Terbit pertama kali di situsweb Qureta pada 25 Januari 2017
Tidak ada isu yang sangat menyita perhatian publik selain isu yang berhubungan dengan Front Pembela Islam (FPI) belakangan ini. Di tengah merosotnya kehidupan demokrasi atau demokratisasi pasca-Reformasi, FPI pimpinan Rizieq Shihab hadir menonjol dan patut kita akui, telah menawarkan penafsiran baru atas kehidupan bernegara.
Bagi mereka yang sinis, eksistensi awal FPI dinilai sebatas premanisme yang terlembagakan: bahwa tafsir atas ayat dijadikan semata dalih untuk merebut akses-akses ekonomi. FPI yang dilengkapi dengan armada paramiliter (Laskar Pembela Islam atau LPI) ini dianggap sebagai oportunis yang mengejar keuntungan di lahan-lahan rawan seperti bisnis-bisnis yang menyangkut prostitusi atau minuman beralkohol.
Seiring berlalunya waktu, realitas memperlihatkan bahwa kehidupan berislam di Indonesia diekspresikan dengan berbagai watak. Ekspresi keislaman, dengan berbagai artikulasinya, semakin meningkat dan merupakan fenomena nasional. FPI — terutama perannya sebagai oposisi pemerintahan Jokowi dan di isu dugaan penistaan agama oleh Ahok — kini telah menjadi figur penting dalam merajut berbagai watak keislaman Indonesia kontemporer yang majemuk tersebut.
Dalam kerangka Anthony Giddens, modernisasi tinggi (high modernization) melahirkan serangkaian konsekuensi yang bersifat ambivalen. Arus dan pelipatgandaan kapital telah begitu adaptif terhadap nilai-nilai agama sehingga mampu menemukan wujud-wujud baru di mana pun ia berada. Ini menjungkalkan tesis Weber yang mengatakan berkembangnya kapitalisme hanya mampu terjadi di praktik keagamaan tertentu.
Dengan demikian, baik itu praktik beragama yang soliter dan privat di Eropa; atau di masyarakat Asia Tenggara yang komunal-religius, sama-sama terdampak pasar dan arus kapital global. Teknologi-teknologi baru bisa saja terus muncul, wahana-wahana gaya hidup aktual bisa terus tumbuh berkilauan, tetapi manusia tetap memalingkan diri kepada Tuhan dan berbagai penafsiran terhadap firman-firman-Nya.
Tulisan ini mencoba menelaah FPI di dua aspek, pertama: bagaimana FPI berhasil menjadi penafsir baru atas keislaman di tengah pesona Islam politik, serta impotennya institusi-institusi agama yang telah lama mapan; kedua, gairah berislam — ekspresi keislaman di ruang-ruang publik yang seharusnya demokratis — di tengah arus deras informasi dan konflik geopolitik global.
Reformasi Moral dan Penafsiran Demokrasi Islam ala FPI
Dalam majalah Gatra (8/1/2000) yang membahas fenomena habib, Rizieq Shihab, pemimpin FPI menjadi salah satu sosok yang dikupas. Mengenai pendirian FPI ia menjawab bahwa organisasinya dibentuk untuk mereformasi akhlak: “Sebelum itu, yang digaungkan cuma reformasi politik, ekonomi, dan hukum. Apa artinya reformasi di bidang itu tanpa reformasi akhlak?”
FPI bersikap ambivalen dengan menyatakan diri tidak antidemokrasi sehingga sering menyanjung tinggi Pancasila. Anehnya, massa FPI adalah massa yang jarang melakukan dialog asertif terhadap hal-hal yang menurut mereka salah. Tentu salah di sini kita artikan sebagai “salah” versi mereka. Senarai kekerasan yang dilakukan FPI terlampau banyak, menimbulkan kesan adanya pembiaran sehingga muncul dugaan bahwa organisasi yang bermarkas di Petamburan, Jakarta Pusat ini memang “dipelihara” militer.
Telah banyak diceritakan ihwal kedekatan FPI dengan militer. Meski kerap disanggah, rahasia ini telah menjadi pergunjingan publik. Bila tidak ada usaha serius dari kedua pihak untuk menerangkannya kepada khalayak, maka opini bukan sekadar opini. Untuk sekadar menyebut contoh, arena akademik turut mengafirmasi ihwal kedekatan FPI dan militer, beberapa di antaranya studi Marcus Mietzner (2006) dan Ian Douglas Wilson (2008).
