sangat jarang menghasilkan prestasi atau trofi.

Adakah pemain lain yang lebih hebat darinya? Banyak. Dibandingkan Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo, skill Totti mungkin hanya separuh kehebatan mereka. Tetapi Totti ada di Roma, sejak saya kecil hingga sekarang.

Beragam fase telah saya lalui: kelulusan, perpisahan, pernikahan seorang kawan/kerabat, kematian, jatuh cinta, putus cinta, dikhianati wanita, mengkhianati wanita; Totti selalu di sana bersama AS Roma. Seragam nomor 10 akan selalu ia yang punya. Pun demikian dengan ban kapten Serigala Ibukota.

Bagi saya Totti seperti kehadiran mentari di pagi hari, atau kecantikan Meryl Streep. Ia adalah keniscayaan. Ia tak boleh tidak ada. Zidane pemain hebat, tetapi ia tak kuasa menolak pinangan Real Madrid. Del Piero juga ikonik, tetapi toh ia dilepeh Juventus dan dijual ke klub Sydney FC nun jauh di Australia.

Tetapi saya sadar, waktu harus terlalu berlalu. Itu sebenarnya yang niscaya. Semalam pasca melawan Genoa, ia seperti sekonyong-konyong menutup karier dan kesetiaannya yang luar biasa panjang.

Betapa waktu berlalu terlampau cepat. ♦

Bagikan:
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x