Ide film ini sederhana belaka. Lelaki, perempuan, tak saling kenal, lalu berkenalan. Tapi Daysleepers (2018) menjadi penting karena merupakan film pertama Paul Agusta yang dibuat untuk khalayak non-segmented.
Ia lebih sering membuat film-film personal dan eksperimental. Pemerhati film telah berkenalan dengan karya-karya Paul seperti Parts of the Heart (2012), film dengan banyak fragmen ekspresi dan eksperimentasi seksual seorang anak lelaki hingga ia dewasa. Ia juga mengentak lewat At the Very Bottom of Everything (2010): ekspos personal Paul mengenai penyakit bipolar yang telah lama ia alami.
Film-film barusan bermain pada narasi dan pesan sensitif—paling tidak sensitif bagi Paul—sehingga tampil dengan simbolisasi yang meruah. Bahasa filmnya perlu dikunyah pelan-pelan. Bahkan untuk karya yang sejatinya dapat tampil dengan berapi-api seperti Semua Sudah Dimaafkan Sebab Kita Pernah Bahagia (2017).
Dalam dokumenter yang berkisah tentang hidup ayahnya ini (penyair Leon Agusta), Paul menyajikan kelirihan mendiang sang ayah yang terusir dari gelanggang kesusastraaan karena ideologi politiknya. Padahal Leon adalah salah satu penanda tangan Manifesto Kebudayaan. Pasca tragedi 1965, para seniman yang terafiliasi gerakan itu merasakan kejayaan di pentas kebudayaan. Di tangan sutradara lain, dokumenter ini boleh jadi akan tampil meratap-ratap, haus akan pengakuan.
Sebenarnya Paul sudah mulai “ngepop” lewat Kisah Carlo (2015). Namun, selain merupakan web series (tayang di YouTube), film tersebut ditenagai hasrat sosialisasi bagaimana menyikapi penyakit HIV AIDS. Sederhananya: seri tersebut sebelum kita tonton pun terasa seperti pamflet.
Tepat satu dekade setelah film pertamanya (Kado Hari Jadi, 2008), Paul memberanikan diri mencipta film untuk ditonton khalayak luas. Perlu digarisbawahi: meskipun tak tayang di bioskop, isi dan pesan filmlah yang membuat saya memasukkan Daysleepers sebagai sebuah titik pijak baru Paul—dan karenanya menjadi penting.
Kelas menengah Jakarta, kesepian, tapi selalu butuh cinta
Teramat banyak film yang mengisahkan manusia-manusia Jakarta. Kota ini menempati posisi sentral di wacana kehidupan sesehari berkat pembangunan yang sentralistik selama berpuluh tahun. Indonesia modern terbaca melalui Jakarta, sementara kota-kota lain menempati peran kecil dalam wacana tersebut.
Jika ada satu tema yang bisa melingkupi aneka ragam etnisitas, kebudayaan, juga agama di Jakarta, maka hal itu saya kira adalah kehidupan masyarakatnya yang ultra kapitalistis. Ini adalah kota di mana kejujuran dan etos kerja sering kali tak cukup. Seolah menegaskan timpangnya pembangunan di republik ini, film-film Indonesia menebalkan gagasan tentang Jakarta sebagai kota pengharapan—hingga kini.
Menariknya, para protagonis di film-film berlokasi di Jakarta semakin banyak yang berprofesi di sektor informal dan ilegal. Film-film seperti Serigala Terakhir, 9 Naga, hingga A Copy of My Mind menampilkan tokoh-tokoh utama yang jauh dari lokus pekerjaan formal atau kantoran.
Di kota ini, menjadi apa pun dan bekerja dengan cara apa pun itu sangat dimungkinkan. Ini pula yang tidak dimiliki kota-kota lain. Yang agak muram, ini seharusnya menjadi alarm. Pekerjaan dengan upah dan kondisi kerja layak telah begitu langka. Dan film-film tersebut tayang sebelum publik mengenal hustle culture dan gig economy yang penuh risiko belakangan ini.
Dalam Daysleepers (judul lain: Kisah Dua Jendela), sutradara Paul Agusta mengetengahkan dua kehidupan manusia Jakarta yang bekerja di malam hari, di saat kebanyakan manusia beristirahat. Si perempuan, Andrea (Dinda Kanyadewi), adalah pialang saham yang tinggal berdua dengan adiknya, Dina (Agnes Naomi). Demi memantau naik-turun harga saham, ia musti menukar jam biologisnya karena pasar keuangan berdetak seirama dengan jantung kapitalisme dunia, Amerika Serikat. Perbedaan waktu Indonesia dengan Amerika sekitar 12 jam—di sini siang, di sana malam.
Tokoh kedua adalah lelaki bernama Leon (Khiva Iskak). Ia penulis best-seller yang sedang mentok ide karena kehilangan istrinya 2,5 tahun yang lalu. Ia menjadi lebih banyak di rumah untuk mengurus anak semata wayangnya. Leon memberanikan diri keluar rumah demi kembali menulis. Ia jenis penulis yang musti berada di kafe untuk menelurkan gagasan.