Walau begitu, tak adil kiranya jika hanya menunjuk FPI semata. Kita tidak bisa menafikan kedekatan Islam dengan militer. Perkongsian militer dengan Islam telah lama terjalin. Ini dapat terus terjadi karena mereka memiliki kepentingan ideologis yang sama, khususnya dalam membendung pemikiran kiri yang berpotensi mengungkap keterlibatan mereka dalam tragedi ’65; dan memelihara ajeknya kepentingan para stakeholder neoliberalisme di Indonesia.
Terlepas dari anggapan sempit terhadapnya, Islam dalam pendulum politik nasional telah lama memainkan peran cukup signifikan. Islam acap membikin gerah rezim yang berkuasa dan berkali-kali dikebiri. Kita ingat Soekarno yang membubarkan Masjumi, atau sikap Soeharto terhadap Islam secara general sehingga menyemai lahirnya Islam politik. Kondisi sosiokultural rakyat yang bersinggungan dengan Islam membuat Islam sangat rentan dipolitisasi.
Pada titik inilah Shihab bersama FPI-nya mampu merebut kesadaran rakyat muslim dan menjadi corong keislaman kontemporer. Masih di majalah yang sama, Shihab mengatakan, “Kebudayaan Arab sudah menyatu. Tarian zapin ada di mana-mana, bahasa juga sudah banyak bercampur.”
Menampik unsur-unsur asing lain seperti Cina atau India (Hindu) yang juga dominan di Indonesia, Shihab seperti meyakinkan umat bahwa keislaman (serta kearaban) adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Islam bukan hanya kompatibel dengan demokrasi tapi juga bersanding dengan fakta sejarah dan kenyataan objektif sosiokultural.
Agama (identitas) di Tengah Kecamuk Global
Salah satu pemantik meletupnya gairah keislaman adalah Revolusi Iran 1979. Meski tidak dimaksudkan untuk mendunia, gerakan yang dipimpin Imam Khomeini demi menyingkirkan dinasti Pahlevi ini dianggap sebagai pan-Islamisme lalu berhasil meraih simpati umat Islam sejagat.
Peristiwa tersebut turut menginspirasi kelas menengah Indonesia yang baru tumbuh. Kelas menengah yang saya maksud adalah kelas menengah muslim yang mendapatkan akses pendidikan dan meski direpresi rezim, tetap mampu mengaktualisasikan kritik dalam bingkai keislaman. Meskipun tidak terwujud secara nyata seperti di Mesir (pembunuhan Anwar Sadat oleh kelompok Al-Gama’a Al-Islamiyya), Revolusi Iran dan represi Orde Baru adalah penyemai bibit Islam politik.
Beberapa contoh untuk disebut: kalangan mahasiswa ITB yang melakukan kritik terhadap lembaga keuangan konvensional; gerakan tarbiyah yang mampu eksis di berbagai level pendidikan; sarjana-sarjana yang mendapat bantuan dana untuk melanjutkan studi di negara-negara Islam; hingga kemudian munculnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang signifikan sebelum dan pasca Reformasi dan terus memainkan peran aktif hingga saat ini.
(Terkait HTI, KAMMI dan PKS, bandingkan misalnya dengan organisasi kemahasiswaan dan partai-partai Islam yang kalau tidak hilang, maka tertawan arus politik status quo. Organisasi-organisasi kemahasiswaan seperti HMI, PMII, atau IMM semakin kehilangan relevansi karena terjebak pusaran politik nasional mengikuti titah senior, alih-alih independen atau nonpartisan.)
Kebangkitan Islam sebagai medium politik dinilai akan terus memainkan peran krusial di alam demokrasi Indonesia. Robert Hefner dalam “Islam and Nation in the Post-Suharto Era” (1999) mengatakan bahwa sebagaimana yang terjadi di Aljazair dan Iran, pertempuran kebudayaan (clash of cultures) yang terjadi bukanlah dengan sesuatu yang berbeda (distinct), tapi antara kelompok-kelompok lokal bercitarasa tipikal.
Embrio Islam politik menjadi buah simalakama yang kelak menjatuhkan Soeharto sendiri: pengebirian aspirasi politik muslim lewat penyederhanaan partai (PPP), asas tunggal Pancasila, usaha mendongkel Gus Dur (figur muslim yang kelewat kritis) dalam Muktamar NU ke-29 di Cipasung pada 1994, larangan penggunaan hijab, hingga pembentukkan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), adalah momen-momen yang memecut sentimen dan kesadaran politik rakyat muslim Indonesia.
