Mitos. Apa yang terbersit di benak kalian ketika mendengar kata tersebut? Naga? Nyi Roro Kidul? Jack The Ripper? Atau sembuhnya Pete Doherty dari kecanduan alkohol? Kadang asyik juga membicarakan mitos. Ada misteri, bumbu takhayul, sekelumit keniscayaan, kadang pula bombastis. Mitos sulit dibuktikan. Namun pengaruhnya di ranah publik (terutama di negara penuh mitos seperti Indonesia) cukup kuat. Sudah berapa ribu orang yang enggan memakai stelan warna hijau saat piknik ke Parangtritis?
Lull. Trio indie-harsh-rockers penuh ilusi. Perhatikan saja bagaimana mereka menamakan diri mereka dengan kata yang kurang lebih berarti ‘tenang’. Tak kenal maka tak sayang. Sebelum mengupas dwilogi pertama tentang kematian ini, ada baiknya kita mengenal mereka lebih jauh. Dibentuk oleh tiga orang sahabat perantau Jakarta asal Surabaya di tahun 2000. Formasi awal sempat menelurkan debut Appetizer, formasi kedua bahkan sempat membuat videoklip “Renew” yang digarap legenda lokal Andri ‘Lemes’ Ashari (eks vox Rumahsakit). Namun ya itu tadi. Saking lekatnya dengan pelabelan mitos, 20 stok lagu pun tersebar gratis diantara kerabat mengingat keputusan J. Vanco (satu-satunya personil asli band ini) untuk mendalami ilmu tata suara di Seattle. Mungkin selain melanjutkan studi, dia juga meresapi aura dan kharisma kota Seattle sebagai tempat kelahiran label Sub Pop (dimana beberapa pengaruh Lull seperti Nirvana, Dinosaur Jr. dan Sonic Youth bernaung di dalamnya).
Selepas merantau, J. Vanco membawa ilmu juga ambisi. Ilmu menata suara yang ia praktekkan saat memoles album-album ciamik dari Astrolab, Annemarie, Armada Racun, Brilliant At Breakfast dll. Dan ambisi menghidupkan kembali Lull; kali ini dengan Aldi Pagaruyung dan Christian Nainggolan. Maka tercetuslah sebuah konsep mempertanyakan esensi mati dalam Death.
Death (i) dibuka dengan “Solely Motion”, dengan emosi lagu yang merangkak naik di menit 1.05 dan keriuhan distorsi tebal dan beat yang lambut namun tegas. J. Vanco berteriak lirih, “do you think anyone care?/like anyone share/do you think?”, seperti berkata ‘apakah kematian menimbulkan tanya yang berkesudahan? ‘. Kemudian telinga saya seperti ditampar bolak-balik saat lagu kedua “Herr Wulf” mengalun. Gebukan dram menjadi bertenaga, teriakan lirih bertransformasi menjadi luapan marah, kepada siapa amarah ini ditujukan cuma Aldi Pagaruyung seorang yang tahu. Album ini kemudian disisipi dengan nomor instrumental “Deadinstrumm”, yang saya pikir cukup mujarab menurunkan tensi tinggi (yang jika terlalu diumbar tentu membosankan). “Death Machine” adalah nomor kuat (jika “Kissability” milik Sonic Youth dinyanyikan seorang pria).
Delapan trek dengan kombinasi yang maksimal. Beli album ini jika kamu ingin merasakan versi kelam dari Lantai Merah (Monkey To Millionaire). Cocok sekali saat dahaga akan pelampiasan emosi, gundah dan amarah memuncak. Jangan pedulikan departemen lirik, karena (mungkin) lirik menurut Lull hanyalah pelengkap verbal dari racikan distorsi + bebisingan mereka. Death (ii) rencananya dirilis akhir tahun lalu. Namun hingga bulan ketiga 2011 kabarnya belum pasti. Yah, namanya juga mitos.
nb: dipublikasikan pertama kali disini.