Judul alternatif film ini, Kisah Dua Jendela, merujuk pada bagaimana kedua tokoh saling tatap dan memperhatikan satu sama lain lewat jendela yang ada di hadapan mereka. Saya teringat pada Rear Window (Alfred Hitchcock, 1954) yang menarasikan kesibukan kaum kota saat mereka berada di apartemen.
Apartemen menawarkan privasi dan kenyamanan, yang diidealkan senyaman rumah. Rumahku surgaku? Belum tentu. Banyak rahasia diperam rapat-rapat dalam rumah, tak bocor sejengkal pun dari pagar namun segera meledak saat tak dapat lagi disumbat.
Apartemen dalam Rear Window dibangun layaknya siheyuan milik orang-orang Cina: bentuk bangunan yang mengelilingi taman terbuka (courtyard) yang berada di tengah. Para penghuni apartemen tak tahu bahwa kegiatan yang mereka lakukan, mulai dari pesta hingga pertengkaran suami-istri, diperhatikan baik-baik oleh Jeff, fotografer andal yang sedang bedrest karena cedera kaki. Sebagai fotografer ia tentu seorang pengintip yang ulung. Apalagi ia memiliki bermacam alat bantu melihat seperti kamera dan teropong.
Jika Jeff menjadi pengintip dengan sengaja, Leon dalam Daysleepers berbeda. Matanya menjelajah ke gedung seberang kedai karena sedang buntu menulis. Yang ia lakukan cuma membalas email dan main catur daring. Beberapa kata yang baru tertuang segera saja dihapus Leon. Kopi spesial buatan kedai kopi tak sanggup melecut inspirasinya. Pemilik kedai, Tito (Joko Anwar), berkali-kali menyemangati Leon. Saat melahirkan karya-karya terdahulu pun Leon menulisnya di kedai kopi Tito.
Di ruang berbeda, Andrea menjalani malam dengan optimis. Penonton disuguhi optimisme itu lewat sapa dan senyum Andrea pada satpam gedung, juga segala nasihat bijak dan perhatiannya kepada sang adik. Walau sendirian di kantor, keriangan Andrea tetap terpancar. Sembari mengenakan headset dan bersenandung, ia tampak satset mengerjakan ritual sebelum bekerja: menyalakan TV dan komputer, mempersiapkan kopi dan popcorn. Sekembalinya dari dapur kantor, sebelum benar-benar menelaah turun-naik harga saham dan berita internasional, ia selalu menonton siaran kartun di TV.
Berbeda dengan Leon, Andrea memunggungi jendela dan jarang memperhatikan pemandangan di baliknya. Panorama Jakarta tidak sepenting dan semenarik jendela-jendela di hadapannya: dua monitor komputer, layar televisi, serta ponsel. Ia baru kedapatan memperhatikan kedai kopi saat menelepon Lionel, partnernya di negeri seberang (kemungkinan besar di Amerika Serikat).
Kata orang bijak, mata adalah jendela hati. Kini, di zaman budaya visual, dunia dan realitas terpampang secara omnichannel. Mata kita disuguhi siaran apa pun dari belahan bumi manapun lewat jendela komputer/laptop dan terutama ponsel. Kita bisa mengintip adegan apa pun tanpa sensor, tidak seperti Jeff di Rear Window.
Namun, sepinya hati bisa membuat mata kita menerobos ke luar jendela. Leher Leon awalnya menengadah ke arah jendela kantor Andrea, karena menjadi satu-satunya yang masih menyala di seluruh gedung. Mata lelakinya mulai tekun menyimak ketika tahu hanya ada seorang perempuan yang berkegiatan di kantor itu.
Sebagaimana penulis lelaki lainnya, wanita kesepian adalah inspirasi sekaligus objek. Writer’s block yang selama ini menghalangi perlahan roboh. Jemari Leon mulai lincah menafsirkan pendapatnya tentang sang perempuan. Namun, tatapan Leon pada Andrea tak menjadi objektivikasi. Tak ada kata sifat ‘cantik’, ‘seksi’, ‘manis’, atau ‘mandiri’ yang biasa dilekatkan pada perempuan. Paul, melalui ketikan Leon, fokus menyoroti rasa sepi yang Andrea tutupi demi mencari nafkah.
Mungkin penonton akan jemu dengan pengulangan ritual kehidupan Andrea. Saya rasa strategi ini sengaja Paul ambil demi membuka lapisan-lapisan jiwa nan sepi Andrea. Perhatikan saja bagaimana di sepertiga akhir film ia tak lagi bersenandung saat meracik kopi dan popcorn. Atau bagaimana ia tiba-tiba menanyakan hal personal pada Lionel lewat telepon.