Hefner, 18 tahun silam masih menganggap bahwa Islam moderat tetap sanggup memenangi pertarungan (“Despite the bitter legacy of Suharto regime and despite deep divides among Indonesian Muslims, however, the balances of forces in this country still favors the development of a civil and democratic Islam”). Prediksi yang agaknya cenderung meleset, melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini.
Pada 2005 lalu, Pew International Research Center for People and the Press melakukan survei terkait ekstremisme Islam yang melibatkan 17,000 responden dari 17 negara. Studi mereka menunjukkan sikap negatif warga Indonesia terhadap terorisme. Namun terkait peran Islam dalam demokrasi, menunjukkan kecenderungan positif. Sebanyak 77% responden menyatakan bahwa demokrasi dapat berjalan di Indonesia. Sebanyak 88% juga menyatakan setuju dengan tumbuhnya peran Islam dalam perpolitikkan.
Selain hal-hal di atas, narasi war on terror yang ditiupkan Amerika Serikat pasca tragedi 9/11 telah menabur benih-benih antipati dan kesadaran dunia Islam terhadap kekuatan ‘jahat’ barat (baca: Amerika Serikat). Perang tak berimbang dengan Irak di awal milenium berdampak pada gelombang besar migrasi korban perang ke negara-negara barat. Kebencian terhadap imigran muslim dan Islam menjadi isu yang sering diseret-seret populis kanan seperti Marine Le Pen di Perancis atau Geert Wilders di Belanda sehingga mengancam pecahnya Uni Eropa.
What has to be Done?
Islam, dengan demikian, telah memainkan peran penting dalam demokrasi transisional kita. Selain itu, di ranah kebudayaan populer seperti sastra dan sinema napas keislaman terus berembus kencang. Lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan, dan sosial yang mengakomodasi nilai-nilai Islami juga tumbuh bak cendawan di musim hujan. Islam menjadi wacana dominan dan jika tafsir atasnya dimenangi anasir-anasir seperti FPI atau HTI, maka demokrasi yang kita jalankan berada di ambang bencana.
Teokrasi telah lama kita anggap sebagai barang usang. Demokrasi adalah semangat modernitas yang langgamnya beranekarupa dan terus menerus dimodifikasi. Salah satu hal positif dari sistem ini adalah ia mampu menegosiasikan berbagai kepentingan yang ada di suatu negara-bangsa, untuk kemudian ditinjau, diperbincangkan, lalu disahkan secara legal-politik. Ini dimaksudkan agar kepentingan dan hak-hak berbagai kelompok didengar dan diakomodasi.
Perlu disadari, pasca-Reformasi 1998 Indonesia disebut berhasil ‘selamat’ dari perpecahan seperti yang terjadi di negara-negara Balkan. Keberhasilan ini, meski disebut van Klinken terjadi berkat permainan kelas menengah perantara yang oportunis (2015), meninggalkan catatan positif tersendiri.
Indonesia adalah republik yang begitu majemuk dan terancam disintegrasi dalam konflik komunal-agama di Maluku, Poso, dan Kalimantan. Pasca demokratisasi besar-besaran, peredaman konflik-konfilk di atas adalah prestasi (lewat dirangkulnya kepentingan-kepentingan elite lokal di daerah-daerah tersebut) sehingga bingkai keindonesiaan tetap utuh.
Beban selanjutnya adalah bagaimana sistem demokrasi yang telah menjadi permufakatan kolektif sejak republik ini berdiri tidak ambruk dan/atau meminggirkan kelompok-kelompok marjinal dan minoritas. Timor Leste adalah salah satu peristiwa penting. Apakah Indonesia (yang secara geografis mewarisi patok-patok kolonial Belanda) memang harus terus mengada? Lantas di balik keriuhan dagelan FPI ini, bagaimana kita menyikapi Papua?
Mengamini Tamrin Tomagola (2006), konflik-konflik komunal yang terjadi setelah Reformasi adalah bentuk peragaan fasisme meski tidak mewujud dalam bentuk formal. FPI adalah fasis. FPI harus disikapi dan tidak boleh dibiarkan terus berlarut dan menyandera opini publik sehingga isu-isu yang lebih penting terlupakan.
Jika tidak, maka kita seperti tukang kayu yang menggergaji dahan pohon yang sedang kita duduki sendiri.