Berpeluh resah dua titik. Titik didih ke titik beku. Gejolakku mati kutu.
Berkeluh-kesah, bak lembu, berisik dan berbau. Cemas tak lagi kurasa tabu.
Pelan-pelan, diam-diam, simpan dalam hati.
Rapat-rapat, pegang erat dalam palung terdalam jiwamu. Wujud kamu.
Secepat kilat. Lebih cepat dari lesakkan busur panah ksatria Tiongkok.
Manusia mulia berkata janganlah kau genggam pasir terlalu erat.
Cendekia merajuk dan merayu.
Jika buku gudang ilmu, tak pelak bahasalah kuncinya.
Pernahkah kau bayangkan hidup di ruang tak berjendela?
Sudikah kau nikmati udara sekali saja,
resapi makna dan rasa dalam helai nafasmu? Simpan di dada.
Busungkan, tahan dan hembuskan.
Coba kau rasai semboyan air yang selalu menuju dasar terendah marcapada.
Ah, jadi teringat ilmu padi.
Pernahkah kau dengar manusia di sekitarmu yang mengucap ‘sukma’?
Entah, aku juga tak tahu jenis dan ragamnya.
Namun kuminta, ucapkan ‘sukma’ untuk sekali ini saja.
Bisik-bisik ya tak mengapa.
Seteguk dua teguk awalnya kupikir tak berbahaya.
Pun itulah watak racun.
Apakah pernah kau dengar kisah raja-raja yg mati diracun
tanpa mengecap manis sebelumnya?
Sebab ginseng, bisa kobra dan akar-akaran belum memancarkan faedahnya
sebelum kau sadap pahitnya.
Aku ingin lihat kau mengernyit untuk kemudian bahagia
ketimbang jumawa untuk kemudian punah tak ada sisa.
Hey, gelas itu setengah kosong atau setengah terisi?
Kalau kau bingung menjawabnya, pulanglah.
Setidaknya niatkan itu dalam-dalam. Yakinkan aku secara penuh.
Yogyakarta, 5 menit yang lalu