Mungkin ada jutaan pasangan bertemu dalam sehari di seantero bumi. Ada pula jutaan lain yang, karena tak bernyali, tak sempat berkenalan dan memadu kasih. Rumitnya memulai perkenalan telah memacu perusahaan-perusahaan teknologi seperti Tinder dan Bumble. Tapi algoritma tak bisa sepenuhnya mengatasi keresahan atau kesukaran. Lagi pula, perkenalan belum menempuh separuh jalan percintaan. Match di Tinder atau komunikasi yang cair lewat DM Instagram tak menjamin kedua orang bisa menjadi pasangan, atau setidaknya melancarkan percintaan.
Dalam dunia yang dihidupi Andrea dan Leon, hidup telah amat terkoneksi. Leon tak perlu mencetak naskah novel dan surat demi berkorespondensi dengan penerbit. Keterhubungan itu paling nyata ditampilkan Andrea yang tampak bisa mengatasi persoalan apa pun dari jauh: pergerakan saham, konsultasi dengan kolega di Amerika, membayar uang kuliah adik, hingga memesan ojek daring.
Saking sibuknya, ia tak punya waktu untuk mengurus dirinya. Tak punya waktu untuk bersosialisasi dengan manusia lain. Jelang penghabisan film, kita akan melihat air mukanya yang semakin keruh. Hela napasnya yang begitu sengal. Juga tatapan mata yang sekosong botol bekas.
Dua kopi beda rasa, dua jendela, satu nelangsa
Paul menempelkan simbolisasi keheningan malam lewat kopi. Kopi tidak diromantisasi, tidak pula dengan genit ditafsirkan tokoh-tokohnya. Kopi ada karena memang seharusnya ada: untuk memompa tubuh yang gampang layu diterjang malam. Andrea dengan kopi hitam hasil racikan drip coffee-maker; Leon dengan kopi tubruk tanpa gula dari kedai.
Kopi tidak tersaji secara berlebihan dalam frame. Meski begitu, lewat dua kopi ini kita bisa melihat semesta yang dijalani kedua tokoh. Andrea tak cuma membuat kopinya sendiri. Setelah kopi tuntas dijerang, ia akan memasukkannya ke botol minum tahan panas. Sebelum pulang, teko dan botol selalu ia cuci sendiri di dapur kantor, sebagaimana Andrea menata kehidupan. Di hadapan cuma ada tagihan dan masa depan sang adik, maka tak bolehada distraksi. Ketika tergiur belanja online, benda yang ia hendak beli pun untuk kebutuhan Dina.
Sementara Leon, yang kopinya dibuat barista, meneguknya demi memompa semangat atau sekadar pelengkap rutinitas. Ia tak perlu repot-repot meraciknya sendiri. Sama seperti di rumah, walau kini ia orang tua tunggal, ada asisten rumah tangga yang membantu urusan rumah dan pengasuhan anak.
Dari letak dan luas ruang kantor serta aneka perabot di dalamnya, kita paham Andrea menempati jabatan penting di perusahaan. Meski bisa saja mengerjakannya di rumah atau menyuruh anak buah, ia lebih memilih menangani investasi saham sendiri. Andrea tampak seperti perempuan yang tahu betul pentingnya menata hidup dan betapa kacaunya ia jika keluar dari tatanan yang telah ia bangun. Leon berada di sirkuit yang berbeda. Boleh disimpulkan bahwa ia adalah penulis sukses. Kedua novelnya telah difilmkan dan menjalani hidup dengan mapan dari royalti.
Walau melaju di lintasan yang berlainan, keduanya adalah representasi kelas menengah atas Jakarta. Andrea di jalur formal dan Leon nonformal. Jika ada yang diromantisasi Paul dalam film, tentu pekerjaan mereka berdua. Berapa banyak penulis yang, hanya lewat dua novel, bisa membeli rumah dan hidup santai?
Tatkala film memasuki 30 menit terakhir, kita bisa melihat bahwa hidup mereka sebenarnya kosong. Yang awalnya hanya sebatas objek, Andrea justru menjadi cerminan Leon: mereka adalah manusia-manusia kesepian di hiruk-pikuk kota. Jendela artifisial—layar ponsel sampai komputer—yang selama ini membuat mereka bertekur tak menyajikan hangatnya interaksi antarmanusia. Apakah mereka akan menjadi sepasang kekasih, lalu menikah dan beranak-pinak, itu perkara nanti. ♦
Daysleepers | 2018 | Durasi: 92 menit | Sutradara: Paul Agusta | Penulis: Paul Agusta | Sinematografer: Faozan Rizal | Produksi: Panji Prasetyo Pictures, Sama Pictures, Super 8mm Studio, Kinekuma Pictures | Pemeran: Dinda Kanyadewi, Khiva Iskak, Joko Anwar, Djenar Maesa Ayu, Tadalesh Ilham, Agnes Naomi | Medium Menonton: Bioskop Online