(untuk M. Iqbal Tarafannur)
Mulanya kutaksir kau dan aku akan begitu berjarak. Awalnya kurasa kau dan aku begitu langit dan bumi. Tetapi itu semua musnah setelah aku mengenalmu seperti aku mengenal diriku sendiri.
Kau anak lelaki pertama, aku pun demikian. Kau memiliki bapak yang begitu patronistik dan patriarkis, aku pun sama. Kau pernah menimba ilmu di pesantren, pun aku. Rentang sepuluh tahun yang memisahkan umur kita tidaklah menjadi penghambat emosi ini berkelindan, bertaut begitu padu. Kau begitu gandrung untuk memberontak. Sekali lagi: aku pun demikian. Dulu.
Aku akui aku kecewa dengan keputusanmu meninggalkan Jakarta. Biar bagaimana, aku seperti bercermin kala melihatmu. Aku begitu mengandalkanmu untuk urusan-urusan yang kupikir sudah tidak pantas lagi kulakukan. Aku takjub dengan nafsu membacamu yang meledak-ledak. Aku juga kaget waktu kau meminta untuk diajari menulis. Kekagetanku tak berlangsung lama karena terbukti, kau menjadi murid yang patuh. Meski terkadang kau terus saja lari dan dibutakan urusan asmara. Aku selalu mewajarkan itu. Umurmu belum genap dua puluh. Walakin terkadang aku muntab juga. Kau mungkin merasakannya.
Aku tak pernah membayangkan akan memiliki teman yang umurnya terentang begitu jauh. Kita sering mabuk bersama: mabuk buku dan sesekali alkohol. Kuharap kau selalu ingat waktu-waktu yang kita lalui dengan begitu syahdu itu.
Aku tidak pernah mengatakan kekecewaanku secara langsung karena satu: umurmu masih begitu muda. Jalan hidupmu masih teramat panjang dan lapang. Aku selalu berharap kau menyongsongnya dengan waspada. Kedua: kau memilih kota yang tepat. Kota yang kutahu akan menempamu sebagaimana pandai besi menempa pedang. Kota yang kebetulan telah melimpahiku sejuta berkah dan kenangan.
Aku tahu, kau akan selalu berada dalam impitan harapan orangtua, yang kita sadari akan selalu bertolakbelakang dengan kita punya idealisme. Tapi kuharap kau bisa menyatakan kepada mereka dengan santun dan bijak.
Kaislah segalanya dan seluruhnya dari kota itu: budayanya, orang-orangnya, keluwesannya, celoteh-celotehnya, ingarbingarnya, semua! Kau takkan menyesal, kau takkan dirundung nestapa. Kalau boleh, aku ingin mengutip kata-kata yang sering kuucap kala kau mendampingiku melatih orang: rampoklah ilmu, jangan cuma dituntut. Karena tuntutan, kita tahu, sering kali jarang dipenuhi. Dan ilmu tidak sebatas yang terdapat di diktat atau buku.
Jika kau bingung, mengapa tulisan ini kuberi judul yang teramat mencekam, maka kujelaskan: Bunuh diri yang kumaksud bukanlah sebuah ritual saat seseorang memupus nyawanya sendiri. Bunuh diri yang kumaksud: bunuh diri kelas.
Ketahuilah, dunia kita telah diwarnai oleh orang-orang yang melakukan bunuh diri macam ini, adikku. Kau sebenarnya paham, tetapi mungkin fakta ini terlewat. Pram memilih meninggalkaan kejawaan, sebagaimana Tirtho dulu. Pun Engels yang memilih kabur dari kenyamanan warisan orangtua, lalu menghidupi belahan — mental, intelektual serta materi — jiwanya, Marx. Padahal ia anak juragan pabrik, yang akumulasinya berekspansi hingga ke Manchester. Lalu ada Kartini, Robert Owen, George Junus Aditjondro, dan ratusan nama lain.
Idealismemu jangan pernah kau jual. Sebelumnya, ingin kutekankan sesuatu soal ini. Idealisme sebenarnya suatu hal yang teramat personal. Ia tak harus berhubungan dengan sesuatu yang radikal atau heroik. Katakanlah seorang mahasiswa bernama Ahmad. Ia berketetapan untuk menyelesaikan kuliah secepatnya, lalu menjadi satu dari sekian pion kapitalisme dan hidup dengan perut menggelembung. Itu, kupikir, idealisme juga. Yang jadi masalah adalah saat kata tersebut hanya terucap, lalu lima atau sepuluh tahun setelahnya luntur dan berbalik menjadi bumerang. Ludah pun terpaksa dijilat. Permasalahan kita saat ini adalah dunia terlalu banyak diisi orang-orang dengan mulut sesumbar; yang hanya mengoceh, mengoceh dan mengoceh.
Ingat: teruslah menulis. Dunia yang kita tinggali sedang tidak baik-baik saja dan kau tahu itu. Negara tempat kita bersemayam sedang terancam oleh kaum-kaum puritan bermental degil, dan kau tahu itu.
Jadilah suar. Atau bila itu terlalu tinggi untuk kau gapai, jadilah lentera. Lentera sederhana yang bisa menjadi pelita bagi orang-orang di sekitarmu. Tinggalkan perkawanan yang tak kondusif/progresif. Jauhi kebiasaan-kebiasaan yang melenakan raga, yang hanya membuatmu seperti orang-orang kebanyakan: puas menjadi kelas menengah, bangga bisa mengkredit mobil, senang bisa terus berpakansi.
Di kota yang dinaungi Merapi itu kau akan dengan mudah menjumpai orang-orang hebat. Percayalah. Bukankah sudah banyak pengalamanku yang kuceritakan padamu? Walakin jika kau menutup diri dan hanya menggauli sesamamu, kau takkan pernah mendapatkan apa-apa. Kuingatkan sekali lagi, aku begitu sedikit menggauli teman-teman sekampungku di kota itu. Kota itu terlalu memikat untuk dihiraukan. Menggauli sesama kaum hanya akan menyumbat pintu-pintu.
Mungkin keputusanmu ini kau anggap sebagai perjudian. Tak apa. Tak masalah. Dadu sudah kau kocok dan kau singkap. Yang menjadi sisa pertanyaan untuk saat ini adalah bagaimana kau melangkah.
Dan terus melangkah.
Dan terus melangkah.
Dan terus melangkah.
Dunia disesaki orang-orang yang takut mati (lapar), maka bunuh diri (kelas) lah.
Terima kasih, adikku! ♦
https://www.instagram.com/p/BQeYijABWVl/
Begitu intens. Begitu personal. Saya takjub dan membayangkan penulis menulis kata demi kata sembari sesenggukan untuk si adik di sebrang sana. juara.